Oleh: M. Syafiq Syeirozi
(Alumni Al-Muhibbin PP. Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang)
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah penguasa semesta alam semata (Inna shalati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaati lillahi robbal ‘alamin). Potongan kalimat yang populer dengan sebutan doa iftitah tersebut sangat sering kita ucapkan tatkala mengawali shalat (fardhu atau sunnah), tepatnya sebelum membaca surat al-fatihah pada raka’at pertama.
Didahului dengan lafadz Inna yang berarti sesungguhnya atau bahwasanya, kalimat ini mengandaikan kesungguhan seseorang ketika melisankannya. Bak seorang pejabat yang sedang melafalkan sumpah jabatan di hadapan atasannya dengan penuh hikmat dan konsentrasi sebagai langkah mula untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya, untaian kata di atas adalah pengejewantahan dari janji seseorang pada Tuhannya yang saat itu sedang ia sembah. Bahwasanya shalat yang sedang dilakukannya, semua amal kebaikan selama hidupnya hanyalah murni karena mengharap rahmat dan ridha Allah.
Ditilik dari sisi ketatabahasaaan Arab, lafadz inna dikelompokkan sebagai huruf taukid yang berfungsi sebagai penguat atas kalimat berikutnya. Maka inna-nya doa iftitah berarti ikrar seseorang bahwa segalanya adalah demi Allah. Namun, bila sejenak merenung, benarkah semua ibadah yang semestinya sebagai media pengabdian manusia kepada Tuhannya benar-benar telah kita kita lakukan demi Dia Yang Esa semata? masing-masing kita lebih tahu jawabannya.
Ibadah dengan ragam bentuk dan caranya merupakan sarana penghambaan manusia kepada Tuhannya sebagai pengakuan atas keesaan-Nya. Pada saat kita jengkelat-jengkelit shalat, berlapardahaga puasa berarti kita sedang mengabdi kepada Sang Dia. Saat kita bersedekah kepada yang membutuhkan, membantu orang yang sedang didera kesusahan, membela kaum miskin yang menderita, mengkritik kebijakan penguasa yang ngawur dan merugikan khalayak, sejatinya kita sedang menghamba kepada Allah Swt. Dengan logika bahwa semua kebaikan kembali kepada-Nya, seharusnya semua amal kebajikan dipersembahkan untuk mencari ridha dari Allah jua.
Namun, pada tataran praktiknya harapan tersebut kerapkali melenceng. Shalat yang semestinya adalah bilik komunikasi terdekat dan terindah antara manusia dengan Sang Khaliq ternyata tak jarang tercampuri dengan kepentingan-kepentingan duniawi, entah sekadar pamer (riya’) agar dilihat orang lain ataupun kehendak duniawi lain yang menyelinap dan ngumpet di balik kekhusyuan semunya. Kiranya ancaman Allah “Celakalah orang-orang yang lalai dalam menjalankan shalat dan orang-orang yang pamer (dalam amalnya)
(Qs. Al-Ma’un: 4-5) adalah satu kecaman sekaligus ancaman terhadap orang-orang yang pamer dalam ibadahnya bukan hanya ibadah mahdhah (shalat, puasa, zikir, dsb.), lebih dari itu terhadap orang yang pamer pada ibadah ghairu mahdhah (sedekah, menolong sesama, dan lainya).
Zainuddin al-Malibary dalam risalah Mandhumah Hidayat al-Adzkiya’ Ila Thoriq al-Auliya’i, mengungkapkan bahwa amal ibadah yang dikerjakan karena manusia (baik sebab ingin dilihat ataupun didengar) adalah syirik alias menyekutukan Tuhan, namun meninggalkan amal ibadah karena takut pamer adalah riya’ itu sendiri (hlm. 36).
Mencermati ungkapan tersebut, segala perbuatan kebaikan yang dijalankan selain karena Allah dalam pandangan ahli tasawuf adalah batal dan sia-sia. Lebih dari itu dapat menyebabkan syirik, meski syirik di sini dikategorikan sebagai syirik khofi (samar-samar/tidak sesungguhnya) yang tidak mengakibatkan rusaknya keimanan seseorang.
Menengok fakta yang ada, secara jujur untuk melakukan amal kebaikan yang murni ikhlas karena mengharap rahmat dan ridha Allah menjadi hal yang sangat berat. Mungkin riya’ bukan hal yang terlalu sukar dihindarkan dalam ibadah yang sifatnya murni hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta layaknya shalat dan puasa, membaca Al-Qur’an, dan sepadannya. Tetapi menjadi sangat berbeda ketika mengerjakan kebaikan yang memberikan manfaat dan maslahat bagi orang lain.
Mendermakan harta milik kepada seseorang acapkali dan hampir selalu diwarnai rasa ingin dipuji, dianggap dermawan, dan lain semacamnya. Apalagi dalam kancah politik seperti masa-masa Pemilu, tidak ada pemberian dan bantuan yang murni dan tanpa pamrih, di belakangya tersimpan banyak kemauan dari pemberi.
Membela hak kaum lemah yang tersingkirkan oleh aturan pemegang kekuasaan, ternyata jarang sekali ditemukan orang yang benar-benar mengerjakan hal tersebut karena dorongan keimanan hingga bermuara pada kehendak ridha Ilahi. Pendek kata, sangat sulit untuk menghindari rasa pamer, ingin dipuji, dan kehendak nafsu duniawi lain yang bersembunyi di balik amal ibadah sosial (ghairu mahdhah).
Kendati demikian, bukan berarti kita harus putus asa dan lantas malas berbuat baik. Saya yakin dalam hati kita masih tersisa ruang untuk ikhlas beramal. Karenanya harus kita usahakan. Setidaknya bila ditimbang, maka kadar keikhlasan dengan maksud duniawi seimbang. Intinya, sambil beramal, kita tata hati dan pikiran.
Kiranya ada satu resep yang patut dicoba untuk meminimalisir dan mengurangi rasa pamer atau riya’ yakni dengan membiasakan dan melanggengkan amal. Gambarannya mungkin begini, seseorang yang biasa membantu, pada masa–masa awal memberi wajar ingin dipuji dan sebagainya, namun jika dia di kalangan masyarakat sudah terkenal sebagai dermawan, masih perlukah pujian tersebut bagi dirinya?
Didahului dengan lafadz Inna yang berarti sesungguhnya atau bahwasanya, kalimat ini mengandaikan kesungguhan seseorang ketika melisankannya. Bak seorang pejabat yang sedang melafalkan sumpah jabatan di hadapan atasannya dengan penuh hikmat dan konsentrasi sebagai langkah mula untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab yang diembannya, untaian kata di atas adalah pengejewantahan dari janji seseorang pada Tuhannya yang saat itu sedang ia sembah. Bahwasanya shalat yang sedang dilakukannya, semua amal kebaikan selama hidupnya hanyalah murni karena mengharap rahmat dan ridha Allah.
Ditilik dari sisi ketatabahasaaan Arab, lafadz inna dikelompokkan sebagai huruf taukid yang berfungsi sebagai penguat atas kalimat berikutnya. Maka inna-nya doa iftitah berarti ikrar seseorang bahwa segalanya adalah demi Allah. Namun, bila sejenak merenung, benarkah semua ibadah yang semestinya sebagai media pengabdian manusia kepada Tuhannya benar-benar telah kita kita lakukan demi Dia Yang Esa semata? masing-masing kita lebih tahu jawabannya.
Ibadah dengan ragam bentuk dan caranya merupakan sarana penghambaan manusia kepada Tuhannya sebagai pengakuan atas keesaan-Nya. Pada saat kita jengkelat-jengkelit shalat, berlapardahaga puasa berarti kita sedang mengabdi kepada Sang Dia. Saat kita bersedekah kepada yang membutuhkan, membantu orang yang sedang didera kesusahan, membela kaum miskin yang menderita, mengkritik kebijakan penguasa yang ngawur dan merugikan khalayak, sejatinya kita sedang menghamba kepada Allah Swt. Dengan logika bahwa semua kebaikan kembali kepada-Nya, seharusnya semua amal kebajikan dipersembahkan untuk mencari ridha dari Allah jua.
Namun, pada tataran praktiknya harapan tersebut kerapkali melenceng. Shalat yang semestinya adalah bilik komunikasi terdekat dan terindah antara manusia dengan Sang Khaliq ternyata tak jarang tercampuri dengan kepentingan-kepentingan duniawi, entah sekadar pamer (riya’) agar dilihat orang lain ataupun kehendak duniawi lain yang menyelinap dan ngumpet di balik kekhusyuan semunya. Kiranya ancaman Allah “Celakalah orang-orang yang lalai dalam menjalankan shalat dan orang-orang yang pamer (dalam amalnya)
(Qs. Al-Ma’un: 4-5) adalah satu kecaman sekaligus ancaman terhadap orang-orang yang pamer dalam ibadahnya bukan hanya ibadah mahdhah (shalat, puasa, zikir, dsb.), lebih dari itu terhadap orang yang pamer pada ibadah ghairu mahdhah (sedekah, menolong sesama, dan lainya).
Zainuddin al-Malibary dalam risalah Mandhumah Hidayat al-Adzkiya’ Ila Thoriq al-Auliya’i, mengungkapkan bahwa amal ibadah yang dikerjakan karena manusia (baik sebab ingin dilihat ataupun didengar) adalah syirik alias menyekutukan Tuhan, namun meninggalkan amal ibadah karena takut pamer adalah riya’ itu sendiri (hlm. 36).
Mencermati ungkapan tersebut, segala perbuatan kebaikan yang dijalankan selain karena Allah dalam pandangan ahli tasawuf adalah batal dan sia-sia. Lebih dari itu dapat menyebabkan syirik, meski syirik di sini dikategorikan sebagai syirik khofi (samar-samar/tidak sesungguhnya) yang tidak mengakibatkan rusaknya keimanan seseorang.
Menengok fakta yang ada, secara jujur untuk melakukan amal kebaikan yang murni ikhlas karena mengharap rahmat dan ridha Allah menjadi hal yang sangat berat. Mungkin riya’ bukan hal yang terlalu sukar dihindarkan dalam ibadah yang sifatnya murni hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta layaknya shalat dan puasa, membaca Al-Qur’an, dan sepadannya. Tetapi menjadi sangat berbeda ketika mengerjakan kebaikan yang memberikan manfaat dan maslahat bagi orang lain.
Mendermakan harta milik kepada seseorang acapkali dan hampir selalu diwarnai rasa ingin dipuji, dianggap dermawan, dan lain semacamnya. Apalagi dalam kancah politik seperti masa-masa Pemilu, tidak ada pemberian dan bantuan yang murni dan tanpa pamrih, di belakangya tersimpan banyak kemauan dari pemberi.
Membela hak kaum lemah yang tersingkirkan oleh aturan pemegang kekuasaan, ternyata jarang sekali ditemukan orang yang benar-benar mengerjakan hal tersebut karena dorongan keimanan hingga bermuara pada kehendak ridha Ilahi. Pendek kata, sangat sulit untuk menghindari rasa pamer, ingin dipuji, dan kehendak nafsu duniawi lain yang bersembunyi di balik amal ibadah sosial (ghairu mahdhah).
Kendati demikian, bukan berarti kita harus putus asa dan lantas malas berbuat baik. Saya yakin dalam hati kita masih tersisa ruang untuk ikhlas beramal. Karenanya harus kita usahakan. Setidaknya bila ditimbang, maka kadar keikhlasan dengan maksud duniawi seimbang. Intinya, sambil beramal, kita tata hati dan pikiran.
Kiranya ada satu resep yang patut dicoba untuk meminimalisir dan mengurangi rasa pamer atau riya’ yakni dengan membiasakan dan melanggengkan amal. Gambarannya mungkin begini, seseorang yang biasa membantu, pada masa–masa awal memberi wajar ingin dipuji dan sebagainya, namun jika dia di kalangan masyarakat sudah terkenal sebagai dermawan, masih perlukah pujian tersebut bagi dirinya?
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih