Oleh: Ufi Suryaningsih
(Sekretaris Umum Majalah Pesantren TILAWAH P.P Nurul Ummah Yogyakarta)
“Hei…Kamu anak kecil, ngapain di situ?” teriak seorang Satpam sekolah.
“Ah…nggak... Cuma lihat aja kok, Pak!”.
“Ya, sudah…pulang sana”.
Dengan wajah lesu Tito melangkah pergi meninggalkan gerbang SMP Bakti. Ingin rasanya sekolah lagi, punya banyak teman, bisa belajar bareng, bercanda dengan kawan-kawan, pasti dunia terasa indah…Tapi itu semua hanya bayangan. Tak mungkin dia bisa sekolah. Untuk hidup saja harus banting tulang.
Sepulang dari nganterin sampah kering ke tengkulak…Tito membelikan kakeknya sembako untuk persediaan minggu ini. Ya cukuplah untuk makan tapi tidak untuk sekolah.
Pagi-pagi Tito bangun, beres-beres rumah yang hanya berukuran 5x5 m2, dan tugas utamanya adalah membangunkan sang kakek serta menyiapkan kopi hangat untuknya. Setelah urusan kakeknya beres, Tito bersiap berangkat dengan kostum barunya, kaos oblong, celana pendek, sandal jepit, topi, dan karung.
Sebulan sudah Tito berprofesi sebagai pemulung. Sebenarnya tak layak ia menyandang predikat itu mengingat usianya yang 13 tahun. Tito adalah anak tunggal yang pernah mengecap manisnya hidup lantaran orang tua dan kakeknya termasuk orang sukses. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Kini, Tito tinggal bersama sang kakek, satu-satunya keluarga yang masih ada di Jakarta, yang lain di Majalengka.
Sebenarnya ia ingin tinggal di Majalengka yang banyak saudara tapi sang kakek enggan, gengsi pada tetangga. Dulu, kakek Tito pernah berjaya, tapi usahanya sebagai pedagang kelontong di Pasar Senen bangkrut lantaran kebakaran. Sang kakek kini cuma mengandalkan uang yang dipinjam oleh rekan dagangnya dulu. Semua bagai mimpi yang tak berbekas. Namun Tito bertekad menjaga kakek sebisanya.
Setiap keluar dari Perumahan Asri (lahan Tito mengail rezeki), ia melintasi SMP Bakti. Entah kenapa, setiap kali itu pula terbersit keinginannnya untuk melanjutkan sekolah lagi. Tapi sekali lagi..itu hanya bayangan yang entah kapan bisa mewujudkannya. Keinginan untuk sekolah berseberangan dengan keadaan ekonominya. Tidak mungkin Tito memaksakan kakek untuk menyekolahkannya.
Hari sudah siang tatkala karung yang dibawa Tito terisi penuh dengan botol bekas dan segala macam yang bisa dijual. Tito berniat istirahat di samping pagar SMP Bakti. Baru sedetik rebahan, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya. Spontan dia berbalik dan mendapati anak seumuran mendekatinya.
“ Kamu mau buku cerita?” tanyanya pada Tito. “Iyaa…saya mau...!” jawab Tito terbata.“ Nich, ambil aja,” saya punya dua kok.” “Terima kasih,” jawab Tito masih dipenuhi tanda tanya.
Anak tadi beranjak pergi. Tito masih bingung… Sejak saat itu, Tito sering sekali berhenti di situ dan mencari anak yang pernah memberinya buku cerita, siapa tahu bisa diajaknya ngobrol dan kenalan. Tapi tidak pernah ketemu. Kalau sudah begitu ia membaca buku cerita itu sampai sore. Setelahnya, pulang.
“Kakek tidak tega melihatmu tiap hari banting tulang, To. Mungkin lebih baik kita pulang kampung saja. Di sini sudah tidak ada yang bisa diandalkan lagi, kakek menyerah,” ucap Kakek saat pagi menjelang.
“Sudah, itu nanti kalau kakek sehat. Sekarang kakek makan dulu. Tito mau mencari rezeki lagi. Doain biar dapat banyak.”
Tito beranjak keluar. Ke mana lagi kalau bukan Perumahan Asri yang selama ini menjadi tempat sandaran nafkah Tito dan kakeknya. Dari sampah-sampah perumahan ini pula Tito sering mendapat hasil yang cukup untuk makan.
*****
Untuk kesekian kalinya Tito berhenti di depan sekolah SMP Bakti. Diamatinya setiap sudut ruangan yang bisa dijangkau oleh indera penglihatannya, setiap denyut kehidupan yang terukir di sana. Pikirannya berkecamuk membentuk ilusi yang membuat hati kecewa. Seandainya ia bisa sekolah di sana, tentu kakeknya senang.
Angin semilir sore terasa nikmat hingga mengantarkan Tito terbuai alam bawah sadar seraya duduk di bawah pohon.
“Hei..nak, bangun. Kenapa kamu tertawa terbahak-bahak, sementara kamu tidur?”
“Eh..iya Pak…,” Tito terkejut dan membuka matanya. “Tadi saya bermimpi, senang banget. Saya sudah mengerjakan PR matematika. Ada teman yang belum mengerjakan, kemudian minta contekin punya saya. Saya bilang boleh tapi harus traktir Bakso dan ia setuju.”
“Oh ..Bapak kira kamu dapat uang banyak. Kamu suka matematika?”
“Kalau itu suka sekali Pak. Dulu ketika SD nilai Matematika saya selalu terbaik. Makanya sering dapat hadiah dari Guru Matematika Pak. Tapi…sekarang saya tidak bisa merasakan lagi! Oya, kenapa Bapak di sini?”
“Saya meninjau sekolah. Kamu sendiri kenapa tidak sekolah?” sahut pria setengah baya itu.
Tito tertunduk lesu, matanya berkaca-kaca ingin menangis, tapi hatinya berontak untuk tak menangis. Mimpinya melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya terasa amat tinggi untuk diraih. Bahkan untuk dimimpikan sekalipun. Dengan terbata-bata Tito angkat bicara.
“Sebenarnya ingin sekali saya melanjutkan sekolah Pak, tapi tidak punya biaya. Untuk makan tiap harinya tidak kekurangan sudah bersyukur, Pak. Mungkin, itu anugerah terindah yang saya dapatkan. Sekarang saya tinggal dengan kakek saya.”
“Kamu ingin sekolah lagi?” Besok jam 7 bapak tunggu di sini. Datanglah bersama kakekmu!”
“Untuk apa Pak?”.
Sang Bapak malah pergi mengambil sesuatu di dalam mobil. “Ini pakailah, seragam sekolah untuk besok pagi”.
Tito girang bukan main, mimpi apa dia hingga bertemu dengan pemilik Yayasan SMP Bakti dan memberinya Beasiswa bersekolah. Tito berjalan pulang menenteng karungnya yang isinya lupa dijual saking gembira hati bocah itu. Pikirannya masih tertuju pada kejadian barusan.
“Sekolah …oh indahnya…mendapat ilmu dan teman yang baik”. Gumam Tito dalam hati. Kakeknya tentu sangat senang mendengar berita ini. Apalagi sejak lama sang kakek berusaha memerjuangkan Tito untuk tetap sekolah.
“Kek… kakek…” “Kek…kakek…”
Dua kali panggilan tak ada sahutan dari dalam rumah. Karena penasaran Tito menggeledah isi rumah. Kosong. Tak ada sosok yang dicari. Hatinya mulai gundah.
Bergegas ia keluar menanyai tetangga, tapi tak seorang pun tahu. Dibalut perasaan tak menentu Tito mencari kakeknya ke tempat-tempat yang pernah dijadikan tempat mangkal sang kakek.
Namun Kosong. Hati Tito mulai kacau oleh pikiran-pikiran negatif. “Kek…di mana kakek sekarang…” Tito terlelap dalam kegelisahan.
Angin malam yang tak bersahabat mengantarkan tubuh tua yang terbujur kaku ke tepi bantaran sungai. Pakaian yang dikenakan masih lengkap. Tak ada tanda-tanda tindak kekerasan.
*****
Di langit mentari pagi masih malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Namun Komplek Mulya Sari geger dengan ditemukannya sosok mayat yang terdampar di bantaran Sungai Ciracas.
“Tito…to…bangun”. Doni, teman sepermainannya membangunkan Tito. “Di tepi sungai ada ribut-ribut…ayo kita lihat ada apa, katanya ada mayat?”.
“Mayat siapa? Ayo kita lihat,” ajak Tito.
Mereka berdua bergegas ke bantaran sungai di mana warga berkerumun. Hati Tito tiba-tiba terasa lain, tidak enak. Semalamam kakeknya tidak pulang. Rasa was-was menyergap. Tiba-tiba saja kerumunan itu membukakan jalan untuk Tito dan Doni.
Kedua anak ini terang saja bingung dan saling pandang. Tanpa ba bi bu, mereka mendekati si mayat yang telah tertutup kain. Perlahan Tito membuka wajahnya.
Ha............
Seolah ada duri yang menusuk kerongkongannya. Tito tak bisa berucap. Pandangannya mulai kabur, bumi serasa hitam tak berwarna. Tulang kakinya tak kuasa lagi menopang tubuh mungilnya. Kabar gembira yang diterimanya tak mampu mengobati duka yang menimpa.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih