Seorang ibu memiliki anak cerdas dan berprestasi. Oleh beberapa koleganya, disarankan agar si anak dilepas ke perguruan tinggi terbaik, sehingga aktualisasi dirinya bisa berjalan optimal. Jika sekolah di tempat biasa, potensinya akan susah berkembang pesat. Namun si ibu bilang, “Saya tidak ingin berpisah dan kehilangan anak-anak saya.”
Memang ada beberapa kasus, anak yang terlalu lama tinggal di pesantren yakni sejak usia dini atau pertumbuhan (jenjang SD dan SMP), menjadi kurang akrab dan mesra dengan orang tuanya. Lantaran terbiasa hidup mandiri bersama rekan sebayanya, anak menjadi kurang terbuka terhadap ayah dan ibunya. Segala suka ia nikmati sendiri, dan seluruh dukanya pun ia tanggung sendiri tanpa perlu melibatkan orang tua.
Bisa jadi itulah kekhawatiran orang tua. Karena terlampau lama berpisah dengan anak, saat anak telah menuntaskan proses belajarnya di pesantren dan kembali ke pelukan orang tua, keintiman hubungan orang tua dan anak tercerabut
Bagi Ratna Ellyawati, pengasuh rubrik konsultasi psikologi anak di Tabloid Nurani, dampak tersebut tidak perlu dirisaukan, asalkan sejak awal visi misi orang tua dalam mendidik anak jelas. Dalam hemat sarjana alumnus psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, semua pilihan hidup pasti menuai resiko, termasuk dalam pendidikan anak.
Psikolog klinis itu menguraikan panjang lebar, “Ada orang tua yang berpikir, apa pun yang terjadi pada anak, saya tidak akan berpisah darinya. Meski konsekuensinya, keberanian anak untuk menghadapi resiko hilang. Anak merasa aman di rumah, tetapi ketika mesti berhadapan pada situasi di luar rumah yang komplek, dia menjadi cemas.”
“Sebaliknya, ketika orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren atau asrama, anak terbiasa bergulat dengan permasalahannya, dan mampu mandiri mencari solusi. Namun kedekatan dengan orang tua berkurang,” imbuh perempuan empat puluh tujuh tahun itu. Bagi Ratna, pengambilan pilihan itu berpulang pada perspektif orang tua. Namun ia menekankan bahwa menyayangi anak dengan pemenuhan egosentrisme pribadi kerap berbeda tipis. Tidak sedikit orang tua yang menjerumuskan anak atas nama kasih sayang.
Statemen tersebut didukung oleh Imam Bawani, peraih Master pendidikan Islam dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. “Justru sebab jauh dari orang tua, kemandirian anak bisa terbangun. Lebih bagus mana dibandingkan dengan anak yang selalu berada dalam kehangatan orang tuanya, semua kebutuhannya dipenuhi, lantas anak menjadi cengeng dan manja?” tukas pria lima puluh tujuh tahun itu.
Fisik Terpisah, Jiwa Tersambung
Jika berpikir secara obyektif, sebenarnya kedekatan fisik tidak segaris lurus dengan kerekatan jiwa. Sebab banyak pula orang tua yang tinggal bersama anaknya terus menerus, justru merasa jauh dan tidak terjalin hubungan emosional yang kokoh dengan anak-anaknya. Kesibukan orang tua biasanya menjadi alasan.
Menurut Srisiuni, kandidat Doktor bidang psikologi dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), tindakan anak biasanya meniru sang orang tua. Jika orang tua acuh tak acuh terhadap anaknya, maka anak pun bisa berlaku sama suatu saat. “Hal itu dalam teori bandura atau social learning, disebut sebagai imitasi dan identifikasi. Anak meniru dan mengidentifikasi perilaku orang tuanya,” tandas Srisiuni.
Maka dalam hemat ibu dua anak itu, kendati pun sejak kecil anak tinggal di pesantren atau asrama, jika momentum orang tua menjenguk atau anak berlibur di rumah, digunakan ayah ibunya untuk memberikan afeksi dan kasih sayang utuh, maka jalinan emosional tetap terikat kuat. “Sebaliknya, jika si anak di rumah namun orang tuanya cuek, ya nggak ada kedekatan,” ujarnya.
Pandangan ini diperkaya oleh Hanun Asrohah, ahli kependidikan. Menurutnya, keberhasilan pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara anak dan orang tua. Ia memaparkan tiga tipe hubungan itu; equal relationship (anak diperlakukan secara adil dan setara); supportive parent (senantiasa memberikan dukungan sehingga anak memiliki kedekatan emosional); dominant parent (orang tua mengendalikan anak demi memberikan perlindungan dan kenyamanan, bukan membelenggu hak anak menentukan keinginannya); dan distant relationship (hubungan yang menimbulkan jarak psikis antara anak dan orang tua)
“Oleh karena itu, keterpisahan selama proses belajar, bukan menjadi kendala hubungan kasih sayang dan keakraban antara anak dan orang tua. Apalagi jika orang tua tidak sempat mendidik secara bagus, lebih baik jika memercayakan pendidikan anaknya pada lembaga yang tepat. Namun tetap harus disertai perhatian, dukungan, dan kasih sayang,” urai alumnus pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang itu.
Menurut penuturan Imam Suyuthi, anggota Dewan Pengawas Yayasan Al Madinah yang memondokkan semua anaknya ke pesantren, malah kalau tidak dipondokkan, anak merasa jenuh terus menerus di rumah. Sebaliknya kerinduan dan kasih sayang orang tua bisa tercurahkan sepenuhnya saat menyambangi dan berkumpul di rumah waktu libur.
Etika Pesantren
Lantas bagaimana metode pesantren untuk menjaga hubungan antara orang tua dengan anak? Masing-masing pondok pesantren (Ponpes), dalam pengamatan Al Madinah memberlakukan cara berbeda. Umumnya terhadap orang tua yang anaknya masih bersekolah di tingkat SD dan SMP, pesantren mewajibkan mereka untuk menjenguk buah hatinya minimal sebulan sekali.
Ponpes Muhyiddin Gebang Kulon Surabaya, misalnya, mewajibkan orang tua menyambangi anaknya, dalam sebulan minimal sekali, dan maksimal dua kali, dengan jadwal yang diatur pihak pengurus Ponpes. “Ini dilakukan agar anak tidak terlalu sering merindukan kehadiran orang tuanya sehingga mengganggu konsentrasi belajar anak,” terang H. Ali Sirojuddin Thobib, Ketua I Ponpes tersebut. Selain itu dengan alasan agar santri merasa pomah (betah seperti di rumah), pada awal pemondokan, orang tua tidak diperbolehkan dulu untuk menjenguk anaknya hingga empat puluh hari.
Menurut pria empat puluh tahun itu, kemungkinan tercerabutnya keintiman hubungan orang tua dan anak akibat lama singgah di pesantren itu sangat tipis. Dalam pengalamannya sebagai santri dan pendidik, pesantren selalu mengajari kepada murid-muridnya akan agungnya posisi orang tua. Apa pun kondisinya, anak wajib menghormati dan mencintai orang tuanya.
Kesimpulan senada dikatakan Imam Bawani, dosen yang melakukan riset untuk disertasinya di salah satu pesantren anak di Gresik. Ia mengatakan, “Anak di pesantren diajari tata krama terhadap kyai dan ustadznya. Kebiasaan ini terbawa hingga ke rumah. Hasilnya, anak menjadi lebih santun pekerti dan halus tutur kata di hadapan orang tua.”
Lebih obyektif jika Anda cermati sendiri.
(Syafiq)
Memang ada beberapa kasus, anak yang terlalu lama tinggal di pesantren yakni sejak usia dini atau pertumbuhan (jenjang SD dan SMP), menjadi kurang akrab dan mesra dengan orang tuanya. Lantaran terbiasa hidup mandiri bersama rekan sebayanya, anak menjadi kurang terbuka terhadap ayah dan ibunya. Segala suka ia nikmati sendiri, dan seluruh dukanya pun ia tanggung sendiri tanpa perlu melibatkan orang tua.
Bisa jadi itulah kekhawatiran orang tua. Karena terlampau lama berpisah dengan anak, saat anak telah menuntaskan proses belajarnya di pesantren dan kembali ke pelukan orang tua, keintiman hubungan orang tua dan anak tercerabut
Bagi Ratna Ellyawati, pengasuh rubrik konsultasi psikologi anak di Tabloid Nurani, dampak tersebut tidak perlu dirisaukan, asalkan sejak awal visi misi orang tua dalam mendidik anak jelas. Dalam hemat sarjana alumnus psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu, semua pilihan hidup pasti menuai resiko, termasuk dalam pendidikan anak.
Psikolog klinis itu menguraikan panjang lebar, “Ada orang tua yang berpikir, apa pun yang terjadi pada anak, saya tidak akan berpisah darinya. Meski konsekuensinya, keberanian anak untuk menghadapi resiko hilang. Anak merasa aman di rumah, tetapi ketika mesti berhadapan pada situasi di luar rumah yang komplek, dia menjadi cemas.”
“Sebaliknya, ketika orang tua mengirimkan anaknya ke pesantren atau asrama, anak terbiasa bergulat dengan permasalahannya, dan mampu mandiri mencari solusi. Namun kedekatan dengan orang tua berkurang,” imbuh perempuan empat puluh tujuh tahun itu. Bagi Ratna, pengambilan pilihan itu berpulang pada perspektif orang tua. Namun ia menekankan bahwa menyayangi anak dengan pemenuhan egosentrisme pribadi kerap berbeda tipis. Tidak sedikit orang tua yang menjerumuskan anak atas nama kasih sayang.
Statemen tersebut didukung oleh Imam Bawani, peraih Master pendidikan Islam dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. “Justru sebab jauh dari orang tua, kemandirian anak bisa terbangun. Lebih bagus mana dibandingkan dengan anak yang selalu berada dalam kehangatan orang tuanya, semua kebutuhannya dipenuhi, lantas anak menjadi cengeng dan manja?” tukas pria lima puluh tujuh tahun itu.
Fisik Terpisah, Jiwa Tersambung
Jika berpikir secara obyektif, sebenarnya kedekatan fisik tidak segaris lurus dengan kerekatan jiwa. Sebab banyak pula orang tua yang tinggal bersama anaknya terus menerus, justru merasa jauh dan tidak terjalin hubungan emosional yang kokoh dengan anak-anaknya. Kesibukan orang tua biasanya menjadi alasan.
Menurut Srisiuni, kandidat Doktor bidang psikologi dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), tindakan anak biasanya meniru sang orang tua. Jika orang tua acuh tak acuh terhadap anaknya, maka anak pun bisa berlaku sama suatu saat. “Hal itu dalam teori bandura atau social learning, disebut sebagai imitasi dan identifikasi. Anak meniru dan mengidentifikasi perilaku orang tuanya,” tandas Srisiuni.
Maka dalam hemat ibu dua anak itu, kendati pun sejak kecil anak tinggal di pesantren atau asrama, jika momentum orang tua menjenguk atau anak berlibur di rumah, digunakan ayah ibunya untuk memberikan afeksi dan kasih sayang utuh, maka jalinan emosional tetap terikat kuat. “Sebaliknya, jika si anak di rumah namun orang tuanya cuek, ya nggak ada kedekatan,” ujarnya.
Pandangan ini diperkaya oleh Hanun Asrohah, ahli kependidikan. Menurutnya, keberhasilan pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh pola relasi antara anak dan orang tua. Ia memaparkan tiga tipe hubungan itu; equal relationship (anak diperlakukan secara adil dan setara); supportive parent (senantiasa memberikan dukungan sehingga anak memiliki kedekatan emosional); dominant parent (orang tua mengendalikan anak demi memberikan perlindungan dan kenyamanan, bukan membelenggu hak anak menentukan keinginannya); dan distant relationship (hubungan yang menimbulkan jarak psikis antara anak dan orang tua)
“Oleh karena itu, keterpisahan selama proses belajar, bukan menjadi kendala hubungan kasih sayang dan keakraban antara anak dan orang tua. Apalagi jika orang tua tidak sempat mendidik secara bagus, lebih baik jika memercayakan pendidikan anaknya pada lembaga yang tepat. Namun tetap harus disertai perhatian, dukungan, dan kasih sayang,” urai alumnus pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang itu.
Menurut penuturan Imam Suyuthi, anggota Dewan Pengawas Yayasan Al Madinah yang memondokkan semua anaknya ke pesantren, malah kalau tidak dipondokkan, anak merasa jenuh terus menerus di rumah. Sebaliknya kerinduan dan kasih sayang orang tua bisa tercurahkan sepenuhnya saat menyambangi dan berkumpul di rumah waktu libur.
Etika Pesantren
Lantas bagaimana metode pesantren untuk menjaga hubungan antara orang tua dengan anak? Masing-masing pondok pesantren (Ponpes), dalam pengamatan Al Madinah memberlakukan cara berbeda. Umumnya terhadap orang tua yang anaknya masih bersekolah di tingkat SD dan SMP, pesantren mewajibkan mereka untuk menjenguk buah hatinya minimal sebulan sekali.
Ponpes Muhyiddin Gebang Kulon Surabaya, misalnya, mewajibkan orang tua menyambangi anaknya, dalam sebulan minimal sekali, dan maksimal dua kali, dengan jadwal yang diatur pihak pengurus Ponpes. “Ini dilakukan agar anak tidak terlalu sering merindukan kehadiran orang tuanya sehingga mengganggu konsentrasi belajar anak,” terang H. Ali Sirojuddin Thobib, Ketua I Ponpes tersebut. Selain itu dengan alasan agar santri merasa pomah (betah seperti di rumah), pada awal pemondokan, orang tua tidak diperbolehkan dulu untuk menjenguk anaknya hingga empat puluh hari.
Menurut pria empat puluh tahun itu, kemungkinan tercerabutnya keintiman hubungan orang tua dan anak akibat lama singgah di pesantren itu sangat tipis. Dalam pengalamannya sebagai santri dan pendidik, pesantren selalu mengajari kepada murid-muridnya akan agungnya posisi orang tua. Apa pun kondisinya, anak wajib menghormati dan mencintai orang tuanya.
Kesimpulan senada dikatakan Imam Bawani, dosen yang melakukan riset untuk disertasinya di salah satu pesantren anak di Gresik. Ia mengatakan, “Anak di pesantren diajari tata krama terhadap kyai dan ustadznya. Kebiasaan ini terbawa hingga ke rumah. Hasilnya, anak menjadi lebih santun pekerti dan halus tutur kata di hadapan orang tua.”
Lebih obyektif jika Anda cermati sendiri.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih