Status yatim baginya adalah takdir, tak usah disoal. Pengalaman masa kecil di pengungsian akibat peperangan tak membuatnya jerih. Kemiskinan juga tidak menjadikannya takluk. Cacat fisik tak pernah mendorongnya untuk menyerah. Kondisi-kondisi itu malah mengantarkannya sebagai pejuang tangguh.
Adalah Ahmad Ismail Yasin, pendiri Hamas (organisasi perjuangan rakyat Palestina), yang memelopori gerakan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, dan memimpin pergerakan dari atas kursi roda. Para pengikutnya memanggilnya dengan Syeikh Mujahid Ahmad Yasin.
Ia lahir pada tahun 1938 di Al Jaurah, kawasan pinggiran Al Mijdal, selatan Jalur Gaza, Palestina. Sang ayah meninggal dunia saat Yasin baru berumur lima tahun. selepas itu peperangan berkecamuk dan memaksanya untuk mengungsi ke kawasan aman.
Jadilah ia bersama keluarganya mencari makan dari sisa-sisa perkemahan pasukan Mesir di Palestina. Situasi menyedihkan tak berhenti di situ. Peristiwa tragis menimpanya. Saat berolahraga bersama rekan-rekan sepermainannya, kecelakaan berat terjadi. Tulang lehernya patah, dan dokter memvonisnya mengalami kelumpuhan total.
Saat itu tahun 1952, dan usia Yasin menginjak 14 tahun, setara dengan anak SMP di Indonesia. Ia menyadari, kondisi itu pasti akan membuatnya tergantung dengan kursi roda di sepanjang hayatnya. Namun ia tak patah arang untuk tetap melanjutkan sekolah.
Selepas perawatan di rumah sakit ia melanjutkan studi. Namun tak lama kemudian, keterbatasan ekonomi menuntutnya agar berkompromi dan berempati dengan keaadaan. Ia memutuskan untuk menghentikan sekolahnya sejenak (1949-1950), dan membantu keluarganya yang berjumlah tujuh jiwa dengan bekerja pada sebuah rumah makan .
Setahun berikutnya, ia meneruskan sekolahnya hingga lulus tingkat SMA pada 1958. Setamat SMA, Yasin sempat bekerja sebagai guru bahasa Arab dan penceramah di beberapa masjid.
Keinginannya untuk meneruskan studi akademis tercapai. Ia kuliah di jurusan bahasa Inggris Universitas Ainus Syam Mesir. Sayang, tuntutan kondisi dan situasi kala itu tak mengizinkannya untuk menyelesaikan jenjang S1-nya.
Sejak kuliah di Mesir, kesadaran politik Yasin mulai terbangun. Putra Palestina ini terpikat dengan ide-ide Ikhwanul Muslimin, sebuah organisasi politik di Mesir yang menghendaki penegakkkan syariat Islam sebagai landasan negara, dan pernah dibubarkan oleh pemerintah karena perbedaan pandangan.
Politik Antikerjasama
Pada usia 20-an, ia aktif mengikuti berbagai aksi massa di jalur Gaza sebagai protes atas agresi Israel terhadap Mesir pada tahun 1956. Bersama rekannya ia juga menegaskan penolakan atas kontrol Israel terhadap Jalur Gaza, dan menuntut dikembalikannya kekuasaan Mesir di wilayah tersebut.
Daerah Gaza sejak sejak tahun 1948 merupakan wilayah kekuasaan Mesir. Namun pascaperang Arab-Israel 1967 (populer pula dengan sebutan Perang Enam Hari), jalur Gaza jatuh ke tangan Israel.
Di situlah bakat orasi Yasin terlihat. Tak ayal, selama masa kependudukan ia menjadi penceramah paling popular di jalur Gaza. Kekuatan argumen dan keberanian dalam menyampaikan pendapat mampu menghipnotis massa.
Hal ini menarik perhatian para intelijen Mesir yang beroperasi di sana. Sehingga pada tahun 1965, intelijen memutuskan untuk menangkapnya -di antara serangkaian penangkapan terhadap para aktivis Ikhwanul Muslimin (IM). Yasin sempat dipenjara selama satu bulan.
Namun ia dibebaskan lantaran tidak terbukti adanya hubungan organisatoris antara Yasin dengan IM. Namun tetap saja hal itu menimbulkan luka mendalam. Tercermin dalam ungkapannya,
“Sesungguhnya penahanan itu mempertebal rasa benciku terhadap kezaliman, menegaskan bahwa pemerintahan atau kekuasaan harus berdiri di atas keadilan, dan pengakuan kepada hak manusia dalam kehidupan.”
Setelah itu Yasin terus mengobarkan semangat masyarakat di jalur Gaza dan mengorganisirnya. Pada tahun 1983, Yasin ditahan dengan tuduhan kepemilikan senjata, membentuk organisasi militer, dan menyebarkan hasutan untuk melenyapkan negara Yahudi.
Mahkamah militer Israel yang memvonisnya dengan hukuman penjara selama 13 tahun. Namun pada tahun 1985, Yasin dibebaskan melalui operasi pertukaran tawanan antara penguasa kolonial Israel dengan front rakyat untuk pembebasan. Namun kebrutalan tentara Israel saat menginterogasinya, mengakibatkan mata kanannya buta.
Namun sekali lagi penyiksaan itu tak menyurutkan nyalinya. Ketika Yasin merasa nyaman bergerak bersama massa yang diwarnai oleh nilai Islam, pada akhir tahun 1987 ia bersama rekan-rekannya mendirikan Gerakan Perlawanan Islam (Hamas). Deklarasi pendirian Hamas disusul dengan meletusnya Intifadlah I.
Rakyat sipil Palestina di daerah pendudukan, khususnya di Jalur Gaza, dari anak-anak hingga nenek-nenek, bergerak menentang kebiadaban dan kezaliman penjajah Israel. Mereka berpartisipasi melakukan perlawanan, walau hanya bersenjatakan batu, ketapel, dan pisau dapur.
Sejak awal gerakan Hamas menyatakan bahwa satu-satunya jalan pembebasan Palestina adalah jihad, membudayakan pengorbanan dan gugur syahid. Dalam sebuah wawancara di Majalah Al-Mujtama’ Kuwait dalam peringatan 15 tahun Hamas, Syeikh Ahmad Yasin menegaskan sikapnya atas upaya perdamaian yang selama ini sering digemborkan banyak pihak.
Baginya, hal itu hanyalah bentuk kekalahan “banci” yang justru akan melenyapkan hak-hak fundamental bangsa Palestina. Karena sikapnya yang antikooperasi, rezim rezim Imperialis Israel kembali menangkap Syaikh Ahmad Yasin berserta ratusan aktivis Hamas pada 17 Mei 1989.
Dan pada 16 Oktober 1991, mahkamah militer kembali memvonis Yasin berupa penjara seumur hidup. Dakwaan yang dikenakan kepadanya sama persis dengan persidangan pada tahun 1985.
Tetapi lagi-lagi, ia dibebaskan berkat perjanjian yang berlangsung antara Yordania dan rezim Israel. Kompensasinya ialah penyerahan dua agen Israel yang tertangkap setelah agal dalam percobaan pembunuhan terhadap Khalid Misy'al, Kepala Biro Politik Hamas di Amman, Yordania. Bedanya, kali ini Yasin sudah menjalani penahanan selama enam tahun. Sebab akad itu diteken pada 1 Oktober 1997.
Pribadi yang Zuhud
Pejuang-pejuang idealis berani mengorbankan energi, pikiran, biaya, bahkan nyawa demi kemerdekaan bangsanya. Yasin pun demikian. Ia tidak pernah mencintai harta benda. Baginya, hidup mewah di tengah penderitaan bangsa adalah kezaliman yang nyata.
Maryam, putri Ahmad Yasin menceritakan tentang sikap hidup ayahnya secara panjang lebar. “Rumah ayah terdiri dari 3 kamar dengan jendela yang sudah rapuh. Tidak ada lantai, dapur pun ala kadarnya. Jika musim dingin, kami kedinginan. Namun jika musim panas tiba, kami pun kepanasan. Ayah sama sekali tidak memikirkan untuk merenovasi rumahnya.
Banyak yang menawari beliau untuk memiliki rumah seperti pejabat tinggi negara. Suatu ketika, Pemerintah Otoritas Palestina memberinya sebuah rumah besar di suatu kampung mewah di Gaza, namun semua tawaran itu di tolak.
Jika Syekh Ahmad Yasin ingin kaya, harta menumpuk, rumah mewah bertingkat, mobil mengkilat, makanan serba lezat, semuanya bisa saja beliau dapatkan. Bukankah beliau mempunyai pengikut yang taat dan kedudukan yang memikat? Akan tetapi beliau enggan memperkaya diri di tengah kesengsaraan pengikut dan rakyatnya.”
Ahmad Yasin meninggal pada usia 65 tahun, di pagi hari 22 Maret 2004, selepas menunaikan shalat subuh di masjid. Helikopter Apache milik Israel menembakakn tiga roket ke arahnya. Ketika itu beliau sedang menuju mobilnya sambil didorong oleh para pembantunya.
Yasin tersungkur dan langsung menghembuskan nafas terakhir, demikian pula tujuh rekannya. Sementara dua putranya terluka.
Itulah akhir dari perjuangan pribadi seorang yatim yang cacat fisik dalam menentang agresi Israel. Tetapi semangat yang ia kobarkan di dada para pengikutnya selalu hidup hingga kini. Buktinya perlawanan pasukan Hamas kian menjadi-jadi.
(Diolah oleh Redaksi dari pelbagai sumber)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih