Sebagian guru mengeluh saat memeriksa makalah siswi-siswinya. Di jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dosen pembimbing skripsi lebih tersibukkan untuk memeriksa penulisan bahasa Indonesia daripada isi skripsi itu. Guru dan dosen tersebut ternyata dibingungkan oleh penggunaan bahasa Indonesia yang amburadul oleh para anak didiknya.
Dalam hemat Dr. Maria Minthowati, pengajar jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa yang ditemui Al Madinah pada 03/11/2009, hal tersebut dikarenakan para guru lebih banyak mengajarkan teori tatabahasa daripada praktik berbahasa Indonesia yang baik dan benar, entah itu dalam bentuk diskusi ataupun penugasan karya tulis.
“Di situlah masalahnya. Ketika anak berbicara atau menulis dalam bahasa Indonesia, guru tidak terlalu memerhatikan. Lain halnya, ketika anak berbahasa Inggris. Grammar-nya salah sedikit saja, langsung ditegur,” tegas alumnus program pascasarjana IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) itu.
Maka menurut ibu dari tiga anak tersebut, rasa cinta terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara harus ditancapkan sejak dini. Anak harus diajari untuk mensyukuri keberadaannya yang mampu memersatukan berbagai suku. Dengan bahasa tersebut, tidak ada suku yang merasa terdiskriminasi. “Secara otomatis, hal ini akan berdampak pada rasa nasionalisme anak,” terang Maria.
Lantas bagaimana dengan fenomena kemunculan SD RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata pelajaran?
Bagi Maria, hal itu jelas berdampak positif pada perkembangan akademis anak. Namun ia tak lupa mengingatkan sisi negatifnya. Hal itu bisa berpengaruh pada sikap mereka terhadap bahasa Indonesia.
Bisa jadi anak merasa rendah diri bila berbahasa Indonesia ketika rekan-rekannya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Bila demikian, muncul citra atau pandangan bahwa bahasa Indonesia itu lebih rendah dibandingkan dengan bahasa Inggris. Efek selanjutnya rasa nasionalisme menjadi pudar.
Selain implikasi negatif tersebut, sebenarnya pemakaian bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, demikian Maria, juga bertentangan dengan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
“Salah satu fungsi bahasa nasional ialah sebagai pengantar dalam proses belajar mengajar seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Namun di RSBI, anak berdiskusi dengan bahasa Inggris, dan mungkin juga karya ilmiah ereka. Jadi memang agak dilematis,” urai pengajar mata kuliah Sosiolinguistik itu.
Maka idealnya, baik guru ataupun orangtua harus tetap memiliki rasa cinta terhadap bahasa Indonesia. Jangan sampai karena anaknya sudah mahir berbahasa Inggris, orangtua atau guru lantas tidak mengajarinya untuk berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Untuk keseharian, orangtua bisa bertindak sebagai penutur dwibahasa pada anak.
Saat tertentu ia mengajak anaknya untuk berbahasa Indonesia secara baku, pada waktu tertentu dengan bahasa Inggris, dan lain waktu dalam bahasa “gaul”. “Saya kira itu bentuk keseimbangan. sehingga anak takkan lupa signifikansi bahasa Indonesia meski ia mahir berbahasa asing,” pungkasnya.
Mungkin slogan “Cinta Bahasa Indonesia adalah sebagian dari iman” layak untuk dikampanyekan.
(fiQ-Sy)
Cinta (Bahasa) Indonesia adalah Sebagian Iman
Salam, Jumat, 18 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih