Tiga Kisah Pengingat Syukur pada Allah (Bag. I) Awalnya Prasangka, Finish-nya Saudara

Oleh: Siti Raudhatul Jannah

Pagi itu, serangkaian kegiatan manasik haji di kantor Depag kota Denpasar berakhir dengan praktik sa’i dan melempar jumrah. Ising-iseng saya ikut latihan bersama ratusan jamaah calon haji di kota dengan populasi muslim 10% dari total penduduknya itu.
Sembari mendengarkan pembimbing memberi arahan, saya tersenyum kepada ibu-ibu yang berada di depan, dan samping kanan-kiri. Mungkin hendak menjawab sapaan non verbal itu, salah seorang ibu yang kukenal, menyentil tanganku. ”Tuh, ibu yang di depan sampeyan, pasti orang Madura,” katanya dengan kilat mata menggoda.
Saya tahu, di balik kata-kata sederhana itu, ada stereotip yang menguasai makna di balik analisanya tentang sosok perempuan setengah baya, dengan busana laiknya mau ke pesta, dan perhiasan emas di tangan, leher, dan jemarinya.
Entah mengapa, perempuan berdandan ”menor” kerap diasosiasikan kepada perempuan Madura. Sebagai orang asli Sumenep, Madura, jujur, saya sering tersinggung dengan pencitraan ini.
Dua jam kemudian, tibalah waktu istirahat. Saya menggunakan waktu setengah jam untuk mendekati dan mengobrol dengan perempuan yang ”dituduh” sebagai orang Madura itu.
Sebut saja Ibu Warsini namanya (samaran). Janda empat anak statusnya. Sejak gadis sudah mandiri dengan memproduksi dan berjualan tempe. Kemudian berkembang menjadi pemotong dan penjual ayam pedaging di salah satu pasar tradisional di Denpasar.
Tak heran, ia mampu membeli aneka perhiasan emas yang kini ”nangkring” di hampir semua bagian tubuh yang biasa dilekati perhiasan oleh perempuan. Cukup mengejutkan. Perempuan berdandan wah itu ternyata asli kota Malang. Tak ada darah Madura sedikit pun yang melekat padanya.
Rupanya, perkenalan kami berlanjut lebih intim. Perbincangan yang awalnya sekedar mengetahui asal Ibu Warsini, berkembang menjadi percakapan eksploratif. Ia bercerita, dirinya sedianya naik haji bersama dengan suaminya. Akan tetapi sejarah berkata lain. Ayah dari empat anaknya lari dengan pelacur sambil membawa serta Rp 20 juta uang simpanannya.
Mendengar kisahnya, terang aja simpati langsung menyeruak dari diri saya. Mungkin karena itu pula, dia percaya dan mau menceritakan sisi-sisi kelam kehidupannya. Menurutnya, sang suami hobi ’lari’ dari rumah. Kejadian dengan pelacur itu adalah yang ketiga dalam perjalanan perkawinan mereka.
Ketika anak ketiganya belum lahir, sang suami juga hengkang dari rumah selama ratusan hari setelah membius adik perempuan Warsini, memerkosanya, hingga si adik yang kala itu masih SMA, hamil dan melahirkan.
Terang saja, keluarga besarnya marah, apalagi perkawinan Warsini dengan suaminya tidak direstui sejak awal. Alasan ibunya -ayah Warsini tutup usia sejak adik keenamnya masih balita, si pria tidak punya sopan santun dengan rona mata yang jelalatan.
Pelarian pertama sang suami berulang kala anak keempat Warsini lahir. Entah bagaimana ceritanya, bapak dari empat anaknya itu pergi bersama pelacur muda dan meninggalkan keluarganya.
Namun kejadian kedua itu masih bisa dimaafkan. Warsini dan keluarga menerima kembali suaminya di sisinya. ”Saya kasihan anak-anak, selain juga masih cinta padanya,” tutur Warsini.
Tidak demikian pada kejadian ketiga, Warsini mengaku sudah tidak tahan ditinggal suaminya yang kepincut perempuan lain. ”Saya pilih bercerai saja, tak apa tidak punya suami. Saya sanggup membesarkan anak-anak, membiayai mereka. Beruntung saya biasa bekerja mandiri sejak masih gadis, sehingga tidak terlalu bergantung dari penghasilan suami,” papar Warsini.
Untaian kalimatnya mempesona. Dengan sungguh-sungguh saya berjanji dalam hati, akan menjadikannya saudara, laiknya saudara kandung. Bagi saya, ia sangat layak menjadi panutan perempuan. Saya tak peduli dengan strereotip yang melekat padanya lantaran cara berdandannya yang berlebihan. Saya tak lagi malu berteman dengannya.
Semangat juang perempuan berbulu lentik itu membuat saya terpana. Ia benar-benar lebih perkasa dibandingkan diri saya. Bagi saya, hidup terpisah dengan suami yang bekerja di Denpasar dan tinggal di Sumenep, kadang membuat diri ini menjadi timpang, tidak bersemangat, dan banyak mengeluh.
Mendengar ceritanya, saya benar-benar bersyukur kepada Allah. Saya melihat dari sisi berbeda. Ternyata suamiku bertipe setia dan bertanggungjawab penuh pada keluarganya.
Dalam konteks silaturrahmi, saya telah mendapat hidayah, pencerahan, yang pada gilirannya memperpanjang semangatku untuk menjalani kehidupan perkawinan hingga kapan pun. Tentu dalam artian saling memahami.
Tak kalah pentingnya, rasa syukur tak henti terketuk di hati, mendengar kisah Warsini. Ternyata kehidupan keluarga saya menjadi lebih indah setelah kami hidup berjauhan. Rindu selalu terjaga untuk pasangan yang berada jauh di pulau dewata. Indahnya. Terimakasih Allah. Terimakasih para pembaca. Kini giliran Anda untuk memetik hikmah dari hasil silaturahmi dengan orang di sekelilling Anda. (Bersambung)

Comments :

0 komentar to “Tiga Kisah Pengingat Syukur pada Allah (Bag. I) Awalnya Prasangka, Finish-nya Saudara”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com