Mengintip Bilik Pesantren


Oleh

Moh. Yamin

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Malang, Penulis buku “Menggugat Pendidikan Indonesia” (2009)



Kemunculan pesantren di tengah masyarakat dengan sekian pernak perniknya adalah sebuah keniscayaan. Pesantren dapat menjaga tradisi leluhur, membentuk manusia-manusia agamis dan membangun tatanan masyarakat berbalutkan kearifan lokal. Pesantren adalah lembaga yang dapat menjaga moralitas masyarakat dan bangsa. Sehingga bisa mewarnai kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Muaranya adalah lahir sekian orang dengan modal pemahaman keagamaaan dan agama yang kuat untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Lahirlah sekian manusia yang dapat membuka pandangan hidup lebih luas terhadap lingkungan sekitarnya. Pesantren dengan kiprahnya akan mampu menunjukkan pelbagai macam jalan agar bangsa dan masyarakat dapat menemukan peta perjalanan yang lurus dan menggapai cita-cita luhur; masyarakat madani.

Diakui maupun tidak, tatkala pesantren dapat memosisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan mendapat kepercayaan sebagai pendidik bagi masyarakatnya, maka, pesantren bisa menjadi magnet agar para anak negeri dipondokkan. Dengan satu tujuan luhur, mereka bisa menjadi anak-anak yang berbakti, berbuat terbaik bagi keluarga dan masyarakatnya, serta memeroleh kedalaman pengetahuan agama yang kuat. Mereka pun menjadi indidividu dengan kejernihan berpikir dan kelapangan hati ketika menghadapi persoalan hidup. Tidak cepat putus asa, selalu menyerahkan diri dan menyampaikan keluh kesahnya kepada Allah Swt.

Oleh karenanya, siapa pun di jagad bangsa ini akan setuju, pesantren selalu menjadi lembaga pendidikan alternatif dalam mendidik anak-anak bangsa. Sebab di pesantrenlah, anak-anak negeri tidak hanya memeroleh pengetahuan agama namun pendidikan umum. Dalam konteks ini, pendidikan agama yang dimaksud adalah mereka mempelajari Kitab Kuning dan sejumlah kitab lain yang berpengaruh besar dalam peradaban dunia. Harapan ke depan, mereka mampu menjadi pribadi-pribadi yang memiliki kemampuan lebih ketimbang anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan umum.

Lebih menarik lagi, ketika menimba ilmu di pesantren, para santri semakin terlatih untuk hidup mandiri. Mereka bisa terbiasa belajar memaknai kehidupan secara lebih dewasa. Ketika mampu membangun hubungan antara sesama santri, mereka pun bisa menumbuhkan sikap dan tindakan untuk saling menerima perbedaan baik budaya, suku, pendapat, dan lain seterusnya. Secara tegas, pesantren kemudian memberikan sebuah penanaman nilai kehidupan untuk bisa terbuka dan membuka diri dalam berinteraksi dan berdialog secara arif. Sehingga akan terbentuk sedemikian rupa dalam kehidupan para santri. Mereka seolah merasa lebih menjadi manusia sesungguhnya sebab sudah dihadapkan dalam sebuah realitas yang sesungguhnya, bukan direkayasa.

Setidaknya, pesantren kemudian menjadi sebuah miniatur kehidupan untuk belajar lebih tegar dan kokoh dalam kehidupan sebelum menjadi bagian masyarakat. Dengan demikian pesantren berupaya menjadi sebuah arena diri agar bisa saling menerima sebuah keadaan yang berbeda satu sama lain. Itulah kenyataan hidup yang pasti dialami setiap santri ketika memasuki dunia pesantren. Oleh sebab itu, pesantren menjadi sebuah ruang terbuka bagi mereka untuk melakukan aktualisasi diri. Pencarian identitas untuk belajar diakui masyarakat dipupuk pula di pesantren.

Komunikasi dengan pengasuh pesantren, ustadz, kiai dan lain seterusnya akan menjadikan mereka semakin mengenal s arti hidup yang lebih. Dalam konteks yang lebih luas, pesantren kemudian membangun sebuah kedewasaan dan kematangan dalam berperilaku yang berbeda. Ketika di awal memasuki pesantren, para santri masih cenderung malu-malu dan kurang terbuka berkomunikasi, namun selanjutnya akan menunjukkan sebuah keinginan dan kehendak agar bisa menghilangkan perasaan tersebut. Ini adalah sebuah keniscayaan.

Oleh karena itu, agar pesantren tetap hadir di pentas pendidikan kemanusiaan dan agama dan selalu mendapat kepercayaan di hadapan masyarakat, maka pesantren harus memaksimalkan empat fondasi utama setelah santri menimba ilmu di pesantren. Pertama; penguatan hubungan antara pesantren dan alumni. Sebab dua entitas tersebut ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Di sana ada pesantren, maka di sana pula ada alumni pesantren. Yang jelas, antara pesantren dengan alumni yang bertebaran di tengah umat manusia harus terbangun komunikasi intensif.

Men-database para alumni adalah sebuah keniscayaan untuk menghitung-hitung seberapa banyak santri yang sudah diproduksi pesantren bersangkutan. Tak hanya itu saja, juga perlu mendeteksi dan mengidentifikasi ke manakah mereka mengiprahkan hidupnya, apakah ke sosial, politik, dan lain seterusnya. Pendataaan demikian sangat diperlukan guna memetakan peran mereka dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bermasyarakat di Ibu Pertiwi ini. Dengan begitu, pesantren akan mudah untuk menghubungi mereka setiap saat jika para alumni dibutuhkan, semisal ada acara temu alumni.

Ini diharapkan menjadi penguat jembatan agara proses bangunan inter-relasi tetap terbentuk secara terus menerus. Rekatan kebersamaan turut terjalin dengan sangat harmonis. Sehingga dengan hubungan yang semakin mantap di antara pesantren dan para alumni, maka pesantren sebagai tempat di mana mereka (para alumni) belajar sebelumnya akan tercitrakan baik dan positif di depan masyarakat umum baik di pedesaan maupun perkotaan. Sangat wajar apabila pesantren sebagai kawah candradimukanya pun menjadi obsesi setiap orang –yang sebelumnya tidak dan belum mondok di sana— akan terdorong keinginan guna menimba ilmu di tempat tersebut.

Secara jujur, kesadaran rasional akan muncul dengan sedemikian rupa. Lebih tepatnya, pesantren ternyata sangat hebat dalam mendidik para santrinya. Ini bisa dibuktikan dengan alumninya yang bertebaran di jagad raya pertiwi ini. Ketiga; pesantren juga perlu memberikan tugas-tugas secara garis besar terhadap para alumninya pasca di pesantren.

Tetap mempertahankan tradisi dan budaya pesantren adalah sebuah kewajiban bagi setiap alumninya. Ini sebagai bentuk pemerian ciri khas pesantren terkait agar masyarakat umum bisa membedakan pesantren alumni manakah mereka, apakah dari Sidogiri, Tebuireng, dan lain seterusnya. Menjaga ciri khas sangat penting untuk menunjukkan nilai keaslian pesantren.

Tak hanya itu, para alumni harus mampu membumikan visi dan misi yang diemban pesantrennya di tengah masyarakat secara praksis kongkrit. Sebab visi dan misi berjalin kelindan erat dengan tujuan didirikannya pesantren oleh para leluhurnya, termasuk itu pula sebangun dengan jiwa trans-kemanusiaan dan transedental saat para leluhur melakukan kontemplasi serta perenungan saat hendak mendirikan pesantren. Wallahu A'lam Bisshowab.

Comments :

0 komentar to “Mengintip Bilik Pesantren”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com