akuntabilitas

Salam Redaksi

Tak ada yang perlu Anda khawatirkan ketika mengirimkan putra/i ke pondok pesantren, sekolah berasrama, dan sesamanya. Karena di sana mereka akan belajar kemandirian selain juga terasah secara akademik.
Keterampilan menghadapi segala hiruk pikuk dan dan pahit manis kehidupan perlu diajarkan sejak dini. Tentu siapa pun tidak ingin buah hatinya adalah generasi cengeng yang selalu berlindung di balik punggung orang tua saat dewasa kelak. Bisa jadi orang tua khawatir, jika anak jauh dari orang tua sejak usia pertumbuhan, maka keintiman hubungan antara dirinya dengan si buah hati akan tercerabut atau menipis. Bisa saja itu terjadi. Karena terbiasa menghadapi silang sengkarut hidupnya sendiri, dia enggan melibatkan orang tua. Segala suka, ia nikmati sendiri, dan segenap duka ia tanggung. Namun pesantren selalu mengajarkan bahwa orang tua adalah sosok yang wajib dimuliakan.
Suatu ketika Muhammad Saw pernah ditanya oleh sahabat, siapakah figur yang harus aku hormati dengan sebaik-baiknya? Rasul Saw menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa hai Rasul,” sahut sahabat. “Ibumu,” jawab Rasul lagi. Baru ketika pertanyaan yang sama diulang keempat kalinya, Rasul menjawab, “Ayahmu.” Di pesantren, hadis ini diresapkan penuh kepada anak.


Selamat Membaca





......................................................................................................................................
Redaktur Majalah AL MADINAH
Ketua Pengarah: Moch. Arif Junaidy. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah). Redaktur Ahli : dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro. Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana : A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Wahyudi Heru, Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin Rohman.
......................................................................................................................................
Alamat Redaksi
Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya.
Telepon: (031) 5022212. Faksimile: 031 5019424
E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com
......................................................................................................................................
Redaksi menerima sumbangan karya tulis berbentuk apa pun. Redaksi berhak mengedit setiap naskah yang masuk tanpa mengubah substansi. Naskah yang dimuat akan diberi honor selayaknya.
......................................................................................................................................

AL MADINAH DALAM FACE BOOK

Oleh: Ahmad Faiz Zainuddin

(Wakil Ketua Yayasan Al Madinah)



Seorang sahabat Nabi yang ibunya barusan meninggal, merasa sedih karena belum cukup berbakti pada sang bunda. Kegelisahan ini lantas di-curhatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Rasul lantas berpesan pada sahabat ini agar menyedekahkan harta benda yang paling ia cintai atas nama sang ibu. Sang sahabat itu pun mewakafkan tanah favoritnya yang terletak di samping masjid untuk keperluan umum. Hingga kini tanah wakaf itu menjadi kompleks masjid Nabawi di Madinah. Insya Allah sahabat tersebut dan ibunya memeroleh pahala yang mengalir tanpa henti selama masjid Nabawi itu berdiri.

Subhanallah, ternyata cerita yang saya kutip dari salah seorang guru mengaji itu menginspirasi seorang pengusaha muda asal Pasuruan. Ia mewakafkan tanah favoritnya di tengah kota Surabaya, tepatnya komplek perumahan Batang Binangun Gang IX. Tepat pada 28 Mei 2006, ia mengucapkan akad wakaf di depan pengurus Yayasan Al Madinah. Tanah itu kini di atasnya menjulang bangunan tiga lantai bernama Grha Aitam (istana anak yatim) Al Madinah.

Saya, Cak Syarif (Ketua Yayasan), dan Mas Arif (Pembina) bertekad untuk mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan panti asuhan model sebagai bentuk birru al walidain (berbakti kepada orang tua) sebagaimana niat pengusaha muda itu.

Alhamdulillah, sang Maha Kasih dan Sayang mengingatkan kami. Pembangunan Grha Aitam dengan surat IMB (izin mendirikan bangunan) Nomor: 188/2160-92/436.5.2/2008 yang hampir mencapai tahap akhir (finishing), dan telah menelan biaya lebih dari 2,75 Milyar Rupiah, sekarang harus dihentikan atas permintaan tetangga sebelah timur dan barat.

Kedua rumah tetangga mengalami kerusakan berat, bahkan untuk rumah sebelah barat mengalami kemiringan hingga 15 cm lebih. Menurut kajian tim independen dari Fakultas Teknik Sipil Universitas Kristen (UK) Petra Surabaya, kerusakan kedua rumah itu diakibatkan oleh kondisi tanah di bawah bangunan Grha Aitam yang mengalami penurunan. Dan fondasi rumah milik kedua tetangga ikut terseret.

Kesepakatan musyawarah mengalami kendala karena tetangga sebelah barat melaporkan Ketua Yayasan Al Madinah ke Polwiltabes Surabaya dengan No. Pol.: LP/K/1813/XII/2008/SPK, tanggal 17 Desember 2008 dalam perkara tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan dan atau menghancurkan atau merusak barang/ pengrusakan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 dan atau 406 KUHP JO pasal 46 UU RI No. 28 tahun 2002.

Atas inisiatif Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Surabaya, maka Yayasan Al Madinah dan para tetangga sepakat untuk menyerahkan penghitungan ganti rugi kepada tim independen dari UK Petra tersebut.

Sungguh di luar dugaan, pada 1 April 2009 tim independen merekomendasikan bahwa ganti rugi yang harus dibayar oleh Yayasan Al Madinah dari kerusakan rumah tetangga sebelah barat sebesar Rp. 444.729.000,- sedangkan kerusakan rumah sebelah timur Rp. 177.240.000,-

Padahal selain kedua rumah itu, Yayasan Al Madinah sedang mencicil kerugian yang sama dari rumah belakang (utara) sebesar seratus juta rupiah!

Saya jadi semakin prihatin ketika Ketua Yayasan mengirim e-mail dengan lampiran lengkap scan surat peringatan dari kedua tetangga agar mengosongkan Grha Aitam dari semua aktivitas dan barang (inventaris kantor lengkap, kitchen set, kulkas, meja-bangku tempat makan, tempat tidur, almari anak yatim, dan lain-lain) maksimal 20 Juni 2009. Kecuali jika tanggungan di atas bisa terlunasi sebelum tenggat waktu itu.

Bantuan dari 100% net income Training publik SEFT selama dua bulan terakhir ternyata belum cukup, sumbangan satu hektar kebun kayu jati dari PT. Harham Jaya Makmur baru bisa dipanen delapan tahun mendatang. Maka saya mencoba mengikuti ikhtiar Ibu Prita Mulyasari, walaupun mungkin tidak ada hubungannya, yaitu menampilkan materi Curhat Ketua Yayasan Al Madinah berikut foto bangunan dalam beberapa sudut yang belum rampung seratus persen di face book dan mailist.

Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan menuai hasil. Satu persatu pegiat internet memberikan doa, dukungan, bahkan bantuan dana. Pada hari ketiga setelah catatan curhat ditampilkan di face book, terkumpul donasi Rp. 12.750.500,- via transfer dari simpatisan. Bahkan ada yang memprovokasi agar masing-masing alumni training SEFT bersedekah seratus ribu rupiah. Asumsinya, jika alumni yang peduli mencapai sepuluh ribu, maka sudah terkumpul satu milyar! Lebih dari cukup untuk membayar ganti rugi dan menuntaskan pembangunan Graha Aitam.

Saya sangat terharu membaca respon para face booker. Mereka termotivasi dengan kiprah sosial Yayasan Al Madinah, seperti memberikan training SEFT gratis untuk guru dan ustadz pesantren se-Jawa Timur (sejak Desember 2005), mensponsori bakti sosial bencana gempa bumi Yogjakarta (Juni 2006), mengirim majalah bulanan Al Madinah; pemberdayaan keluarga dan anak (yatim), secara gratis kepada panti asuhan se-Jawa Timur dan Dinas Sosial Kota/Kabupaten Se-Jatim (sejak Februari 2009), dan memberi bantuan beasiswa kepada 402 anak yatim (sejak Februari 2007) –Untuk sementara, terhitung sejak April 2009, program beasiswa dihentikan, karena dana kas Yayasan difokuskan untuk membayar ganti rugi tetangga, kecuali beberapa anak yatim saja yang telah ‘dipilih’ donatur.

Pilihan sulit memang. Anak-anak yatim hampir pasti merasa sedih menerima kenyataan ini. Lima puluh ribu rupiah yang mereka terima rutin setiap bulan, sekarang kembali menjadi harapan, hanya impian. Semua dilakukan Yayasan Al Madinah demi tujuan yang lebih besar, memperbaiki pola pemberdayaan anak yatim di panti asuhan maupun pesantren melalui Grha Aitam.

Kami mencita-citakan sebuah istana megah dengan fasilitas memadai dan kurikulum pengajaran yang tepat untuk proses pemberdayaan anak yatim. Anak akan digembleng dengan pendalaman bahasa Arab dan Inggris, keterampilan berwirausaha, penguasaan fasilitas multimedia (komputer dan internet), dan pendalaman materi keagamaan melalui Madrasah Diniyah. Semuanya bukan untuk memanjakan mereka tetapi untuk memompa mentalitas dan mengantarkan anak-anak pada zamannya kelak.

Namun menghadapi situasi seperti ini, cita ideal itu seolah menjauh dari kenyataan Kendati demikian, saya sangat optimis, harapan itu akan menjadi kenyataan, melihat loyalitas dan tanggungjawab pada pengurus Yayasan untuk terus menggerakkan Al Madinah. Setahu saya, Ketua Yayasan menunda target selesai program doktoralnya, full timer Yayasan tidak mau mengambil jatah gaji bulanannya selama enam bulan lebih, bahkan pengelola majalah rela hanya mendapat uang makan dan transportasi dari Yayasan, sampai urusan bayar ganti rugi itu selesai.

Saya yakin, Allah tidak memberikan ujian dan cobaan di luar batas kemampuan kita. Dan kami terus termotivasi hadis Nabi, siapapun yang peduli anak yatim, kelak di surga berdampingan dengan Rasulullah Saw sedekat dua jari telunjuk dan tengah (HR. Muslim).

Pesantren Bukan Tempat Pembuangan Anak

“Kamu kok nakal gitu sih Nak. Kalau terus-terusan kayak gitu, tahun depan mama kirim kamu ke pondok,” ujar seorang ibu pada anaknya yang berusia 10 tahun. Pondok pesantren seolah menjadi ruang bagi anak-anak yang “terbuang” dari keluarganya.

Sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, sistem pendidikan berasrama sudah berlangsung, mayoritas berbasis agama. Di Indonesia, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan berasrama berbasis Islam yang sudah bercokol sejak Republik ini belum terbentuk. Pada masa penyebaran Islam di nusantara, para wali membuka padepokan-padepokan untuk menempa ilmu pengetahuan sebagian pengikutnya.

Itulah cikal bakal pondok pesantren sebagai tempat pembinaan manusia menjadi kader-kader unggul. Istilah pondok menurut Zamakhsyari Dhofir (1982:18), berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) yang bermakna rumah penginapan. Sedang kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.

Kini, jumlah pesantren di Indonesia berdasarkan data Dirjen Lembaga Islam Departemen Agama RI Tahun Ajaran 2003/2004 mencapai 14.656 buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 230 juta jiwa. Namun siapa pun harus menilik, sangat banyak produk pesantren yang berperan besar dalam pembangunan bangsa.

Pesantren adalah manggala atau padepokan yang agung dengan segala ciri khasnya. Alangkah sayang, jika sebagian orang tua saat mengirimkan anaknya ke pesantren tidak dilandasi oleh keinginan tulus untuk memberikan pendidikan keagamaan yang baik, melainkan lantaran tidak sabar menghadapi tingkah polah si kecil. Apa jadinya bila pesantren menjadi kumpulan anak-anak –yang dianggap— nakal?

Kalau pun tidak, kesan negatif tentang pesantren tentu akan tertanam dalam diri anak. Maka seharusnya motivasi yang diusung oleh orang tua saat memondokkan anaknya adalah semangat yang termaktub dalam al Quran surat Al Taubah: 122, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”



Memberikan Pengganti yang Tepat

Bagaimana pun orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi buah hatinya. Orang tua lah yang harus mengajari nilai-nilai dasar kehidupan. Namun tidak ada salahnya pesantren dipercaya menggantikan peran orang tua dalam mendidik anak. Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah pasti mengurangi kesempatannya untuk mengajari anaknya tentang banyak hal, dari pelajaran sekolah, hingga pembentukan karakter diri.

Menurut Dr. Hanun Asrohah, M.A, ahli pendidikan Islam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, pesantren dan sekolah berasrama bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja, lebih dari itu juga membentuk karakter dan kepribadian Islami.

“Selain kemampuan akademik, anak juga diasah keterampilan diri, spiritual, dan sosialnya. Mereka diajari bagaimana belajar hidup bersama dalam lingkup budaya yang lebih luas,” cetus pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel itu. Dalam keluarga, anak bersosialisasi dengan anggota keluarga yang terbatas. Namun di pesantren, ia akan berhadapan pada beragam perilaku, budaya, bahasa, status sosial, dan nilai-nilai.

Kenyataan hidup yang majemuk tentu akan memperkaya pengalaman anak, dan menjadi modal berharga saat berhadapan dengan kehidupan sosial yang lebih luas saat dewasa. Namun untuk mewujudkan itu, Dra. Ratna Ellyawati, M.Si, ahli psikologi klinis Surabaya, menyaratkan agar pesantren dikelola oleh orang-orang yang mumpuni dan matang.

“Guru-gurunya harus sosok dewasa yang kearifannya matang. Sehingga anak tidak dikorbankan untuk pemenuhan ego guru. Guru mesti secara obyektif dan bijak melihat potensi setiap anak. Sebab jika hal itu tidak terpenuhi, walaupun pengasahan otak bagus, tetap sulit untuk menginternalisasi nilai yang positif bagi anak,” ujar Ratna yang memondokkan putrinya di Pesantren Gontor Ponorogo.



Saat Tepat Memondokkan Anak

Karena hidup di pesantren bukan hanya untuk mengasah kemampuan intelektual, tentu orang tua harus mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak. Sebab jika terlalu dini, bisa jadi anak masih sangat memerlukan belaian orang tua.

Menurut Ratna, sebaiknya mengirimkan anak ke pondok jangan kurang dari usia dua belas tahun. Sebab dalam hematnya, usia SD adalah masa orang tua untuk menekankan nilai dasar kehidupan yang bisa dikembangkan dan menjadi pegangan anak saat berhubungan sosial di pesantren. “Itu usia terbaik anak untuk menyerap model orang tuanya, dan menanamkan nilai, hingga terbentuk perilaku yang dinginkan orang tua pada anak,” tandas pengajar Fakultas Psikologi Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya dalam wawancara melalui telepon pada 03/06/2009.

Pandangan ini didukung oleh Dra. Srisiuni Sugoto, M.Si, dosen psikologi perkembangan Universitas Surabaya (Ubaya), bahkan lebih tegas. Sebab ia tidak setuju bila anak usia SD dan SMP dilepas dari orang tua. Siuni mengutip teori bioekologi yang dilansir Broven Baner. Seperti mikrosistem, individu yang ada di meso sistem yaitu significant person, baik orang tua, kakek, nenek, paman, dan sebagainya harus memberikan kasih sayang dan teladan pada anak usia itu. Ibu menjadi teladan bagi anak perempuan dan Ayah bagi laki-laki.

“Bayangkan jika masih kelas 1 SD dipondokkan, siapa yang akan menjadi role model. Okey lah, kyainya. Tapi apa betul kyainya bisa mengayomi dan memberikan kasih sayang ke seluruh santrinya? Maka menurut saya, anak SD dan SMP jangan dulu,” cetus ibu dari dua anak itu.

Namun pendapat tersebut tidak diamini oleh Prof. Dr. Imam Bawani, guru besar pendidikan Islam IAIN Sunan Ampel. Berkaca dari fakta bahwa Nabi Muhammad Saw sudah dipisahkan dari ibunya saat masih bayi, Imam Bawani memandang bahwa teori psikologi itu tidak berlaku umum.

“Saya belajar dari sejarah. Nabi diasuh oleh Halimatus Sadiyah saat ibunya hidup. Beliau justru dibawa ke pelosok gunung. Mengapa kok nggak lebih baik diasuh ibunya? Memang saat itu Makkah sudah metropolis, jadi kota perdagangan, sehingga Nabi harus bisa menghirup hawa segar di pinggiran. Kedua, beliau dilatih bahasa Arab yang fasih, karena Quran hendak turun dengan bahasa itu. Tetapi dari situ, saya berkesimpulan bahwa tidak selamanya anak yang dipisahkan dari orang tuanya sejak belia akan gagal,” ungkap peraih gelar Doktor bidang studi Islam dari IAIN (sekarang UIN [Universitas Islam Negeri]) Sunan Kalijaga.

Terlepas, pada usia berapa orang tua akan mengirimkan anaknya ke pondok pesantren, bagi H. Ali Sirojuddin Thobib, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Muhyiddin, Gebang Kulon, Surabaya, ketulusan niat dan kepasrahan kepada Allah mutlak dimiliki orang tua. “Di mana pun anak belajar, jika ayah ibunya melepasnya secara ikhlas diringi doa, maka Allah pasti memberi kemudahan,” tegas Gus Ali, sapaan akrabnya.

Yang jelas, pesantren bukan tempat pembuangan anak. Maka kasih sayang dan doa orang tua harus terus mengalir kepada si buah hati di mana pun berada.

(Syafiq)

“Biar Anak Tahu Agama”

Keinginannya tampak sangat sederhana. Namun di balik itu tersembul niat mulia; membentuk generasi yang santun, berpegang teguh pada nilai-nilai kebaikan, dan mampu berdikari. Semangat itulah yang melatari Drs. Imam Suyuthi hingga “tega” melepas keenam anaknya (dua putra dan empat putri) ke pesantren, sebagian bahkan sejak masih usia Taman Kanak-kanak (TK).


Al Madinah bertandang ke kediaman alumnus Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta ini pada 10/06/2009. Perbincangan mengalir seputar kepercayaannya yang begitu besar terhadap pesantren, sehingga semua buah hatinya ia pasrahkan pendidikan menengahnya di lingkup pesantren.

Pemikiran lelaki enam puluh dua tahun itu, bagi sebagian orang mungkin tampak kuno. Tetapi pandangan-pandangannya berpijak dari pahit manis kehidupan. Dan kerapkali sesuatu yang dianggap kuno melahirkan kearifan.

Berikut petikan obrolan dengan anggota Dewan Pengawas Yayasan Al Madinah tersebut:

Apa alasan Anda memondokkan semua buah hati ke pesantren?

Untuk membangun fondasi mental yang agamis. Dan alhamdulillah hasilnya sesuai harapan. Ya beda dengan anak-anak yang nggak pernah di pondok. Anak-anak jadi lebih bermoral, setidaknya itu.

Dalam pemikiran saya, mempelajari ilmu agama itu wajib. Apalagi kalau wanita. Jika tidak paham persoalan sesuci seperti haid, dan sebagainya, kan repot nanti saat berumah tangga. Ya kalau suaminya santri sehingga bisa mengajari, kalau tidak kan susah.

Pada usia berapa anak-anak dikirim ke pondok?

Anak pertama hingga ketiga sudah saya pondokkan di pesantren anak-anak di Sedayu Gresik sejak umur 4 tahun. Tapi setelah menginjak SD kembali ke rumah, karena memang pesantrennya mematok aturan, kalau sudah SD harus keluar. Sedangkan anak keempat hingga terakhir baru mondok setelah lulus SD.

Tetapi kalau keadaan nggak memungkinkan ya kita tarik. Biasanya secara fisik, seperti Firda (putri bungsunya: Red) dulu waktu mondok di Malang sering sakit, ya saya tarik.

Kok “tega” melepas anak ke pondok pada usia sedini itu?

Karena pada usia dini penerimaan anak terhadap ilmu agama lebih mudah. Setelah mendalami pengetahuan agama, ilmu umum bisa ditempuh secara otodidak. Karena pengetahuan agama jika tidak melalui kyai, apa bisa? Mengaji kitab itu kan ada sanad (rantai guru)-nya. Setelah lulus Madrasah Aliyah di pondok, anak-anak saya bebaskan hendak meneruskan ke mana. Tergantung minat dan hobinya.

Memang awalnya sering muncul perasaan iba. Tapi jika dihitung-hitung, anak keluar rumah paling lama 15 tahun. Setelah itu berkumpul lagi selama puluhan tahun bahkan sampai mati.

Bagaimana menjaga kedekatan hubungan dengan anak-anak selama di pondok?

Walaupun di pondok anak-anak tetap kami pantau. Berapa minggu sekali saya jenguk, atau kalau tidak, ya melalui telepon. Kalau nggak dipondokkan, di rumah terus malah jenuh. Justru ketika menyambangi, pulang liburan, kedekatan kami dengan anak justru tumbuh. Dan Alhamdulillah sampai saat ini ini hubungan tetap harmonis. Dulu istri sempat khawatir, “nanti kalau lama berpisah, jangan-jangan suka di luar, nggak mau pulang.” Tapi nyatanya tidak.

******

Dalam pandangan Imam, Kehidupan pesantren menanamkan kemandirian. Anak jadi lebih berani menghadapi kenyataan hidup. Ia melihat, anak-anak zaman sekarang kurang berani rekoso, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar. Karena itu pesantren bisa menjadi solusi

(Syafiq)

Jauh di Mata Dekat di Hati


Seorang ibu memiliki anak cerdas dan berprestasi. Oleh beberapa koleganya, disarankan agar si anak dilepas ke perguruan tinggi terbaik, sehingga aktualisasi dirinya bisa berjalan optimal. Jika sekolah di tempat biasa, potensinya akan susah berkembang pesat. Namun si ibu bilang, “Saya tidak ingin berpisah dan kehilangan anak-anak saya.”

Memang ada beberapa kasus, anak yang terlalu lama tinggal di pesantren yakni sejak usia dini atau pertumbuhan (jenjang SD dan SMP), menjadi kurang akrab dan mesra dengan orang tuanya. Lantaran terbiasa hidup mandiri bersama rekan sebayanya, anak menjadi kurang terbuka terhadap ayah dan ibunya. Segala suka ia nikmati sendiri, dan seluruh dukanya pun ia tanggung sendiri tanpa perlu melibatkan orang tua.

Bisa jadi itulah kekhawatiran orang tua. Karena terlampau lama berpisah dengan anak, saat anak telah menuntaskan proses belajarnya di pesantren dan kembali ke pelukan orang tua, keintiman hubungan orang tua dan anak tercerabut

Bagi Ratna Ellyawati, pengasuh rubrik konsultasi psikologi anak di Tabloid Nurani, dampak tersebut tidak perlu dirisaukan, asalkan sejak awal visi misi orang tua dalam mendidik anak jelas. Dalam hemat sarjana alumnus psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, semua pilihan hidup pasti menuai resiko, termasuk dalam pendidikan anak.

Psikolog klinis itu menguraikan panjang lebar, “Ada orang tua yang berpikir, apa pun yang terjadi pada anak, saya tidak akan berpisah darinya. Meski konsekuensinya, keberanian anak untuk menghadapi resiko hilang. Anak merasa aman di rumah, tetapi ketika mesti berhadapan pada situasi di luar rumah yang komplek, dia menjadi cemas.”

“Sebaliknya, ketika orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren atau asrama, anak terbiasa bergulat dengan permasalahannya, dan mampu mandiri mencari solusi. Namun kedekatan dengan orang tua berkurang,” imbuh perempuan empat puluh tujuh tahun itu. Bagi Ratna, pengambilan pilihan itu berpulang pada perspektif orang tua. Namun ia menekankan bahwa menyayangi anak dengan pemenuhan egosentrisme pribadi kerap berbeda tipis. Tidak sedikit orang tua yang menjerumuskan anak atas nama kasih sayang.

Statemen tersebut didukung oleh Imam Bawani, peraih Master pendidikan Islam dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. “Justru sebab jauh dari orang tua, kemandirian anak bisa terbangun. Lebih bagus mana dibandingkan dengan anak yang selalu berada dalam kehangatan orang tuanya, semua kebutuhannya dipenuhi, lantas anak menjadi cengeng dan manja?” tukas pria lima puluh tujuh tahun itu.


Fisik Terpisah, Jiwa Tersambung

Jika berpikir secara obyektif, sebenarnya kedekatan fisik tidak segaris lurus dengan kerekatan jiwa. Sebab banyak pula orang tua yang tinggal bersama anaknya terus menerus, justru merasa jauh dan tidak terjalin hubungan emosional yang kokoh dengan anak-anaknya. Kesibukan orang tua biasanya menjadi alasan.

Menurut Srisiuni, kandidat Doktor bidang psikologi dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), tindakan anak biasanya meniru sang orang tua. Jika orang tua acuh tak acuh terhadap anaknya, maka anak pun bisa berlaku sama suatu saat. “Hal itu dalam teori bandura atau social learning, disebut sebagai imitasi dan identifikasi. Anak meniru dan mengidentifikasi perilaku orang tuanya,” tandas Srisiuni.

Maka dalam hemat ibu dua anak itu, kendati pun sejak kecil anak tinggal di pesantren atau asrama, jika momentum orang tua menjenguk atau anak berlibur di rumah, digunakan ayah ibunya untuk memberikan afeksi dan kasih sayang utuh, maka jalinan emosional tetap terikat kuat. “Sebaliknya, jika si anak di rumah namun orang tuanya cuek, ya nggak ada kedekatan,” ujarnya.

Pandangan ini diperkaya oleh Hanun Asrohah, ahli kependidikan. Menurutnya, keberhasilan pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara anak dan orang tua. Ia memaparkan tiga tipe hubungan itu; equal relationship (anak diperlakukan secara adil dan setara); supportive parent (senantiasa memberikan dukungan sehingga anak memiliki kedekatan emosional); dominant parent (orang tua mengendalikan anak demi memberikan perlindungan dan kenyamanan, bukan membelenggu hak anak menentukan keinginannya); dan distant relationship (hubungan yang menimbulkan jarak psikis antara anak dan orang tua)

“Oleh karena itu, keterpisahan selama proses belajar, bukan menjadi kendala hubungan kasih sayang dan keakraban antara anak dan orang tua. Apalagi jika orang tua tidak sempat mendidik secara bagus, lebih baik jika memercayakan pendidikan anaknya pada lembaga yang tepat. Namun tetap harus disertai perhatian, dukungan, dan kasih sayang,” urai alumnus pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang itu.

Menurut penuturan Imam Suyuthi, anggota Dewan Pengawas Yayasan Al Madinah yang memondokkan semua anaknya ke pesantren, malah kalau tidak dipondokkan, anak merasa jenuh terus menerus di rumah. Sebaliknya kerinduan dan kasih sayang orang tua bisa tercurahkan sepenuhnya saat menyambangi dan berkumpul di rumah waktu libur.



Etika Pesantren

Lantas bagaimana metode pesantren untuk menjaga hubungan antara orang tua dengan anak? Masing-masing pondok pesantren (Ponpes), dalam pengamatan Al Madinah memberlakukan cara berbeda. Umumnya terhadap orang tua yang anaknya masih bersekolah di tingkat SD dan SMP, pesantren mewajibkan mereka untuk menjenguk buah hatinya minimal sebulan sekali.

Ponpes Muhyiddin Gebang Kulon Surabaya, misalnya, mewajibkan orang tua menyambangi anaknya, dalam sebulan minimal sekali, dan maksimal dua kali, dengan jadwal yang diatur pihak pengurus Ponpes. “Ini dilakukan agar anak tidak terlalu sering merindukan kehadiran orang tuanya sehingga mengganggu konsentrasi belajar anak,” terang H. Ali Sirojuddin Thobib, Ketua I Ponpes tersebut. Selain itu dengan alasan agar santri merasa pomah (betah seperti di rumah), pada awal pemondokan, orang tua tidak diperbolehkan dulu untuk menjenguk anaknya hingga empat puluh hari.

Menurut pria empat puluh tahun itu, kemungkinan tercerabutnya keintiman hubungan orang tua dan anak akibat lama singgah di pesantren itu sangat tipis. Dalam pengalamannya sebagai santri dan pendidik, pesantren selalu mengajari kepada murid-muridnya akan agungnya posisi orang tua. Apa pun kondisinya, anak wajib menghormati dan mencintai orang tuanya.

Kesimpulan senada dikatakan Imam Bawani, dosen yang melakukan riset untuk disertasinya di salah satu pesantren anak di Gresik. Ia mengatakan, “Anak di pesantren diajari tata krama terhadap kyai dan ustadznya. Kebiasaan ini terbawa hingga ke rumah. Hasilnya, anak menjadi lebih santun pekerti dan halus tutur kata di hadapan orang tua.”

Lebih obyektif jika Anda cermati sendiri.

(Syafiq)

Plus Minus Pesantren


“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan sejati hanyalah milik Tuhan,” inilah prinsip kehidupan yang tak pernah lekang oleh zaman. Karena itu tak seorang pun berhak mengklaim dirinya, kelompoknya, dan karyanya sebagai yang terbaik dan paling benar di kolong jagad raya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama adalah hasil cipta karya manusia. Karena itu segala tipe pesantren, baik model salaf yang hanya mengajarkan kitab-kitab klasik, maupun khalaf yang sudah memerkenalkan pengetahuan modern dan mengikuti kurikulum Negara, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Secara umum, Imam Bawani, penulis beberapa buku seputar pendidikan, berpandangan bahwa pesantren adalah konsep ideal sistem pendidikan. Pada masa kejayaan peraadaban Islam, semua pelajar dibiayai oleh negara dan diasramakan untuk menyempurnakan pembelajaran. “Kalau pendidikan Islam mau tuntas, tidak mungkin terwujud tanpa asrama. Apalagi zaman sekarang, anak-anak harus bergelantungan di bis, terkena macet. Berapa energi yang terbuang? Kalau dipakai untuk membaca buku tentu terlahap banyak halaman,” kata Imam berargumen.

Selain pendalaman intelektual, pesantren adalah ruang pembentukan karakter dan kepribadian Islami. Menurut Hanun Asrohah, di pesantren atau sekolah berasrama, aspek-aspek tertentu dari potensi siswa yang tidak tersentuh di sekolah non asrama, dapat dikembangkan lebih menyeluruh. “Secara pribadi anak lebih mandiri, secara sosial mereka lebih kaya sebab bergaul dengan kawan yang beragam, secara spiritual terolah dengan pelbagai aktivitas ruhaniah, dan moralitas lebih terjaga” terang penulis buku Pesantren di Jawa: Asal Usul Perkembangan dan Pelembagaannya.

Persoalan moral adalah alasan yang paling kerap muncul dari orang tua saat memondokkan anaknya. Demikian pula dengan Ratna Ellyawati yang mengirimkan putri tunggalnya, Sarah, ke pesantren sejak lulus SD. Ia mengungkapkan beberapa sisi positif pesantren.

“Pertama, lingkungan pesantren mematok nilai-nilai yang baku dalam hal pengendalian hubungan lawan jenis yang sangat kritis di usia remaja. Kedua, fasilitas elektronik seperti TV tidak tersedia, sehingga anak terisolasi dari peniruan terhadap idola. Anda bisa melihat perilaku tokoh-tokoh yang diidolakan. Artis, busana seperti itu, kelakuan juga, apa secara moral religi bisa dijadikan panutan? Nah, di pesantren imitasi negatif otomatis terkurangi atau relatif terkendali.”

Selain sisi positif, Ratna yang seorang konselor, juga tidak memungkiri adanya sisi lemah memondokkan anak di pesantren. “Hubungan anak dengan kawannya kan menyangkut nilai dan aturan. Nah saya tidak bisa menjangkau itu. Contoh kecil, keluarga saya menerapkan aturan tidak boleh memakai milik teman. Namun pada saat di pondok, anak sulit melakukan itu. Karena kondisi, dia terpaksa harus pinjam. Akhirnya dia tidak bisa memegang erat nilai keluarganya. Nah kebiasaan seperti itu terkadang sulit dibenahi,” urai Ratna panjang lebar.

Srisiuni, sarjana psikologi Ubaya, tidak terlalu suka dengan sistem pendidikan asrama. Sebab baginya, orang tua adalah pendidik terbaik. Meski demikian ia masih berpandangan positif.

Dalam hematnya, setiap pengasuh dan pengajar di pesantren anak harus menampilkan diri sebagai sosok yang dikagumi dan memberikan rasa aman pada anak. “Maka mereka harus betul-betul cinta anak, itu modal dasar. Orang cinta anak itu langsung lengket dan bisa dekat dengan si kecil. Namun ada pula orang yang melihatnya sekilas saja anak langsung takut,” tandas Srisiuni yang ditemui Al Madinah pada 08/06/2009.

Setelah memiliki perasaan cinta anak, pengasuh juga harus mengerti perkembangan psikis anak dan keunikan masing-masing individu. Perempuan asli Surabaya itu mengemukakan tiga temperamen anak dalam psikologi yaitu anak yang mudah (easy child), susah (difficult child), lambat hangat (slow to warm up).

Anak yang mudah, di lingkungan apa pun dia cepat beradaptasi. Yang tipe sulit, susah bergaul dan mencocokkan diri dengan lingkungan. Kalau pun dipaksakan mungkin dia patuh, tetapi beranjak remaja, dia rawan jadi pemberontak. Sedangkan tipe ketiga, lama bisa menyesuaikan, tetapi lama kelamaan akan bersikap luwes. “Nah setiap anak harus diperlakukan sebagai subyek unik yang tidak bisa disamakan,” tegasnya.

Apakah pesantren-pesantren anak yang ada, sudah melakukan itu?

Alternatif Lain; Full Day School


Bagi orang tua yang sangat sibuk dan tidak sanggup menjangkau pendidikan anak secara optimal sehingga khawatir kreativitasnya tidak tumbuh baik, full day school (sekolah sehari penuh) yang kini mulai menjamur di kota-kota, bisa menjadi alternatif. Lembaga ini biasanya diminati oleh orang-orang kaya yang mengidealkan pemberdayaan menyeluruh bagi anak, namun enggan berpisah dari buah cintanya.

Full day school, baik tingkat SD maupun SMP, umumnya mewajibkan siswanya masuk ke ruang kelas pada pukul 07.00 pagi dan keluar pada pukul 16.30 atau 17.00 sore. Selama di sekolah, siswa selain diberikan materi pelajaran sesuai kurikulum standar nasional, diharuskan pula mengikuti pelbagai jenis aktivitas ekstrakurikuler, seperti olahraga, pendalaman ilmu agama, penguasaan multimedia, dan beberapa lainnya.

Lantaran lengkapnya fasilitas, tak heran jika sekolah model itu mematok biaya sangat tinggi. Bagi Drs. Nur Hidayat, M.M, sekretaris Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Al Hikmah Surabaya yang menaungi SD dan SMP yang menganut sistem full day, segala sarana yang tersedia memang diciptakan untuk mengantarkan anak didik pada zamannya kelak, bukan masa pengasuhnya atau orang tuanya. “Bukan Al Hikmah yang mahal, tetapi sekolah-sekolah lain yang enggan memberikan fasilitas memadai kepada anak didik dan guru-gurunya,” tegas Hidayat.

Statemen tersebut didukung oleh Ratna Ellyawati. Ia berpandangan positif terhadap maraknya fenomena full day school. “Di situ anak dalam pantauan guru, dengan kegiatan yang mampu meningkatkan kecerdasannya. Dibanding anak berada di rumah pada siang atau sore hari, namun lepas dari pantauan orang tua, tentu lebih baik dipercayakan kepada pihak sekolah,” terang Ratna.

Logika sama diajukan oleh Imam Bawani dan Hanun Asrohah. Jika memang orang tua sibuk dan mampu secara finansial, demikian Imam, maka full day school bisa menjadi pilihan tepat. “Ya daripada anak harus bermain dengan pembantu atau kawan sebayanya di luar yang tidak terkontrol, itu kan malah lebih bahaya,” ujar pria asli Kediri itu.

Hanun memandang, kesibukan belajar di fullday school dapat meminimalisasi kemungkinan remaja terjerembab pada perilaku negatif, seperti tawuran, kesalahan pergaulan hingga terjerumus pada minuman keras dan narkoba.

Di sisi lain, Imam Bawani menyarankan supaya full day school memberlakukan sistem subsidi silang. Mantan rektor Universitas Terpadu Darul Ulum (Unipdu) Jombang ini mengatakan, “Ya semisal 20 anak di satu kelas menyubsidi 4 anak-anak miskin yang berprestasi. Ini kan adil. Kelompok yang tidak mampu pun ikut mengenyam fasilitas pendidikan yang memadai.”



Peran Orang Tua?

Tumbuh suburnya sekolah yang menganut sistem hari penuh ini memunculkan gugatan, “Lantas di mana peran orang tua?” Menjawab kritikan ini, Ratna menyatakan, “Kalau ada pengganti lain yang lebih bagus, mengapa tidak?”

Kendati demikian, orang tua tidak bisa begitu saja melepas tanggungjawabnya kepada pihak sekolah. Curahan perhatian orang tua baik psikis maupun fisik sangat dibutuhkan anak. “Kekecewaan anak yang tidak mendapat jalan keluar, akan mendorongnya mencari kompensasi-kompensasi pada aktivitas yang tidak diinginkan,” ujar Hanun mengingatkan.

Menurut Srisiuni Sugoto, semua tergantung kecerdikan orang tua memanfaatkan kesempatan luangnya untuk mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada anak. “Ketika pulang sekolah, orang tua harus mengambil alih peran gurunya, untuk menunjukkan kepada anak bahwa aku lah orang tuamu,” cetus Srisiuni.

Sayangnya, seringkali setelah pulang sekolah, pada petang harinya, anak masih dileskan pada lembaga kursus sampai malam. Padahal konsep dasar full day school, menurut Srisiuni, adalah supaya murid tidak dibebani pelajaran tambahan di rumah. “Tapi kenyataannya beberapa orang tua masih belum puas atas prestasi anak. Sehingga masih diwajibkan belajar ini dan itu. Dalihnya, wong anak suka kok. Padahal yang mempunyai otoritas itu kan orang tua,” tandasnya.

Selain itu yang perlu diperhatikan, tidak semua anak cocok masuk full day school. Layaknya pesantren, anak yang fisiknya lemah tidak mampu mengikuti program secara baik. Jika dipaksakan berarti anak menjadi korban eksploitasi, dan orang tua lah aktornya.
(Syafiq)

Yatim; di Panti Atau di Rumah?


Salah satu lembaga pendidikan berasrama adalah panti asuhan. Boleh jadi panti ataupun pesantren yatim bukanlah pilihan terbaik, karena bukan pengasuhan normal. Menurut salah seorang praktisi penyantunan yatim yang pernah ditemui Al Madinah, pengasuhan normal adalah di rumah tangga muslim. Pasalnya, di panti sisi human touch-nya tidak sebanding dengan kasih sayang yang diberikan oleh orang tua.

Bagaimana pendapat para praktisi dan pakar atas perihal metode pengasuhan yatim yang ideal? Silakan simak:



Abdul Kholiq, Ketua Himmatun Ayat (Himpunan Muslim Penyantun Anak Yatim) Surabaya

Saya pernah membaca sebuah hasil penelitian yang menyatakan, anak yatim yang dididik di asrama dengan dipaksa atau terpaksa cenderung mengalami reterdensi, yaitu menurunnya potensi kecerdasan anak. Maka menurut saya yang terpenting adalah pengembangan dan pembangunan sumber daya manusia pengelola dan anak yatim, bukan pembangunan gedungnya. Alangkah lebih baik jika anak yatim disekolahkan pada sekolah-sekolah unggulan tanpa harus diasramakan.


Ratna Ellyawati (Ahli Psikologi Klinis, Pengajar Untag Surabaya)

Tradisi kita masih menganut pola extended family (keluaraga besar). Dalam satu rumah masih ada paman, bibi, kakek, dan nenek. Nah anak yatim mungkin bisa memperoleh role model dari mereka. Tetapi tetap saja dalam batinnya anak bersuara, di mana orang tuaku. Dan itu menggugah rasa amannya. Itulah kenapa yatim cederung nakal. Kenakalan itu ekspresi dari pertanyaan yang tidak terjawab, bukan sikap asosial.

Anak yatim tinggal di lingkup keluarga penyantun, itu ideal. Hanya saja untuk mengendalikan perilakunya, seberapa besar orang tua baru itu mampu menguasai anak, sehingga anak mematuhinya.


Sri Siuni (Dosen Psikologi Perkembangan Universitas Surabaya (Ubaya)

Alangkah bagusnya jika si anak yatim diasuh di rumah keluarga sang penyantun, sehingga melebur sebagai anggota. Anak memeroleh tokoh yang bisa dijadikan panutan. Tapi persoalannya, siapa yang mau?

Kalaupun harus tinggal di panti, semestinya panti menyediakan banyak pekerja sosial. Karena semakin banyak pekerja sosial kian banyak pula anak yang memperoleh kasih sayang. Dan mereka harus tahu betul tahap-tahap perkembangan anak. Misalnya, untuk anak SD apa saja yang harus diperhatikan.



Imam Bawani (Guru Besar Pendidikan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya)

Yatim hidup sebagai anggota keluarga penyantun, itu baik. Asalkan dia bisa bersosialisasi dengan anggota keluarga yang lain. Pertanyaannya, adakah seseorang yang mampu mengasihi yatim persis layaknya mengasihi anak atau saudara kandungnya?

Sebenarnya bukan masalah tinggal di asrama, asalkan sistemnya tepat. Jangan ikuti sistem pendidikan umum. Silakan untuk anak SD dan SMP. Tetapi setelah usia SMA, beri pendidikan keterampilan praktis selama satu. Kurikulumnya 75 % praktik dan sisanya teori. Karena itu yang dibutuhkan yatim. Lulus SMA, kalau anak nggak kreatif dan tidak punya orientasi keterampilan akan sama saja, menganggur dan menjadi beban sosial.

Namun secara umum, di mana pun ia tinggal, pengasuhnya harus mengerti betul ajaran agama dan memeganginya secara kuat. Sehingga berkenan mendidik yatim layaknya anak sendiri.



Hanun Asrohah (Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel)

Anak yatim membutuhkan kasih sayang dari sosok dewasa terdekat untuk mengisi ruang kosong dalam jiwanya. Oleh karena itu, keluarga atau kerabat dekat anak yatim adalah pilihan tepat untuk pengasuhannya.

Tetapi, jika mereka tidak memiliki keluarga atau kerabat yang mampu menjaga, merawat, mendidik, dan mengantarkan mereka menjadi manusia yang berkualitas, maka yayasan sosial mutlak diperlukan untuk mengasuh mereka. Jika ada anak yatim yang terlantar, semua umat Islam harus bertanggung jawab atas kehidupan dan masa depan mereka.

*****

Bukan soal di mana anak yatim diasuh. Sistem pendidikan dan pengasuhannya lah yang harus dirancang dan dikerjakan secara tepat.
(Syafiq)

Mengintip Bilik Pesantren


Oleh

Moh. Yamin

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang, Penulis buku “Menggugat Pendidikan Indonesia” (2009)



Kemunculan pesantren di tengah masyarakat dengan sekian pernak perniknya adalah sebuah keniscayaan. Pesantren dapat menjaga tradisi leluhur, membentuk manusia-manusia agamis dan membangun tatanan masyarakat berbalutkan kearifan lokal. Pesantren adalah lembaga yang dapat menjaga moralitas masyarakat dan bangsa. Sehingga bisa mewarnai kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Muaranya adalah lahir sekian orang dengan modal pemahaman keagamaaan dan agama yang kuat untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Lahirlah sekian manusia yang dapat membuka pandangan hidup lebih luas terhadap lingkungan sekitarnya. Pesantren dengan kiprahnya akan mampu menunjukkan pelbagai macam jalan agar bangsa dan masyarakat dapat menemukan peta perjalanan yang lurus dan menggapai cita-cita luhur; masyarakat madani.

Diakui maupun tidak, tatkala pesantren dapat memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan mendapat kepercayaan sebagai pendidik bagi masyarakatnya, maka, pesantren bisa menjadi magnet agar para anak negeri dipondokkan. Dengan satu tujuan luhur, mereka bisa menjadi anak-anak yang berbakti, berbuat terbaik bagi keluarga dan masyarakatnya, serta memeroleh kedalaman pengetahuan agama yang kuat. Mereka pun menjadi indidividu dengan kejernihan berpikir dan kelapangan hati ketika menghadapi persoalan hidup. Tidak cepat putus asa, selalu menyerahkan diri dan menyampaikan keluh kesahnya kepada Allah Swt.

Oleh karenanya, siapa pun di jagad bangsa ini akan setuju, pesantren selalu menjadi lembaga pendidikan alternatif dalam mendidik anak-anak bangsa. Sebab di pesantrenlah, anak-anak negeri tidak hanya memeroleh pengetahuan agama namun pendidikan umum. Dalam konteks ini, pendidikan agama yang dimaksud adalah mereka mempelajari Kitab Kuning dan sejumlah kitab lain yang berpengaruh besar dalam peradaban dunia. Harapan ke depan, mereka mampu menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan lebih ketimbang anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan umum.

Lebih menarik lagi, ketika menimba ilmu di pesantren, para santri semakin terlatih untuk hidup mandiri. Mereka bisa terbiasa belajar memaknai kehidupan secara lebih dewasa. Ketika mampu membangun hubungan antara sesama santri, mereka pun bisa menumbuhkan sikap dan tindakan untuk saling menerima perbedaan baik budaya, suku, pendapat, dan lain seterusnya. Secara tegas, pesantren kemudian memberikan sebuah penanaman nilai kehidupan untuk bisa terbuka dan membuka diri dalam berinteraksi dan berdialog secara arif. Sehingga akan terbentuk sedemikian rupa dalam kehidupan para santri. Mereka seolah merasa lebih menjadi manusia sesungguhnya sebab sudah dihadapkan dalam sebuah realitas yang sesungguhnya, bukan direkayasa.

Setidaknya, pesantren kemudian menjadi sebuah miniatur kehidupan untuk belajar lebih tegar dan kokoh dalam kehidupan sebelum menjadi bagian masyarakat. Dengan demikian pesantren berupaya menjadi sebuah arena diri agar bisa saling menerima sebuah keadaan yang berbeda satu sama lain. Itulah kenyataan hidup yang pasti dialami setiap santri ketika memasuki dunia pesantren. Oleh sebab itu, pesantren menjadi sebuah ruang terbuka bagi mereka untuk melakukan aktualisasi diri. Pencarian identitas untuk belajar diakui masyarakat dipupuk pula di pesantren.

Komunikasi dengan pengasuh pesantren, ustadz, kiai dan lain seterusnya akan menjadikan mereka semakin mengenal s arti hidup yang lebih. Dalam konteks yang lebih luas, pesantren kemudian membangun sebuah kedewasaan dan kematangan dalam berperilaku yang berbeda. Ketika di awal memasuki pesantren, para santri masih cenderung malu-malu dan kurang terbuka berkomunikasi, namun selanjutnya akan menunjukkan sebuah keinginan dan kehendak agar bisa menghilangkan perasaan tersebut. Ini adalah sebuah keniscayaan.

Oleh karena itu, agar pesantren tetap hadir di pentas pendidikan kemanusiaan dan agama dan selalu mendapat kepercayaan di hadapan masyarakat, maka pesantren harus memaksimalkan empat fondasi utama setelah santri menimba ilmu di pesantren. Pertama; penguatan hubungan antara pesantren dan alumni. Sebab dua entitas tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di sana ada pesantren, maka di sana pula ada alumni pesantren. Yang jelas, antara pesantren dengan alumni yang bertebaran di tengah umat manusia harus terbangun komunikasi intensif.

Men-database para alumni adalah sebuah keniscayaan untuk menghitung-hitung seberapa banyak santri yang sudah diproduksi pesantren bersangkutan. Tak hanya itu saja, juga perlu mendeteksi dan mengidentifikasi ke manakah mereka mengiprahkan hidupnya, apakah ke sosial, politik, dan lain seterusnya. Pendataaan demikian sangat diperlukan guna memetakan peran mereka dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Ibu Pertiwi ini. Dengan begitu, pesantren akan mudah untuk menghubungi mereka setiap saat jika para alumni dibutuhkan, semisal ada acara temu alumni.

Ini diharapkan menjadi penguat jembatan agara proses bangunan inter-relasi tetap terbentuk secara terus menerus. Rekatan kebersamaan turut terjalin dengan sangat harmonis. Sehingga dengan hubungan yang semakin mantap di antara pesantren dan para alumni, maka pesantren sebagai tempat di mana mereka (para alumni) belajar sebelumnya akan tercitrakan baik dan positif di depan masyarakat umum baik di pedesaan maupun perkotaan. Sangat wajar apabila pesantren sebagai kawah candradimukanya pun menjadi obsesi setiap orang –yang sebelumnya tidak dan belum mondok di sana— akan terdorong keinginan guna menimba ilmu di tempat tersebut.

Secara jujur, kesadaran rasional akan muncul dengan sedemikian rupa. Lebih tepatnya, pesantren ternyata sangat hebat dalam mendidik para santrinya. Ini bisa dibuktikan dengan alumninya yang bertebaran di jagad raya pertiwi ini. Ketiga; pesantren juga perlu memberikan tugas-tugas secara garis besar terhadap para alumninya pasca di pesantren.

Tetap mempertahankan tradisi dan budaya pesantren adalah sebuah kewajiban bagi setiap alumninya. Ini sebagai bentuk pemerian ciri khas pesantren terkait agar masyarakat umum bisa membedakan pesantren alumni manakah mereka, apakah dari Sidogiri, Tebuireng, dan lain seterusnya. Menjaga ciri khas sangat penting untuk menunjukkan nilai keaslian pesantren.

Tak hanya itu, para alumni harus mampu membumikan visi dan misi yang diemban pesantrennya di tengah masyarakat secara praksis kongkrit. Sebab visi dan misi berjalin kelindan erat dengan tujuan didirikannya pesantren oleh para leluhurnya, termasuk itu pula sebangun dengan jiwa trans-kemanusiaan dan transedental saat para leluhur melakukan kontemplasi serta perenungan saat hendak mendirikan pesantren. Wallahu A'lam Bisshowab.

Hak Pendidikan Anak


Oleh: Ahmad Subakir, M.Ag.
(Pengajar di STAIN Kediri)






Sejarah mencatat, pendidikan mampu mengubah masyarakat terbelakang menjadi umat terbaik. Menurut Noer Aly (1999: 27), hal ini terwujud karena pendidikan Islam terpadu dalam pendidikan ruhiyah (rohani), fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas).

Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Ibn Rusn (1998: 56-58), menyatakan, pendidikan memiliki tujuan jangka panjang dan pendek. Tujuan panjangnya ialah pendekatan diri kepada Allah. Artinya seluruh proses pendidikan harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Sementara maksud jangka pendek ialah tercapainya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya.

Ada empat tujuan pendidikan menurut al-Ghazali yaitu; Mendekatkan diri kepada Allah yakni terciptanya kesadaran dan kemampuan beribadah; Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia; Profesionalisasi individu untuk mengemban tugas keduniaan; Membentuk manusia yang berakhlak mulia dan suci jiwanya; Mengembangkan sifat-sifat utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.

Dari rumusan pendidikan di atas, tampak bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki tujuan pembinaan individu dan sosial. Dua elemen tersebut akan menjadi penyokong tegaknya sebuah peradaban besar yang dilahirkan individu-individu berkualitas, berakhlak, dan berdedikasi.


Islam dan Hak Pendidikan Anak

Dalam Islam setiap anak berhak mendapat pendidikan, dan orang tua berkewajiban untuk mewujudkan maksud tersebut. “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R.Bukhari & Muslim). Maka tugas orang tua ialah mendidik anaknya sehingga potensi-potensi yang baik (fitrah) dalam diri anak bisa berkembang.

Tema besar pendidikan secara implisit dapat dipahami dari wahyu pertama diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas kependidikan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahui.” (Al-‘Alaq : 1–5).

Bertolak dari semangat itu, Muhammad Saw mulai melaksanakan tugas sebagai pendidik dari lingkungan keluarga, kemudian melebar ke wilayah sosial yang lebih luas. Mahmud Yunus, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menulis, pendidikan Islam pada fase itu meliputi empat hal:

Pendidikan kegamaan, yaitu menuhankan Allah semata, jangan dipersekutukan dengan berhala; Pendidikan aqliyah dan ilmiah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan peristiwa alam semesta; Pendidikan akhlak dan budi pekerti agar berkelakuan baik sesuai dengan ajaran tauhid; Pendidikan jasmani (kesehatan) yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan kediaman.

Empat fase pendidikan di atas sesuai semangat zaman saat itu yakni penanaman keimanan dan akhlak. Pada perkembangan berikutnya Muhammad Saw menganjurkan umatnya agar membekali diri dengan bermacam pengetahuan, “Ajarilah anak-anakmu dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berlainan dengan hal-hal yang pernah diajarkan kepadamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan masamu” (M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, hlm. 48).

Perubahan zaman mengharuskan umat untuk membekali diri dengan segala keterampilan yang dibutuhkan pada zamannya. Keahlian dalam satu hal belum tentu relevan pada masa yang lain. Islam senantiasa menganut prinsip keseimbangan, keterkaitan, dan kesesuaian dalam mendidik anak. Maka selain mengajarkan ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada kemampuan ilmiah, juga diberikan keahlian praktis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.

Dulu kita mengenal sistem pendidikan surau yang diselenggarakan di mushala) karena saat itu telah cukup memadai. Surau lantas menjelma menjadi pesantren. Pesantren berkembang menjadi berbagai tipe; salaf, modern, dan plus. Ada pula madrasah bertaraf internasional, pendidikan terintegrasi. Semuanya adalah ijtihad ahli pendidikan. Tujuannya sama namun metode responnya atas tuntutan zaman berbeda.

Pola Pendidikan Islam dengan demikian tidak stagnan dan antiperubahan. Pasalnya, pendidikan Islam harus mempersiapkan umatnya berperan sebagai khalifah fi al ardhi dan menebarkan rahmat bagi seluruh makhluk.

Kalau diperhatikan, kedua sumber ajaran Islam—Alquran maupun Sunnah—banyak mengemukakan fenomena alam dan sosial yang masih belum terungkap. Hal ini menantang umat Islam untuk terus belajar dan giat melakukan pengkajian hingga sanggup melahirkan ilmu-ilmu baru sebagai hasil penafsiran terhadap Alquran dan sunnah.

Islam mengajarkan alam dan realita. Umat mengamati realita tersebut dengan akal, kontemplasi, maupun intuisi. Usaha ini dalam perkembangan intelektual Islam melahirkan pelbagai displin ilmu, seperti filsafat, kedokteran, kimia, astronomi, fisika, teknik, dan sebagainya.

Jelas bahwa dalam Islam, ilmu berada posisi terhormat. Untuk memahami ilmu, manusia dituntut belajar melalui proses pendidikan. Maka pendidikan dalam Islam sangat utama dan penting bagi kehidupan manusia. Rasulullah berhasil mengubah peradaban jahiliyah melalui pendidikan, masa-masa keemasan peradaban dan kebudayaan Islam pun tercapai melalui pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan capaian peradaban besar.

Orang tua tentu memiliki peran sangat besar untuk mendidik atau memilih lembaga pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya, sehingga potensi mereka terus terasah. Peranan orang tua dimulai dalam keluarga karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga. Pendidikan keluarga merupakan fondasi utama sebab berpengaruh besar terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya.

Keluarga berperan penting dalam meletakkan pengetahuan dasar keagamaan kepada anak. Untuk melaksanakan hal itu, terdapat cara-cara praktis untuk menumbuhkan semangat keagamaan pada anak, yaitu :

(a) Memberikan teladan yang baik tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama, (b) Membiasakan mereka melaksanakan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaaan yang mendarah daging, dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri serta merasa tenteram sebab melaksanakannya, (c) Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang enjoy baik di rumah atau di mana, (d) Membimbing anak gemar bacaan-bacaan agama, serta memikirkan makhluk-makhluk-nya sebagai bukti atas wujud dan keagungan-Nya, (e) Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas keagamaan dalam berbagai bentuk dan cara (Hasan Langgulung, 1995).

Tanpa dukungan dan keterlibatan keluarga, sulit mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga sangat mendukung keberhasilan pendidikan anak pada tahap berikutnya. Dan terlahirnya peradaban besar juga bermula dari keluarga.

Matikan TV di Rumah Anda (Bagian II-terakhir)

Oleh Shahnaz Haque



Selain berakibat buruk terhadap kondisi psikis anak, menonton televisi dalam waktu lama juga berdampak negatif terhadap keadaan fisik anak. Berikut adalah dampak-dampak negatif itu:



Mengganggu Fisik

Sering menonton TV akan mengganggu gerakan otot mata anak. Mata terbiasa melihat lurus dan tidak bisa bergerak-gerak layaknya saat membaca buku. Selain mengganggu otot mata, menonton juga mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu karena anak cenderung pasif.



Memicu Obesitas

Kurangnya aktivitas dan ditambah kebiasaan makan camilan, anak bisa menjadi gemuk. Di Amerika Serikat dikenal sindrome Couch Potato karena makanan camilan adalah junk food. Dalam publikasinya tanggal 21 Januari 2002, Reuter menyebutkan bahwa menonton TV mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi anak.
William Dietz, direktur divisi nutrisi Center for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan, 25 persen makanan masuk ke mulut anak pada saat nonton TV. Kebiasaan itu, menurutnya, berlangsung seiring dengan peningkatan jumlah pengidap obesitas di wilayah itu.



Mengganggu Tidur

Knights of Columbus Development Centre, Saint Louis, Amerika Serikat menyebutkan bahwa anak-anak yang kelamaan menonton TV akan mengalami tidur yang tidak nyenyak dan sering mengigau bahkan terbangun di malam hari. Penelitian terhadap 402 orangtua yang mewakili 495 anak berusia antara 4 dan 10 tahun membuktikan, umumnya para bocah menonton TV, termasuk video, selama 3 jam sehari. Sebagian besar menonton TV sepulang sekolah.

Besarnya minat anak-anak menonton TV, menurut Dr. Judith Owens dari Bagian Psikiatri Anak dan Keluarga, RS Anak Hasbro Providence, Rhode Island, AS ditunjukkan dengan data sebagai berikut: lebih dari 76 persen anak TK menganggap menonton TV sebagai bagian kehidupan mereka sebelum tidur. Sebanyak 26 persen di antara responden memiliki TV di kamar tidurnya. Sedangkan sisanya menonton TV di ruang tamu atau ruang keluarga sampai tertidur di sofa.

Hasilnya, sekitar 40 persen dari mereka mengalami masalah tidur. Di antaranya malas beranjak ke tempat tidur walaupun waktu tidur sudah tiba. Sedangkan 15,6 persen responden merasa kurang tidur selama 2 malam dalam sepekan.

Menciptakn Generasi Hedonis

Karakter TV yang serba cepat dan baru, berimbas kepada nalar penonton yang menjadi pasarnya. Mereka menjadi konsumtif, karena hanya berposisi sebagai ”pembeli” bukan ”pembuat”. Pembeli hanyalah objek, target sasaran. Dia ditentukan dan bukan menentukan. Apa buruknya? Bahaya terbesar dari hal itu adalah munculnya generasi yang tidak memiliki karakter kemandirian. Generasi seperti ini adalah anak-anak zaman yang tidak memiliki ketahanan budaya dan tanpa identitas. Ia tidak mengenali lingkungannya karena hidup dianggap berpusat pada dirinya, memburu kesenangan pribadi .



Jenis Acara TV Berbahaya

Acara apa sajakah yang perlu diwaspadai orangtua?Banyak pakar media dan psikolog Dra Rose Mini mengidentifikasi, acara berikut layak diwaspadai:

Film Kartun, karena bisa membuat anak menjadi salah mengerti. Adegan kekerasan yang muncul dan terjadi seperti normal saja bisa ditiru anak-anak.

Sinetron dan Telenovela. Gaya hidup yang glamour membuat orangtua kesulitan menjelaskan pada anak mengenai semua hal yang sangat berbeda dengan adat di tempatnya.

Film Laga. Bagian ini sangat jelas, karena tokohnya manusia nyata dan sangat mudah ditiru. Banyak kasus yang menunjukkan adanya tindak kriminal anak-anak karena mereka menonton film di TV atau video.

Film Horor. Dampak nyata adalah ketakutan yang muncul setelah anak melihat film yang mengerikan. Sulit tidur karena membayangkan sesuatu yang menurut mereka menyeramkan. Akibatnya, bisa saja anak menjadi penakut.

Iklan. Orang dewasa saja mudah terpengaruh iklan sehingga gaya hidup konsumtif menjadi gejala umum, apalagi anak-anak.



Solusi dan Penyiasatan

Lalu, masih adakah sisa ruang untuk menghindarkan anak dari efek negatif televisi? Ada. Orangtua harus menyortir acara TV yang dapat ditonton oleh putra-putrinya, meski ini akan menjadi sulit bila anak dibiarkan memegang remote sendirian di kamarnya.

Dari sisi kesehatan, Dr. Vidyapati Mangunkusumo, spesialis mata dari Jakarta Eye Center menyarankan untuk menonton dalam posisi duduk. Alasannya, tidak ada penyakit yang muncul karena TV selain capai dan lelah pada mata. Kelelahan terutama dikarenakan posisi tubuh saat melihat TV tidak ergonomis. Kalau hendak menonton TV harus pada jarak minimal 2,5 kali lebar diagonal layar. Kalau lebar diagonal layar 50 cm, maka kita harus menonton pada jarak 2, 25 meter. Aturan ini berlaku untuk semua orang.

Sistem Pengasuhan. Tidak mengandalkan televisi untuk mengasuh anak. Anak sebaiknya diberi rangsangan kreatif untuk melatih otak, emosi, pikiran, dan motoriknya. Menurut Dr. Sudiyanto Darnosubroto, ahli kesehatan anak pada Fakultas Kedokteran UI, sebaiknya sebagian besar waktu anak tercurah untuk kegiatan fisik seperti bermain, berolahraga, dan belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut secara teoritis bisa memberikan rangsangan pada pertumbuhan emosi, budi pekerti, dan intelektual.
Kalau pun televisi dianggap berperan terhadap pengetahuan anak, itu tergantung isi siarannya.

Menurut Sudiyanto, jangan jadikan televisi sebagai alat yang membuat anak betah di rumah. Banyak orangtua merelakan anak-anaknya memelototi televisi seharian daripada berpanas-panas bersama temannya di luar rumah. Salah satu cara membuat anak tidak fanatik dengan televisi bukan menghindari televisi, tetapi mengalihkan minat anak pada hal lain yang lebih menarik namun positif. Mary Leonhardt, penulis buku Parents Who Love Readings, menyebutkan bahwa membaca buku semacam novel-novel sederhana merupakan hal positif yang bisa dijadikan alternatif untuk mengalihkan minat anak yang terlalu besar pada TV.

Dengan membaca, anak diajak untuk mengembangkan imajinasi karena buku tidak menampilkan visualisasi yang sudah matang. Dengan membaca, anak diajak mendalami perasaan dan gairah yang dimunculkan penulis terhadap tokoh. Dengan membaca, kekerasan yang bisa saja muncul dalam novel dapat dilihat dari sisi lain. Mereka bisa belajar untuk menempatkan dirinya pada tokoh jahat yang diperankan, dan merasakan sendiri betapa berbuat tidak baik tidak membahagiakan.

CAOF, Bantu Anak Yatim Piatu Karena HIV/AIDS

Cepatnya penyebaran HIV/AIDS di China berdampak sangat merugikan pada dunia anak. Jumlah anak-anak yang ditinggalkan orang tua korban HIV/AIDS meningkat tajam. Peningkatan jumlah anak yatim piatu karena AIDS di China, juga sejalan dengan peningkatan jumlah yatim piatu di seluruh dunia termasuk Indonesia.



Di Kamboja, Indonesia, dan India, jumlah anak yatim karena AIDS meningkat 400 persen dari tahun 1994 hingga 1997. Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang mengurusi anak-anak, UNICEF, memperkirakan pada 2010 nanti, sebanyak 106 juta anak-anak akan kehilangan satu atau dua orang tua mereka, 25 juta di antaranya akan yatim piatu karena AIDS.

Dari jumlah itu, sedikitnya 100.000 anak yatim piatu karena AIDS, berasal dari China. Data ini berdasar perkiraan Departemen Kesehatan China. Kantor UNICEF di China menyebutkan, dalam lima tahun, dari 150.000 anak yatim piatu karena AIDS, akan meningkat jumlahnya menjadi 250.000 anak.

Bantuan untuk anak-anak yatim piatu karena AIDS di China, tak hanya dilakukan oleh UNICEF saja, tapi juga lembaga-lembaga donor. Salah satunya adalah China AIDS Orphan Fund (CAOF). Misi dari CAOF adalah untuk memperbaiki kehidupan anak-anak yatim piatu karena HIV/AIDS di pusat China, khususnya Provinsi Henan.

Provinsi Henan, yang terletak di utara pusat China adalah wilayah paling padat penduduknya. Hampir 100 juta orang mendiaminya. Baru-baru ini, penduduk Henan menghadapi krisis kesehatan yang luar biasa.

Menurut estimasi konservatif, lebih dari satu juta orang telah terinfeksi HIV di Provinsi Henan. Hampir seluruhnya terinfeksi saat mendonorkan darah mereka demi mendapatkan uang untuk menyambung hidup.

Di sekitar tahun 1990-an, orang-orang miskin di Henan, menjual darah mereka untuk mendapatkan uang. Dalam kurun waktu satu dekade, virus menyebar dengan ganas dan cepat. Di sebuah desa di Henan, bahkan 40% penduduknya terinfeksi HIV.

Orang-orang dewasa mati perlahan, sementara para remaja, harus bersiap menanggung beban merawat saudara-saudara mereka. Saat ini, situasi di Henan telah mendapat perhatian secara nasional dan internasional. Kondisi serupa juga terjadi di provinsi lain, khususnya di pedesaan Anhui, Shanxi dan Hubei.



Prioritas

Aktivitas CAOF meliputi penggalangan dana, penelitian, pendidikan, advokasi, dan menyalurkan dana bantuan kepada organisasi-organisasi. Pendanaan diprioritaskan pada; Dana pendidikan bagi yatim piatu karena AIDS; Pelayanan kemanusiaan pada keluarga-keluarga yang terinveksi HIV/AIDS; Pelayanan kesehatan dan training; dan Program yang membantu perkembangan anak yatim piatu

CAOF didirikan di bawah naungan The Minneapolis Foundation, dan sekarang terpisah menjadi organisasi nirlaba sendiri. CAOF dibantu oleh Give2Asia yang didirikan oleh Asia Foundation. CAOF dan Give2Asia bahu membahu untuk membantu perkembangan sektor nirlaba di China.



Bantuan Bagi Yatim Karena AIDS

Dengan adanya reformasi pendidikan di China, anak-anak di Provinsi Henan dikenakan 65 dolar Amerika Serikat (sekitar Rp. 650.000) tiap tahun untuk membayar sekolah mereka di tingkat sekolah dasar (SD). Anak-anak yatim piatu karena AIDS serta sejumlah orang tua yang menderita AIDS tak mampu membayar biaya pendidikan yang melambung.

CAOF memberikan bantuan kepada anak-anak yatim piatu karena AIDS agar bisa mengakses pendidikan, terutama pendidikan kejuruan dan ketrampilan. CAOF menyediakan dana untuk mendukung sejumlah program yaitu, pelatihan kejuruan, pendanaan sekolah mulai dari tingkat SD hingga sekolah menengah, dan pada beberapa kasus juga pembiayaan kuliah.

Menyadari bahwa anak-anak yatim piatu karena AIDS, juga sejumlah penderita AIDS tak hanya membutuhkan bantuan pendidikan, namun juga bantuan kemanusiaan lain, CAOF membantu melengkapi kebutuhan mereka. Bantuan itu berupa infrastruktur seperti klinik kesehatan, gedung sekolah, pemenuhan kebutuhan air. CAOF juga membantu mengembangkan sistem berbasis komunitas seperti dukungan jaringan dan aktivitas yang bisa menambah pemasukan keuangan bagi mereka.

Mayoritas keluarga yang terinveksi HIV/AIDS tak bisa mengakses layanan kesehatan, penyebabnya karena mereka miskin, selain itu di sejumlah wilayah pedesaan di China, petugas kesehatan dan pasokan obat sangat terbatas.

Karenanya, CAOF membantu memberikan penyuluhan kesehatan. Pencegahan penularan vertikal HIV dari ibu ke anak melalui air susu ibu adalah salah satu contoh. CAOF juga mendukung perbaikan akses pelayanan kesehatan melalui distribusi obat; pelatihan bagi pekerja kesehatan, pendidikan masyarakat, dan kesadaran publik.
(Diolah oleh Maya Harawati dari www.china-aids.org)

Dengan Kemauan, Yatim Pun Menjadi Guru Besar

Saat lulus SD, ia gelisah. Keinginannya yang besar untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi nyaris tidak terwujud. Keterbatasan ekonomi sang ibu sebagai orang tua tunggal (single parent) menjadi alasan utama. Sebagai anak kecil, Suryanto enggan mengerti kondisi itu. Ia memprotes sang ibu dengan bersembunyi di atas plafon rumah selama dua hari. Maksud pun tercapai. Seluruh penghuni rumah mencarinya. Kehendaknya bersekolah SMP terkabul. Kini, si yatim itu berhasil meraih gelar guru besar bidang psikologi sosial di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.



Sang ayah, Sastrowiyono, meninggal dunia saat peraih gelar Master dan Doktor bidang psikologi dari UGM Yogyakarta itu masih berusia tujuh tahun, tepat saat duduk di bangku kelas 2 SD. Ibunya, Rusmini, yang kala itu berusia sekitar tiga puluh tahun, lantas dengan sekuat tenaga membiayai pendidikan kedua putranya.

“Kalau pagi ibu jualan nasi pecel dan getuk ketela di pasar. Ya alhamdulillah cukup,” kisah Suryanto saat ditemui Al Madinah di kampus Unair pada 08/06/2009. Kerja keras Rusmini yang hanya lulusan sekolah rakyat (SR), kini menuai hasil. Anak pertamanya, Harjito kini merupakan salah satu pedagang beras yang cukup besar di wilayah Ngawi. Sedangkan si bungsu, Suryanto, menjadi wakil dekan III Fakultas Psikologi Unair.

Suryanto adalah tipe anak yang berkemauan keras. Prinsip hidupnya simpel, “Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Dan pasti bisa terwujud.” Keyakinan itu pun terwujudkan. Ia bisa bersekolah di satu-satunya SMP di kecamatannya. “Di SD saya peringkat terbaik kedua. Jadi saya yakin mampu melanjutkan studi,” ujar Ayah empat anak itu.

Dengan segala keterbatasan, Suryanto mampu menamatkan pendidikan menengah pertamanya di SMP Karangjati Ngawi, dengan predikat lulusan terbaik. Sejak duduk di bangku SD dan SMP, setiap usai pulang sekolah, Suryanto mengembala sapi, satu-satunya harta warisan sang ayah, di lapangan dekat rumahnya. Saat itulah mantan anggota tim psikolog Persebaya itu memahami bahwa hidup adalah perjuangan mewujudkan cita-cita.

Prinsip itu ia terjemahkan saat bersekolah di SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri, Ngawi. Lantaran jarak tempuh rumah ke sekolah mencapai 20 kilometer, Suryanto memilih kost di dekat sekolahnya. “Namun dalam seminggu saya pasti menyempatkan diri pulang ke rumah dua kali untuk mengambil saku. Dengan sepeda ontel, saya biasa berangkat selepas subuh, sampai di kos jam enam,” kenang alumnus program Diploma 2 IKIP Negeri (sekarang Unesa: red) itu.



Yatim Tak Perlu Minder

Suryanto kecil hidup di rumah keluarga besar (extended family). Karenanya meski kehilangan figur ayah saat belia, ia masih memeroleh curahan kasih dari paman dan bibinya. “Ya kalau tergantikan total sih tidak, tetapi peran pengasuhan bisa ditutup oleh saudara,” tandas Wakil Ketua Bidang Litbang KONI Propinsi Jawa Timur 2006-2010. Kendati demikian, pembiayaan hidup sepenuhnya ditanggung oleh sang ibu.

Ia tak pernah merasa minder meski berposisi yatim. “Mungkin karena saat ditinggal bapak, saya masih sangat kecil. Jadi hubungan dengan bapak belum terlalu intensif. Memang kadang saat melihat teman-teman bermain dengan ayahnya, saya teringat tentang bapak,” kata Suryanto.

Keterbatasan ekonomi sempat membuat Suryanto berkecil hati. Ibunya tidak mampu membelikannya buku-buku pelajaran. Namun ia tak kekurangan akal, ia mengajak teman sekolahnya untuk belajar kelompok. “Saking seringnya belajar di rumah teman, sejak SD saya sudah jarang tidur di rumah,” ucapnya.

Begitu pun saat duduk di bangku SPG. Untuk menutupi kekurangan ia sering sekali berpuasa. Jerih payah Suryanto berbuah manis. Ia meraih peringkat terbaik ketiga saat lulus SPG pada tahun 1982.

Bermodal kemauan, Suryanto yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 04/04/ 2009, berangkat ke Surabaya untuk melanjutkan kuliah. “Ya nekad saja. Saya meyakinkan ke orang tua. Nyatanya sanggup lulus SMP dan SPG kok. Saya bilang begitu ke ibu,” tukasnya.

Karena bercita-cita menjadi guru, Suryanto mengambil program D2 keguruan. Selepas itu berpindah ke Fakultasi Psikologi Unair untuk menempuh S1. Waktu kuliah, saku dari ibunya cuma cukup untuk transportasi. Selebihnya untuk membayar kuliah dan menutupi kebutuhan harian, ia memberi lest privat. “Ya alhamdulillah cukup. Hidup itu kan tinggal setelannya,” tegas pria empat puluh empat tahun itu.

Tekad dan kemauan mengantarkan Suryanto pada puncak karir akademis. “Saya punya keyakinan untuk bisa. Namun bisa bukan hanya karena saya, tapi doa orang tua sangat berarti,” ujar peraih gelar Profesor tercepat di Unair menurut masa kerjanya yaitu lima belas tahun sejak pengangkatan sebagai dosen.

Beranjak dari pengalaman pribadi, Prof. Dr. Suryanto, M.Si, berkesimpulan bahwa anak yatim sebenarnya tidak perlu banyak dibelaskasihi, tetapi diberi peluang. “Kenapa? Sebab harga harga diri! Kalau sering dikasih fasilitas, anak akan jadi tidak berdaya, dan memicu ketergantungan. Maka beri dia kesempatan. Saya merasa diberi kesempatan oleh orang tua untuk maju,” pungkasnya.

(Syafiq)

Ummu Sulaim, Berteladan Total Demi Anas Bin Malik

Modal utama mendidik anak dan membentuk keluarga bahagia bukan hanya bertumpu pada kepemimpinan laki-lak. Posisi perempuan adalah tumpuan utama yang kedua yang tidak bisa diremehkan.

Contoh perempuan yang sukses dalam karir dan keluarga adalah Siti Khadijah. Siti Khadijah merupakan pribadi yang terjaga secara moralitas, namun sanggup beraktualisasi secara merdeka di tengah peminggiran kaum perempuan hingga titik nadir pada masa Jahiliyah. Ternyata, sosok semacam inilah yang kemudian menjadi pilihan utama Nabi Muhammad Saw sebagai pendamping seumur hidup. Bukti, bahwa Nabi Saw sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kaum hawa.

Sosok seperti itu dalam khazanah Islam lainnya adalah Ummu Sulaim. Ummu Sulaim terkenal sebagai sosok wanita muslimah yang brillian di zaman nabi, dan dijuluki dengan gelar Gumaisha’ (orang yang bermata putih) oleh masyarakat Arab. Ia juga menjadi perempuan kaum Anshar dari penduduk pribumi Madinah yang menerima dakwah Nabi ketika Hijrah dan menjadi penolong bagi kaum Muhajirin sebagai masyarakat pendatang.

Selain cerdas, ia juga penyabar dan pemberani. Ketiga sifat mulia ini pun ikut terserap dalam kepribadian anaknya dan sangat mewarnai perangai anaknya di kemudian hari. Kecerdasan biasanya akan melahirkan kecerdasan, kesabaran melahirkan kesabaran, dan keberanian akan pula melahirkan keberanian. Dan sikap itulah yang dimiliki oleh putra Ummu Sulaim, Anas bin Malik, seorang perawi hadis terkenal.

Di kala Anas masih bayi, Ummu Saulaim telah men-talqin/mengucapkan pada Anas-dengan kalimat tauhid “la ilaha illallah..Muhammadun Rosulullah” dan Anas-pun mengucapkannya. Ini merupakan tugas pertama orang tua terhadap anaknya. Karena ia tahu betul bahwa agama anaknya akan terbentuk dari ajaran yang ditanamkan secara baik oleh orang tuanya.



Kearifan Berbagi Sebagai Istri

Ummu Sulaim adalah sosok yang sangat memegangi prinsip dan teguh pendirian. Setelah suaminya, Malik bin Nadhar –yang merupakan ayah Anas— meninggal dunia, ia dipinang oleh Abu Thalhah yang pada waktu itu masih musyrik. Ia berani menolak pinangan tersebut. Tindakan yang sangat jarang dilakukan oleh seorang wanita ketika itu, sampai kemudian Abu Thalhah masuk islam.

Dari pernikahannya dengan Abu Thalhah, lahirlah anak mereka yang diberi nama Abu Umar. Kelahiran hingga wafatnya anak mereka —Abu Umar— menyimpan hikmah yang sangat menarik. Kisah ini menyiratkan kearifan yang dalam dari seorang Ummu Sulaim sebagai seorang ibu dan sekaligus istri.

Seperti pada hari-hari biasa, saat adzan isya’ berkumandang, Abu Thalhah berangkat ke masjid. Dalam perjalanan ke masjid, anaknya (Abu Umar) meninggal dunia. Dengan cepat Ummu Sulaim mendandani jenazah anaknya, kemudian membaringkannya di tempat tidur. Ia berpesan kepada Anas agar tidak memberi tahu Abu Thalhah tentang kematian anak kesayangannya itu. Kemudian ia pun menyiapkan hidangan makan malam untuk suaminya.

Sepulangnya dari masjid, seperti biasa Abu Thalhah menyantap makan malamnya kemudian menggauli istrinya. Di akhir malam, Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, “Bagaimana menurutmu keluarga si fulan? Mereka dititipi sesuatu oleh orang lain tapi ketika diminta mereka tidak mau mengembalikannya, merasa keberatan atas barang titipan yang telah ada padanya itu.” Abu Thalhah menjawab:”Mereka itu telah berlaku tidak adil.”

Mendengar jawaban itu, ia lantas berkata kepada Abu Thalhah; “Ketahuilah, sesungguhnya puteramu adalah titipan dari Allah dan kini Allah telah mengambilnya kembali”. Akhirnya dengan caranya itu, Ummu Sulaim berhasil meredakan duka Abu Thalhah. Abu Thalhah kemudian menyahut dengan berkata, Inna Lillahi wa inna Ilaihi raji’un..segala puji bagi-Mu ya Allah.”

Kecerdikan, kesabaran, Sulaim berpengaruh besar atas diri sang anak, Anas bin Malik. Anas adalah sosok yang tekun dan cerdas. Perannya yang besar dalam menyampaikan kata-kata dan tindakan Rasulullah kepada generasi berikutnya menunjukkan itu.



Inspirasi Anak dengan Watak Rasulullah

Di masa hidup Ummu Sulaim, peperangan masih sering terjadi. Sebagai umat Islam, Gumaisha’ ingin agar anaknya kelak menjadi bagian penting dalam perjuangan Rasulullah dan Islam. Ia pun mengajarkan keberanian pada anak-anaknya. Untuk mendidik keberanian dan ketangguhan pribadi, Ummu Sulaim memberi anaknya dua metode. Pertama, dirinya sendiri sebagai inspirasi, dan kedua ia memasrahkannya kepada yang lebih ahli, yakni Rasulullah Saw.

Oleh karena itu, dalam hal mengajarkan keberanian, Ummu Sulaim tidak saja bertutur tentang keberanian kepada Anas, namun ia menanamkannya dengan keteladanan. Meski Sulaim adalah seorang wanita, namun ia tak segan menjadi ujung tombak dalam memerangi kemusyrikan. Diceritakan dari Anas bahwa suatu ketika, Abu Thalhah berpapasan dengan Ummu Sulaim ketika perang Hunain. Ia melihat bahwa di tangannya ada sebilah pisau, maka Abu Thalhah segera melapor kepada Rasulullah perihal Ummu Sulaim. Dan Ummu Sulaim pun menjelaskan bahwa pisau ini ia sengaja siapkan untuk memerangi orang musyrik.

Selain itu, ia pun mempercayakan pendidikan anaknya kepada Rasulullah. Menjelang usia delapan tahun, putranya, Anas diserahkan kepada Rasulullah sebagai hadiah yang siap untuk melaksanakan segala perintah Rasul. Ia berharap anak-anak tersebut menetaskan sifat-sifat sang Utusan. Hal ini kemudian terbukti, Anas menjadi salah seorang perawi hadits terbanyak.

Dalam sejarah, Anas tercatat salah satu dari tujuh sahabat nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi Saw. Tak kurang dari 2286 hadis yang telah ia riwayatkan dari Rasulul. Dia adalah sahabat terakhir yang wafat di Basrah setelah berumur lebih dari seratus tahun. Selain itu Anas banyak menelurkan ulama-ulama hebat dalam sejarah. Sebut saja misalnya Hasan al Basri, Ibnu Sirin, As Sya’bi, Abu Qilabah, Makhul, Umar bin Abdul Aziz, Tsabit al Bunani, Ibnu Syihab az Zuhri, Qatadah as Sadusi dan masih banyak ulama besar lain yang merupakan muridnya.

Kepribadian seseorang memang sangat dipengaruhi tentang bagaimana seseorang dibentuk oleh pengalaman masa kecilnya. Masa kecil menjadi jejak kepribadian ketika mereka jadi dewasa. Daya rekam ingatan tersebut kemudian mengalami aktualisasi tindakan, yakni berupa kepribadian. Terutama, dari pola didik kedua orang tuanya.

Kisah selintas tentang Ummu Sulaim, semoga menjadi inspirasi dalam membentuk dan mendidik keluarga yang mawaddah wa rahmah.
(Disarikan oleh Suud Fuadi dari buku Ibunda Para Ulama karya Sufyan bin Fuad Baswedan

Cara Mudah Menanggulangi Konflik dalam Pernikahan II


Founder SEFT, Ahmad Faiz Zainuddin berbagi ilmu seputar metode meraih kebahagiaan (happiness). Konsultasi lebih lanjut bisa dialamatkan ke redaksimadinah@yahoo.com atau faiz_zain@yahoo.com. Isi curhat Anda akan menjadi ulasan dalam rubrik ini.






Our Deepest Pain & Highest Happiness Always Come from Home Cara Mudah Menanggulangi Konflik dalam Pernikahan (Bagian 2-terakhir)



Lalu apa resep agar perkawinan bahagia dan langgeng? apa resep dari The Masters? (Dr. Gottman menyebut pasangan bahagia sebagai The Masters, sedangkan pasangan menderita atau bercerai disebut disasters). Berikut ini saran dari pendiri laboratorium cinta di University of Washington, Dr. Gottman:

Pertama, persahabatan. Ada tiga unsur persahabatan dalam perkawinan:

a. Enhance Love Map: pasangan bahagia mengembangkan "Peta Cinta" mengenai pasangannya. Ini adalah pemahaman tentang kondisi psikologis pasangan kita, meliputi cita-citanya, hal-hal yang disukai dan dibenci, sosok yang ia kagumi, trauma-truma masa lalu, sejarah hidupnya, dan lain-lain. Kita bisa mengembangkan peta cinta yang akurat dengan sering-sering bertanya dengan kesediaan untuk memahami. Kalau ada satu hal terpenting yang bisa anda lakukan dalam dua minggu untuk membuat hubungan Anda dengan pasangan lebih intim adalah dalam dua minggu ini sering-seringlah bertanya pada pasangan anda (apa keinginan yang paling kau dambakan, siapa orang yang paling kau kagumi, apa pengalaman terindah sepanjang hidupmu, dan seterusnya).

b. Fondness and admiration (sayang dan kagum): kembangkan terus rasa kagum, sayang dan terima kasih pada pasangan. Aku bangga... Aku menghargai... Kamu hebat ya... Semua ini tidak boleh hanya ada di benak pikiran Anda, namun harus diungkapkan sesering mungkin baik lewat ucapan, tindakan, surat, telepon atau sekadar sms.

c. Bids for emotional connection& turning toward: perhatikan hal-hal yang tampaknya sepele sebab bisa membangun hubungan dengan pasangan. Jangan mengabaikan komentar-komentar kecilnya, namun responlah dengan penuh kebaikan hati, perhatian, dan ketertarikan. agar pasangan merasa dihiraukan.

Jika tiga hal di atas dilakukan, menurut hasil penelitian, tidak hanya membuat rasa persahabatan pasangan semakin dalam, tetapi juga meningkatkan romantisme, gairah dalam perkawinan, dan kualitas hubungan seksual. Ini yg disebut Dr. Gottman sebagai positive override (pengalaman-pengalaman positif yang memperkaya kebahagiaan perkawinan).

Kedua, repair conflict. Para master dalam perkawinan yang bahagia, pandai sekali memperbaiki hubungan yang renggang akibat konflik. Dalam persengketaan sekali pun mereka mempunyai kebiasaan yang positif. Ada dua jenis konflik dalam perkawinan:

a. Konflik yang tidak bisa diselesaikan seumur hidup akibat perbedaan kepribadian. Misalnya suami tidak teratur, jorok, dan spontan, sementara si istri serba tertib, rapi, dan terencana. Repotnya, konflik jenis ini porsinya 69 % dalam perkawinan. Rumah tangga akan langgeng jika pasangan bisa menolerir perbedaan ini. Dan perceraian terjadi karena pasangan terjebak dalam empat prediktor perceraian (lihat bagian 1 pada edisi Mei 2009) saat masalah abadi atau konflik yang sama muncul lagi. Untuk konflik jenis ini, kuncinya bukanlah menyelesaikan konflik, melainkan berdialog untuk menemukan akar konflik. Dan inilah akarnya; bukan karena cacat karakter pasangan Anda, tetapi karena ada impian-impian terpendam yang belum Anda pahami. Solusinya, jadilah Anda sebagai dreamcatcher atau penangkap impian dari pasangan. Caranya, ajukan pertanyaan-pertanyaan seperti dalam love map, pahami kisah hidup pasangan, gali impian-impian tersembunyinya yang mendasari mengapa ia punya sikap dan kepribadian sangat berbeda dengan Anda. Untuk mengatasi 69% konflik ini, pahamilah impian pasangan Anda.

b. Konflik spontan yang bisa diselesaikan (porsinya 31% dalam perkawinan). Para masters dalam perkawinan mengatasinya dengan:

Gentleness (kelembutan). Bukannya mengatakan,"Mas/Dik, kenapa sih kamu kok sibuk terus, kamu udah gak peduli lagi ya sama keluarga", tetapi mereka mengatakan "Mas/Dik, terus terang aku kesepian akhir-akhir ini, aku merindukan kehadiranmu. Ingat nggak, waktu kita menghabiskan waktu berdua semalaman sambil bercanda, sebulan yang lalu, kapan ya bisa begitu lagi?” Ingat, jangan mengkritik, hanya mengutarakan perasaan dan harapan sambil berikan penghargaan, bukannya cemoohan.

Accepting influence (mau menerima pengaruh dari pasangan). Biasanya yang kesulitan melakukan hal ini adalah suami, karena merasa gengsi, takut dibilang masuk anggota ISTI (Ikatan Suami Takut Istri). Padahal kata gurunya Bruce Lee, Yip Man (pendiri cabang bela diri Wushu), "Tidak ada suami yang takut istri, yang ada hanyalah suami yang menghormati dan menghargai istrinya." Suami yang mau menerima pengaruh sang istri, perkawinannya cenderung langgeng dan bahagia. Lagi pula, kunci untuk bisa memengaruhi orang lain adalah dengan bersedia dipengaruhi. Orang yang keras kepala biasanya tidak dihiraukan orang lain (sebagai balasan setimpal).

Compromise. Mau berkompromi, terutama terhadap hal-hal sepele. menganggap kebahagiaan hubungan perkawinan lebih penting dibanding memertahankan pendapat dan ego sendiri.

Calming down. Ketika bertengkar, pasangan bahagia mau mengambil jeda, (time out) dan calming down, sampai kepala dan hati dingin, baru berdialog lagi. Mereka memiliki sense of timing untuk bertengkar dengan cara yang sehat. tidak menuruti nafsu amarah.

Shared meaning (misi bersama). Setiap perkawinan adalah hubungan persilangan budaya, maka untuk menyatukan dua latarbelakang yang berbeda itu, dibutuhkan misi bersama yang kokoh. Visi misi keluarga perlu kita bangun bersama pasangan, sehingga sesuatu yang kita perjuangkan bersama lebih penting dibanding diri sendiri.

Inginkah perkawinan Anda kuat dan bahagia hingga akhir hayat? Silakan coba resep Dr. Gottman di atas. Terlalu njlimet-kah? Memang seperti itulah ciri khas saran dari sosok ilmuwan dan peneliti. Mereka bicara berdasarkan data dan analisis, tidak pernah spekulatif atau serampangan.

Bersedekah, Kaki Terlindas Truk Hanya Lecet

Hari Senin petang, 01/06/2009, bisa jadi akan menjadi waktu yang tak pernah terlupakan dari memori Nurul Badriyah, pegawai LoGOS Institute Surabaya. Kecelakaan cukup fatal menimpanya di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kaki kirinya tergilas ban truk saat keluar dari pintu kapal Madura-Surabaya. Uniknya, hasil diagnosis medis menyimpulkan bahwa tak ada tulang yang retak di kakinya, hanya memar biasa.

Pagi harinya, Nurul, bersama beberapa staf LoGOS Institute menghadiri undangan Preview SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) di salah bank swasta terbesar di Jl Pahlawan Surabaya. “Namun menjelang acara berakhir, saya memeroleh kabar, salah satu saudara di Madura meninggal,” cetus wanita berdarah Madura itu.

Seusai preview, Nurul meminta izin kepada Syarif Thayib, Direktur LoGOS Institute, untuk tidak kembali ke kantor. Pasalnya, ia hendak takziyah ke rumah kerabatnya di Madura. Jadilah, siang itu selepas menunaikan shalat dhuhur, ibu dua anak itu meluncur ke Pulau Garam mengendarai sepeda motor. Ia mengajak salah satu staf LoGOS, Siti Roifah (biasa disapa Ifa), untuk menemani perjalanan.

“Singkat cerita sesudah takziyah kami memutuskan untuk segera kembali ke Surabaya, mengingat hari semakin petang. Setelah shalat magrib kami segera meluncur ke pelabuhan Kamal, Bangkalan,” kisah Nurul. Sesampainya di pelabuhan, mereka bergegas menuju loket untuk membeli tiket kapal seharga Rp. 9500.

Karena masih ada kembalian Rp. 500, sarjana alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya ini meminta Ifa untuk memberikan uang sisa ke pengemis. “Saat itu saya bilang ke Ifa, uang itu yang akan menjaga kita dari musibah,” ucap Nurul berkisah kepada Al Madinah.

Menggunakan kapal jenis feri, perjalanan Madura-Surabaya melahap waktu dua puluh lima menit. Nurul, Ifa, dan mungkin penumpang lainnya tak merasa jenuh dalam perjalanan. “Waktu itu cuaca cerah, angin bertiup sedang, bintang tampak berkelap-kelip di langit, dan lampu-lampu kota terlihat memendar dari laut,” kenang Nurul.



Berkah Sedekah

Sekitar pukul 19.30 WIB, kapal bersandar di pelabuhan Tanjung Perak. Lantaran sepeda motor yang dikendarai Nurul dan Ifa berada di bagian tengah, mereka harus bersabar mengantre kendaraan di depannya untuk keluar. “Saat itu tiba-tiba sebuah truk merambat bergerak. Lantas kaki saya terasa seperti terinjak, Masya Allah, ternyata kaki kiri terlindas ban truk itu,” tutur Nurul.

Uniknya, seperti diterangkan Ifa, perempuan tiga puluh tujuh tahun itu tetap tenang dan tidak panik. Setelah truk berlalu Nurul merasakan sakit dan panas di seluruh tubuh. Ia meminta Ifa untuk meminggirkan sepeda, seraya mencari tempat aman dari lalu lalang kendaraan.

Sambil menahan sakit Nurul membuka sepatunya. “Mbak Nurul terlihat tenang, malah saya yang bingung, dan menangis melihat kondisi kakinya yang lebam,” ujar Ifa kepada Al Madinah. Demi memeroleh perawatan selekasnya, mereka berdua menuju rumah sakit terdekat dari pelabuhan.

Dokter merekomendasikan Nurul untuk melakukan foto rontgen untuk mengetahui kondisi tulang kaki kirinya. “Saat itu rasa khawatir dan cemas menyergap. Namun saya terus berusaha tenang sambil terus berdoa,” tukas Nurul. Sambil menunggu antrian foto, Nurul menarik dompet dari saku celananya, dan mengambil uang yang tinggal selembar.

“Saya menyuruh Ifa untuk memberikan uang tersebut kepada orang yang membutuhkan, entah pengemis, tukang becak, atau siapa pun,” Imbuhnya. Menanggapi itu, Ifa sempat kaget dan berceletuk, “Aduh mbak sayang, kasihkan pada anak-anak di rumah saja.” Namun gadis asli Kediri itu menuruti perintah Nurul.

Tak lama setelah Ifa keluar, Nurul memasuki ruang pemotretan medis. Kakinya difoto dari bagian atas dan samping. Lima belas menit berikutnya, ia diberitahu dokter bahwa kondisi tulang kaki baik-baik saja, hanya memar. Nurul berkisah, “Spontan saya bersujud syukur, sambil memanjatkan kata Subhanallah Walhamdulillah, Wa la Ilaha Illa Allahu Wallahu Akbar.”

Namun untuk menghilangkan rasa panas dan sakit di kaki, ia tetap harus menjalani perawatan sejenak. Agar sakitnya lebih ringan, ia dibantu Ifa melakukan tapping (terapi ala SEFT). Dua jam berikutnya ia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawatnya.

“Hikmah yang saya ambil, betapa dahsyatnya efek berderma. Terbukti sedekah mampu melindungi kita dari segala bahaya dan musibah. Secara logis, tulang kaki yang terlindas ban truk rawan patah ataupun retak. Tetapi nyatanya, kaki saya baik-baik saja. Semua karena rahmat Allah,” pungkasnya mengakhiri wawancara.

(Syafiq)

SI KERUDUNG PANJANG DAN KERUDUNG PENDEK

Saat berkunjung disebuah acara, teman-teman lama saya berkumpul. Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dan asyik bercanda dengan sesama teman kelompoknya. Demikian pun saya dan tiga orang sahabat baikku. Salah satu dari mereka berkata kepada saya, ”Pssstt... si Alda, sekarang pake kerudung. Assalamu’alaikum!” ujarnya sambil mengatupkan kedua telapak tangannya dengan gerakan yang lucu.

Saya dan yang lain tertawa. Alda pun ikut. Bukannya apa-apa. Kami semua bersahabat sejak dulu. Saling bertoleransi. Saya ingat ketika dulu si Alda masih belum berkerudung, rambutnya cepak dipotong ala cowok, gayanyanya tomboy minta ampun. Suka naik motor bertiga padahal kita semua pake rok sekolah.

Sekarang ia telah tampil beda. Memiliki tiga orang anak, mengenakan jubah dan berjilbab panjang. Sedangkan Maya, yang menceletuk Alda tadi, dulunya juga nggak pakai kerudung. Kini berkerudung tetapi penampilannya tetap funky dan modis, tidak banyak berubah. Kerudungnya diputar-putar berlapis hingga pendek di ujung kainnya.

Iseng-iseng saya bertanya kepada keduanya, ”Kalian pakai kerudung apakah ada perubahan ketika akan berbuat hal negatif?”

”Ya ada lah Fie,” kata keduanya berbarengan. Lalu mereka tertawa lagi sambil berpandangan.

”Kok kayak anak kembar aja sih jawabnya serempak. Sebentar, sebentar, bergantian dong,” sela Alda.

”Ee, kalau menurutku, seandainya aku nggak berkerudung, mungkin aku masih centil, suka godain cowok-cowok ganteng yang berseliweran di depan mataku, barangkali aku banyak melakukan perbuatan tanpa berpikir lebih jauh. Tetapi sekarang, setiap aku mau berbuat negatif, hatiku langsung seperti ada yang berbisik, ’May, kamu sekarang berkerudung lo, hati hati, apa kata orang nanti. Kerudungan kok celometan (suka nyeletukin orang). Aku merasa kerudung ini lebih bisa menjaga diriku, walau bentuknya masih mini,” ujar Maya dengan lesung pipitnya yang tetap nongol walau bibirnya riuh berkicau bagai burung kenari.

”Kalau kamu Da...?” Pandangan kami semua tertuju pada Alda menunggu ceritanya.

”Ah, kalian ini, dulu aku menangis waktu pertama kali disuruh suamiku berjilbab panjang seperti ini. Aku paham sih ketika suami menunjukkan dalil-dalil yang menyatakan berhijab itu wajib hukumnya. Tetapi aku masih belum siap. Berhari-hari aku menangis. Jadi, awalnya aku mengenakan kerudung ini karena suamiku. Ya aku ingin menjadi istri yang dicintai suami”, ucap Alda dengan gaya kalem.

“Wah, salah kamu kalau menggunakan jilbab itu niatnya supaya dicintai suami Da,” komentar Lisa yang sejak awal diam saja mendengarkan kami bercengkrama. “Dan Maya, open aja nih, kerudungmu itu pendek sekali, cuma mengikuti mode yang sekarang lagi tren. Menurutku kok lebih baik kamu nggak usah berjilbab. Karena kerudung pendek begitu kan nggak syar’i,” lanjutnya.

Sejenak suasana jadi hening.

“Ehmm.. menurutku nggak ada yang salah kok,” ucapku memecah keheningan. “Kerudung pendek yang dikenakan Maya punya kemampuan untuk bisa mencegahnya dari perilaku negatif. Itu memberi makna bahwa Maya mengenakan kerudung itu karena Allah, ia menjaga diri dari perbuatan negatif. Karena saat berkerudung, ia merasa sedang menjalani syariat Allah dan menjaganya agar tidak menjadi celaan orang lain. Semua itu kan ada prosesnya, yang mengantarkan Maya suatu hari nanti akan sampai kepada ketakwaan yang lebih?

Sedangkan Alda, mengenakan kerudung panjang karena ingin dicintai suaminya. Bukankah begitu ia juga sedang menjalani perintah Tuhan karena menjalani perintah Tuhan yang lain yaitu taatlah pada suami yang menyuruh menjalankan syariat-Nya?

Demikianlah hadirin, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,“ kataku mengakhiri penjelasan yang panjang kali lebar itu. Kulihat mimik-mimik serius yang memandangiku itu perlahan mencair seperti sedia kala, centil!

Serentak, teman-temanku menjitaki kepalaku. Lalu kami tertawa, larut dalam canda. Malam itu indah. Aku yakin Allah Maha Mengetahui. Allah Maha Pengampun. Kami tak pernah saling membenci. Walaupun berbeda pendapat, hati kami satu. Dan aku pun yakin, di antara perbedaan itu kami sependapat bahwa alasan apa pun yang mengawali seseorang menjalani syariat yang diperintahkan-Nya, akan membawa kebaikan dan mengantarkannya menuju kecintaan pada Allah Swt.

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com