Oleh: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah)
Dokter adalah sosok paling terpercaya berbicara tentang penyakit dan obat. Karena itu, saya sangat bersyukur Al Madinah sangat memahami dan konsisten memilih narasumber yang betul-betul mengerti materi yang sesuai dengan tema setiap edisi, sebagaimana otoritas dokter pada bidang kesehatan.
Prof. Dr. Imam Bawani, psikolog Ratna Ellyawati, pakar pendidikan agama Hanun Asrohah, kandidat doktor psikologi dari UK Malaysia Sri Siuni, pengasuh pesantren anak H. Ali Sirojuddin, dan lain-lain adalah representasi dari ahli dan praktisi yang fasih membahas tentang relasi anak dan orang tua pasca-boarding school atau pesantren.
Perdebatan tentang perlunya anak “hijrah” dari rumah untuk mondok di pesantren atau kost, kemudian kapan saat yang tepat, dan seterusnya, menjadi sumber inspirasi dari narasumber yang dihadirkan Al Madinah. Masing-masing alasan tentu penerapannya sangat situasional dan kondisional, artinya, tidak bisa disamaratakan pada semua anak, karena mereka adalah makhluk yang paling unik, memiliki ciri khas maupun karakter berbeda, termasuk pada anak hasil pemisahan “kembar siam” sekalipun.
Kekhawatiran saya, juga pengasuh panti asuhan mana pun adalah munculnya kesenjangan emosi antara orang tua dan anak yatim setelah berpisah rumah dengan ibu, maupun keluarga besarnya. Relasi kedua pihak dari anak panti asuhan ini lebih rentan dibandingkan anak kost, santri pesantren, juga siswa boarding school. Pasalnya, anak yatim yang dititipkan di panti asuhan nyaris tidak pernah dititipi uang sekolah, uang saku bulanan dari orang tuanya, dan pada gilirannya anak yatim merasa menjadi ‘beban’ keluarga.
Orang tua merasa gelisah ketika menghadapi anaknya lebih respek kepada gurunya atau bahkan institusi lembaga sosial yang mengasuhnya, padahal pengorbanan hamil, melahirkan, dan mengasuh mereka saat balita tidak akan pernah sepadan dengan pemberian apa pun dari guru maupun panti asuhan. Ridha Allah Swt terdapat pada ridha orang tua, begitu pun murka-Nya (bergantung) pada kemurkaan kedua orang tua (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).
Patut dipertimbangkan untuk menutup rapat, jasa dan pengorbanan panti asuhan kepada anak yatim yang dirawat, dididik, dan disekolahkan sampai baligh. Kondisikan mereka bahwa orang tuanya menitipkan ke panti asuhan untuk hijrah mengaji dan belajar. Karena, satu pelajaran langka yang didapat dari hidup di tengah-tengah keluarga besar adalah kemandirian.
Pemberian yang terbaik adalah manakala tangan kiri kita tidak mengetahui kebaikan tangan kanannya. Hadirkan orang tua anak yatim secara rutin ke panti asuhan, kita pinjam “tangan”nya untuk memberikan biaya hidup dan pendidikan agar si yatim tetap merasa diperhatikan ibu/walinya.
Dokter adalah sosok paling terpercaya berbicara tentang penyakit dan obat. Karena itu, saya sangat bersyukur Al Madinah sangat memahami dan konsisten memilih narasumber yang betul-betul mengerti materi yang sesuai dengan tema setiap edisi, sebagaimana otoritas dokter pada bidang kesehatan.
Prof. Dr. Imam Bawani, psikolog Ratna Ellyawati, pakar pendidikan agama Hanun Asrohah, kandidat doktor psikologi dari UK Malaysia Sri Siuni, pengasuh pesantren anak H. Ali Sirojuddin, dan lain-lain adalah representasi dari ahli dan praktisi yang fasih membahas tentang relasi anak dan orang tua pasca-boarding school atau pesantren.
Perdebatan tentang perlunya anak “hijrah” dari rumah untuk mondok di pesantren atau kost, kemudian kapan saat yang tepat, dan seterusnya, menjadi sumber inspirasi dari narasumber yang dihadirkan Al Madinah. Masing-masing alasan tentu penerapannya sangat situasional dan kondisional, artinya, tidak bisa disamaratakan pada semua anak, karena mereka adalah makhluk yang paling unik, memiliki ciri khas maupun karakter berbeda, termasuk pada anak hasil pemisahan “kembar siam” sekalipun.
Kekhawatiran saya, juga pengasuh panti asuhan mana pun adalah munculnya kesenjangan emosi antara orang tua dan anak yatim setelah berpisah rumah dengan ibu, maupun keluarga besarnya. Relasi kedua pihak dari anak panti asuhan ini lebih rentan dibandingkan anak kost, santri pesantren, juga siswa boarding school. Pasalnya, anak yatim yang dititipkan di panti asuhan nyaris tidak pernah dititipi uang sekolah, uang saku bulanan dari orang tuanya, dan pada gilirannya anak yatim merasa menjadi ‘beban’ keluarga.
Orang tua merasa gelisah ketika menghadapi anaknya lebih respek kepada gurunya atau bahkan institusi lembaga sosial yang mengasuhnya, padahal pengorbanan hamil, melahirkan, dan mengasuh mereka saat balita tidak akan pernah sepadan dengan pemberian apa pun dari guru maupun panti asuhan. Ridha Allah Swt terdapat pada ridha orang tua, begitu pun murka-Nya (bergantung) pada kemurkaan kedua orang tua (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).
Patut dipertimbangkan untuk menutup rapat, jasa dan pengorbanan panti asuhan kepada anak yatim yang dirawat, dididik, dan disekolahkan sampai baligh. Kondisikan mereka bahwa orang tuanya menitipkan ke panti asuhan untuk hijrah mengaji dan belajar. Karena, satu pelajaran langka yang didapat dari hidup di tengah-tengah keluarga besar adalah kemandirian.
Pemberian yang terbaik adalah manakala tangan kiri kita tidak mengetahui kebaikan tangan kanannya. Hadirkan orang tua anak yatim secara rutin ke panti asuhan, kita pinjam “tangan”nya untuk memberikan biaya hidup dan pendidikan agar si yatim tetap merasa diperhatikan ibu/walinya.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih