Pelbagai media massa menyebutkan, selama perhelatan kampanye terbuka menjelang Pemilu legislatif 9 April silam, salah satu pelanggaran paling menonjol dan kasat mata adalah pelibatan anak dalam kampanye. Selain sebagai pemeran dalam iklan politik di media elektronik maupun baliho-baliho besar, anak-anak yang tidak berhakpilih itu berulangkali ditemui ikut meramaikan kampanye terbuka.
Pertanyaan yang patut diajukan, apakah para elit Parpol maupun para kandidat legislatif –yang notabene calon perumus Undang-Undang kelak— tidak sempat membaca pasal 15 ayat 1 huruf (a) UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak? Dan apakah mereka tidak tahu pelanggaran terhadap ketentuan itu, seperti termaktub dalam Pasal 87 UU tersebut, merupakan tindak pidana pelanggaran hak anak?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 13 (1)
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. Pelibatan dalam peperangan
Kasus di atas sekadar contoh aktual pelanggaran atas larangan eksploitasi anak. Fakta lain yang lebih memprihatinkan adalah data Unicef (organisasi di bawah PBB yang menangani masalah anak) yang menyebutkan bahwa setiap tahun ada sekitar 1,2 juta anak di dunia menjadi korban perdagangan. Di Indonesia, sebanyak 100.000 anak menjadi korban jual beli anak setiap tahun. Dari jumlah tersebut, 40.000 hingga 70.000 di antaranya menjadi korban prostitusi. Anak-anak yang terjebak dalam lembah prostitusi tersebar di 75.106 lokasi di Indonesia. Anak-anak diperjualbelikan, dan orang dewasa lah yang menangguk untung berlipat.
Entah siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban atas kenyataan tersebut. Orang tua, masyarakat, dan negara tentunya tidak bisa begitu saja cuci tangan dari realitas buram ini. Sebagai sosok terdekat bagi anak, orang tua adalah aktor utama yang harus dituntut pertanggungjawaban.
H. Didit Hari Purnomo, Ketua Yayasan Alang-Alang Surabaya, sebuah lembaga yang menyelenggarakan pendidikan nonformal bagi anak miskin dan terlantar di kota Surabaya, menerangkan bahwa faktor utama eksploitasi ekonomi adalah kemiskinan orang tua. “Anak kecil nggak punya keinginan mencari uang, dia maunya bermain dan bersenang-senang. Itu dipaksa semua. Anak mengemis, mengamen, dan sebagainya diakibatkan faktor kemiskinan orang tuanya. Kalau cukup nggak mungkin. Nah anak dipaksa orang tuanya.”
Pendapat tersebut diamini oleh Dewi Retno Suminar, psikolog anak Unair. Ia memandang, anak-anak kecil di jalanan dimotivasi oleh kepentingan ekonomi. “Reward paling menarik bagi anak untuk melakukan segala hal adalah uang. Dan saya yakin dia melakukan itu karena uang, bukan karena suka,” tandas Dewi.
Memang sebagian anak berminat membantu kekurangan ekonomi orang tuanya. Menurut Dewi, psikolog anak Unair, hal tersebut sah saja dilakukan asal anak tidak terpangkas waktu belajar, bermain, dan istirahatnya, dan mereka melakukan itu dengan penuh sukarela. “Eksploitasi itu kan meniadakan kebebasan seseorang untuk mengatakan tidak. Artinya kalau dia sedang malas membantu orangtuanya bekerja, ya tidak boleh dipaksa,” ujar ibu dari tiga anak itu.
Menilik realitas yang mengemuka, anak kerap diperlakukan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan finansial yang belum tentu dia bisa menikmatinya. Lutfiana Ulfa, bocah cantik berusia 13 tahun yang dinikahi oleh Pujiono Cahyo Widiyanto, milyuner asal Semarang, dan dijanjikan posisi manajer di salah satu perusahaan Puji, apakah dia betul-betul mencintai Syeikh Puji ataukah orang tua Ulfa yang terpikat oleh kekayan Puji? Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu persis.
Anak Sebagai Magnet Belas Kasih
Secara kodrati, anak diciptakan sebagai sosok yang perlu dilindungi, sebab secara fisik maupun psikis memang lemah. Orang waras pasti iba dan melas melihat anak kecil yang bersusah payah menjual koran, permen, makanan kecil, atau apa pun demi membantu orang tuanya. Namun kenyataan alamiah tersebut kerapkali dimanfaatkan oleh orang-orang dewasa. Jadilah anak diperalat.
Sebagai orang yang sudah sepuluh tahun bergumul sehari-hari dengan anak-anak yang terbiasa hidup di jalanan kota Surabaya, Didit Hari Purnomo tahu betul fakta tersebut. “Bahkan bayi-bayi kecil yang belum bisa berjalan, disewakan kepada pengemis dewasa demi mendapatkan uang. Bayi-bayi yang digendong di perempatan jalan itu bukan anaknya, melainkan sewaan untuk memancing iba. Kemudian anak jualan koran, itu dieksploitasi oleh pengusaha agar orang kasihan dan kemudian membeli,” tukas pria kelahiran Lumajang lima puluh tujuh tahun silam itu panjang lebar.
Menyikapi hal itu, Om Didit –demikian ia ikrab disapa oleh anak-anak didiknya—berpendapat bahwa seharusnya jika UU Pelindungan Anak diberlakukan, siapa saja yang menemukan bayi diajak mengemis, mak bisa langsung melapor ke aparat berwajib agar ditindaklanjuti. “Terus apa artinya jargon perlindungan anak, tapi ada pembiaran eksploitasi. Dosa kita,” tegas pria berambut gondrong itu. Ia menyarankan agar para peneliti melakukan riset berapa bayi yang meninggal karena diajak berpanas-panasan.
Itulah pola pemeralatan anak yang terlihat gamblang. Di sisi lain ada pula yang tampak sangat halus, dan hal itu biasa dilakukan oleh lembaga-lembaga sosial yang mengklaim hendak melindungi hak anak. Dalam pengamatan Al Madinah, akhir-akhir ini di beberapa SPBU di kota Surabaya kerap terlihat beberapa orang membawa kotak amal bertuliskan “Peduli anak yatim” yang bersampul foto –yang konon— anak-anak asuhnya.
Menyikapi hal itu, Drs. Soedjatmoko, M.M, Kabid Organisasi dan Swadaya Sosial Dinas Sosial Kota Surabaya merasa sedih. “Ya kalau anak asuhnya beneran, tetapi kalau cuma pinjam gambarnya untuk minta bantuan, maka dia sendiri yang kaya, tetapi anaknya tidak tersentuh,” cetusnya.
Menurut Pak Jat, demikian Soedjatmoko biasa disapa, pihak Dinsos kota Surabaya hanya bisa bertindak pada level persuasif yakni pembinaan dan pengarahan kepada lembaga-lembaga sosial yang terdafatar agar tidak meminta sumbangan di jalanan. “Setiap tahun kami kumpulkan seluruh lembaga, dan ada kesepakatan bahwa mereka tidak akan meminta sumbangan di tempat-tempat umum. Inilah upaya kami agar lembaga itu tidak mengeksploitasi anak-anak asuhnya.”
Di kota Surabaya, Pada tahun 2008 Dinsos mencatat ada 1090 anak dan balita terlantar. Dan mereka rentan menjadi korban ekosploitasi, baik dilakukan oleh organisasi maupun individu.
Soedjatmoko berpandangan, dalam jangka pendek, memampangkan foto anak asuh dan keluarganya di proposal dan semacamnya untuk kepentingan penggalian dana, dalam jangka pendek mungkin bisa ditolerir. “Tetapi untuk jangka panjang itu eksploitasi juga. Kan di panti asuhan ada batas waktu anak menerima layanan. Kalau sudah cukup besar ya tidak boleh ditampakkan lagi,” ujar pria asli Madura itu.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih