Rindu Seorang Bapak

Oleh: Badrud Tamam

Cerpenis dan Editor di sebuah penerbitan Surabaya

Hari masih sangat pagi, pijar matahari memerah di ufuk. Pak Heru, masih tercenung di pintu pagar. Dua bola matanya memejam, terkadang liar memandang ke seantero langit.

Garasi. Ya, garasi yang di situ itu terbuka, namun sudah kosong. Biasanya, di situ teronggok satu mobil panther dan satu mobil Baleno, dan satu motor besar milik anak bungsunya. Itu dulu. Dulu, sebelum usaha bisnisnya runtuh akibat krisis global. Bahkan, dana tabungan yang sedianya untuk masa depan anak-anak, untuk sementara diambil guna membangun kembali usaha. Dan dua minggu lalu, anak sulungnya, Aditya, baru saja kecelakaan. Kaki kirinya patah. Ia harus merogoh kocek puluhan juta mengobatinya.

Sekarang ia mulai berpikir, betapa tidak adilnya Tuhan. Ia tidak habis pikir, kenapa usahanya harus bangkrut? Kenapa anaknya harus kecelakaan? Dan kenapa peristiwa-peristiwa itu terjadi berdekatan?

Dia benar-benar tidak menduga, usahanya bangkrut mendadak dan anak sulungnya kecelakaan. Padahal dia membangun bisnisnya dengan susah payah, tetapi ludes seketika. Semua yang direncanakannya jauh-jauh hari, hancur. Ia sengaja menyediakan tabungan, biar dua anak-anaknya kelak bisa menggunakannya.

Ia ingin mereka bahagia dan tercukupi, bahkan untuk puluhan tahun ke depan. Karena itu, ia sediakan tabungan khusus dan menyekolahkan mereka di sekolah paling bonafid. Dengan begitu, masa depan mereka akan terjamin. Dia paham betul dunianya yang dulu begitu menderita. Ia tidak ingin anak-anaknya mengalami penderitaan yang dulu dialaminya. Dulu, orang tua pak Heru terbilang sangat keras, sehingga terkadang ia menganggap beliau tidak sayang kepadanya. Maka ketika punya anak, dia sangat memanjakan semua putranya. Ia ingin anak-anaknya mengerti, sebagai orang tua ia mencintai mereka. Dan akan berbuat apa pun demi mereka. Sekarang, si sulung kuliah di Jogja. Si bungsu di SMA favorit di kota ini.

Tapi ia kecewa pada dua anaknya. Si sulung kerjaannya balapan motor ketimbang ngurus kuliah. Dan pasti tiap minggu, anak itu minta tambahan kiriman. Padahal uang jajannya lebih dari anak seusianya. Si bungsu sama saja. Minta ini dan itu. Meski ia sadar, ia bekerja memang untuk mereka. Mereka adalah buah hatinya. Buah cintanya.

Pak Heru mengambil dompetnya. Sebuah foto berukuran kecil dan lusuh terselip di sela-sela uang yang tersisa. Hasan. Satu-satunya orang yang membuatnya merasa menjadi seorang bapak. Ada keharuan dan kerinduan di sana. Di dalam hatinya. Ke mana kini kau nak? Apa kau punya uang? Apa sudah makan? Batinnya. Bagi Pak Heru, Hasan memang punya tempat khusus di hatinya. Dia tak seperti anak-anaknya, yang tak pernah mau mengerti dirinya, selalu minta ini-itu, meski ia sudah memberi mereka segalanya sejak lahir. Hasan. Ya Hasan, yang setiap kali dirinya datang, anak itu menyambutnya dengan pelukan sangat bahagia melihatnya datang, dan berkata ”Wah, kangen bapak. Kok selalu lama sih, kalau mau menjenguk?”

***

Ia ingin pelukan seperti itu. Pelukan dari anak-anaknya. Ia rindu itu. Dan anak-anaknya tidak pernah melakukan itu. Mereka datang dan telepon hanya bila perlu. Merengek minta uang misalnya. Ada saja alasan mereka bila tidak dikasih. Bilang tidak cinta lah, tidak perhatian lah dan alasan menyebalkan lainnya. Kadang ia berpikir, semua anak-anaknya tidak mencintainya. Tapi hanya mencintai hartanya. Meski ia sering tepis semua itu. Mungkin dirinya yang salah sebagai orang tua. Terlalu memanjakan mereka. Apa-apa dituruti. Tapi itu kan tanda dirinya sebagai bapak yang sayang anak-anaknya? Bukankah seorang bapak memang harus seperti itu? Karena itulah, dia mencintai Hasan. Makanya pak Heru bela-belain menyekolahkannya hingga kuliah. Sayangnya, sebelum selesai kuliahnya selesai, anak itu menghilang tanpa kabar. Ia sangat pedih, padahal Hasan melebihi anak-anaknya sendiri.

Hasan memang bukan anak kandung pak Heru. Dia adalah anak asuhnya. Sebenarnya tak ada niatan mengambilnya sebagai anak asuh. Mulanya dia hanya pengen pamer saja. Waktu itu, kebetulan rekanan bisnisnya punya panti asuhan dan dia pun mengambil satu anak. Saat itu dia bertanya apa cita-cita anak itu. Katanya pengen jadi dokter. Demi karir dan bisnis, Pak Heru mengiyakan cita-citanya. Dan ia tidak menyangka, anak itu membuatnya menjadi seorang bapak. Karenanya, ia ingin merawatnya layaknya anak sendiri.

Pak Heru benar-benar buntu. Kini apa yang mesti ia perbuat? Hartanya makin menipis. Hutang-hutang perusahaan makin tak bisa tertanggung. Dengan pikiran kacau, ia menghembuskan napas lebar-lebar, membuka pintu rumah. Dan...
Blakkk!! Bukk!!!
Sebuah bunyi berdebum terdengar tiba-tiba. Pak Heru tidak tahu dari mana suara itu berasal. Yang pasti, ia ingin istrahat lebih banyak sekarang. Ia juga sudah sangat rindu pelukan itu. Pelukan anak itu, agar ia bisa kembali merasakan denyut seorang bapak. Bapak yang sesungguhnya.

***

RUANGAN yang serba putih. Suara-suara yang hiruk pikuk. Sangat berisik. Pak Heru menajamkan kedua matanya. Remang-remang ia melihat tiga orang mengerumuni tempatnya. Istri dan dua anaknya. Ia kaget, tumben mereka semua berkumpul? Mereka juga sesenggukan? Ada apa? Batinnya. Sepintas matanya menangkap tongkat penyangga anak sulungnya. Anak itu tertatih-tatih mendekat, sontak ia bangkit.

“Pak..pak..bapak sudah sadar??” suara istrinya menyela dan memegang kedua tangannya. Pak Heru mengucek-ucek matanya. Ia belum mengerti apa yang sedang terjadi. Dia menatap mata istrinya yang berbinar.
“Ada apa ini?” tanyanya.
“Kemarin pagi bapak terjatuh dan tidak sadarkan diri. Kita sedang di rumah sakit.” Jawab istrinya sambil memegang erat tangan kanan pak Heru. Mata Pak Heru menyipit. Tapi ia belum bisa teringat apa pun. Ia menatap sekitar, beberapa orang juga terlihat tergeletak seperti dirinya di atas kasur. Barulah ia benar-benar sadar, tubuhnya juga terbaring di ranjang rumah sakit.

Pintu ruangan terbuka, seorang dokter masuk ruangan. Pak Heru tertegun, dokter itu tersenyum padanya. Ia ingin bergerak, sayang punggungnya terasa ngilu.
“Bapak tidak perlu banyak bergerak. Istirahat saja dulu!” kata dokter menghibur. Pak Heru membenahi bantal yang menyanggah kepalanya. Setelah meletakkan obat-obatan di atas laci, dokter itu kembali keluar dari ruangan.
“Siapa yang membawa bapak ke rumah sakit???”
“Pak..tenang..tenang pak!”

Pak Heru baru terdiam ketika Aditya anak sulungnya berbicara. Dia langsung tertunduk melihat tongkat anaknya. Ia terenyuh. Tuhan tidak adil!! Tidak adil!! Mengapa harus seperti ini??? Batinnya. Tapi dia masih berusaha tetap tenang. Meski sangat sulit. Dengan menahan sesenggukan, istrinya menceritakan semuanya. Pak Heru tersengal. Kini ia terpikir betapa mahalnya biaya pengobatan.
“Huhu, biaya rumah sakit sangat mahal,” katanya lirih, “Kita sudah tidak punya uang lagi..”
Istrinya tersenyum dan duduk di kasur pasien.
“Anu..bapak tenang saja,” katanya. “Ada orang yang berbaik hati membantu kita.”
“Membantu? Jangan menghiburku, ma??!!”
“Mama serius, pa..”

***

Pak Heru menghela napas. Beberapa saat kemudian, terdengar pintu dibuka. Seorang berbaju putih masuk.
“Itu dia pak orangnya.” Bisik istrinya. Pak Heru mengangkat wajahnya. Ternyata dokter yang barusan masuk. Dia mendekat, Pak Heru merasa kerongkongan tercekat. Sekarang wajah dokter itu mulai lebih jelas terlihat. Pak Heru berusaha bangun, dokter itu memapah tubuh pak Heru untuk bangun. Istri dan kedua anaknya terheran-heran melihat keduanya kemudian berpelukan erat.

“Ha..san?? Benar itu kamu nak?”
“Iya, bapak. Bapak istirahat dulu, ya?”
“Kenapa kamu meninggalkan bapak? Kenapa, anakku??” Istrinya langsung terkesiap. Matanya melotot.
“Maksudnya apa pak??” serobot istrinya tidak percaya. “Ba..bapakk. punya istri lain ya???”

Bu Heru mengguncang tubuh suaminya. Dia lupa kalau suaminya sedang sakit.
“Saya anak asuh bapak kok!”
Kata sang dokter buru-buru. Bu Heru bengong.

“Bukan maksud saya meninggalkan bapak,” kata dokter yang ternyata anak asuhnya yang lama raib. “Saya malu bapak terus-terusan membiayai saya. Makanya saya pergi. Uang dari bapak sengaja saya tabung, dan saya ingin membuktikan pada bapak, bapak tidak sia-sia menghidupi saya.”

Pak Heru tidak dapat menahan tangisnya. Sementara Bu Heru masih terdiam. Dia masih menatap Hasan lekat-lekat.
“Bapak serius kan tidak menikah lagi???”
“Bapak masih kurang percaya ini kamu...” kata Pak Heru lagi. Dia tak menghiraukan pertanyaan istrinya. Dia masih memeluk orang di depannya dengan erat.

Pak Heru tidak bisa membayangkan, entah dengan cara apa anak asuh di depannya masih hidup. Mungkin Tuhan punya logika dan cara-Nya tersendiri untuk mendidik anak itu hingga masih segar di hadapannya. Sekaligus bagaimana memberikan secara rahasia sang hamba suatu harapan baru.

Boleh jadi, semua kejadian belakangan ini, mengingatkannya bahwa membahagiakan anak itu tak melulu dengan materi. Tapi, dengan kasih sayang. Kasih sayang yang hadir dari hati, bukan dari materi

Comments :

0 komentar to “Rindu Seorang Bapak”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com