Ramadhan, Lailatul Qadar dan Penjelajahan Kitab Suci

Oleh: Sholahuddin*


Lulusan Centre for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS)

Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta



Al Quran sebagai kitab suci umat Islam turun di bulan Ramadhan. Pada bulan ini masyarakat Islam di tanah air mentradisikan tadarus, yaitu membaca, mempelajari, menjelajahi, dan memaknai kitab suci.

Di pesantren-pesantren, Tafsir Jalalayn, sebuah kitab tafsir elementer, menjadi menu santapan pengajian utama setiap harinya. Para santri dengan sabar, ulet, dan tekun menguliti dan memahami pesan-pesan Allah yang terkandung dalam kitab tafsir tersebut.

Bulan Ramadhan menjadi istimewa karena diturunkannya Al Quran. Karena itu para ulama menyebut bulan Ramadhan dengan syahr al kitab al muqaddas, yaitu bulan kitab suci. Dalam Al Quran hal tersebut ditandaskan oleh Allah dalam Surat Al Baqarah: 185.

Sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bila umat muslim di bulan penuh rahmat ini meramaikanya dengan berbagai aktivitas-aktivitas keagamaan yang beragam.

Dalam waktu singkat, keglamoran yang terpampang di ruang publik berubah total menjadi suasana keagamaan simbolis. Mulai dari masjid, mushalla, langgar, dan surau dipadati dengan pengajian-pengajian untuk menguak mutiara yang tersembunyi dari Al Quran.

Alunan ayat suci Al Quran juga menggema memecah alam raya, dari fajar hingga terbenamnya senjakala. Hal ini menandakan adanya hubungan kuat yang bersifat simbiosis mutualisme antara kitab suci dengan umatnya.

Saya teringat pada pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib K.w yang dengan tandas mengatakan "Al Quran diantara dua sampulnya, tak bisa bersuara, sang penafsir itulah yang menyuarakanya (Al Qur'anu bayna daftayi al mushhafi la yantiqu, wa innama yatakallamu bihi al rijalu).” Pernyataan Imam Ali ini menandakan peran sentral penafsir, dialah agen penafsiran.

Bulan Ramadhan sebagai bulan kitab suci sebetulnya tidak bisa terlepas dari kesejarahan turunnya Al Quran. Namun yang menjadi perdebatan sepanjang sejarah pemikiran Islam adalah apakah turunnya Al Quran di bulan suci ini secara keseluruhan atau sekadar permulaan?

Ada tiga pandangan utama mengenai hal itu; Pertama, Al Quran diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadar secara keseluruhan, lalu diturunkan ke bumi selama kurang lebih 20, 23, atau 25 tahun sesuai masa hidup Nabi Muhammad SAW setelah kenabiannya.

Kedua, Al Quran diturunkan ke langit dunia dalam tempo 20 malam lailatul qadar selama sekitar 20 tahun, bahkan ada yang mengatakan 23 dan 25 tahun. Lalu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur setiap tahun.

Ketiga Al Quran diturunkan di malam lailat al-qadr, kemudian turun secara berangsur dalam tempo yang beragam.

Dari tiga pandangan utama diatas, benang merah yang bisa kita petik adalah bahwa lailatul qadar merupakan kesempatan berharga bagi umat Islam, yang mana kitab suci itu untuk pertama kali diturunkan oleh Allah ke langit bumi. Oleh karena itu umat Islam berlomba-lomba untuk mendapatkan lailatul qadar.

Menurut Imam Syafi'i, di mana mazhabnya dianut oleh mayoritas muslim di Indonesia, lailatul qadar terbatas pada asyrul awakhir (sepuluh hari terakhir dari Ramadhan), terutama sekali pada tanggal-tanggal yang ganjil, malam 21, 23, 25, 27 dan 29. Pada malam-malam inilah, menurut Imam Syafi'i, umat Islam mesti meramaikanya dengan berbagai bentuk aktivitas keagamaan.

Dalam Al-qur'an sendiri, penghormatan terhadap lailat al-qadr begitu istimewa, Al-qur'an memuji malam itu sebagai “Malam yang lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya turun untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan sampai terbit fajar (QS. 97: 1-5).”

Di antara umat Islam di Indonesia ada yang menghabiskan sepuluh hari akhir bulan Ramadhan dengan menunaikan ibadah umrah. Sebagian yang lain menghabiskanya dengan berdiam di masjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah, ada juga yang membaca Al Quran.

Sebagai korpus terbuka, Al Quran perlu “diajak berkomunikasi”. Seiring perjalanan waktu, para sarjana pengkaji Al Quran telah membuat panduan teknis bagaimana kita seharusnya berinteraksi dengan Al Quran?

Sehingga muncul ragam pendekatan dalam memahami pesan-pesan Tuhan. Di antaranya adalah tafsir tekstual (At tafsir Al harfy Al lughawy), tafsir kontekstual-historis (At tafsir As siyaqi At taarikhy), dan tafsir transformatif (A -tafsir At taharrury). Ragam pendekatan tersebut dalam kerangka mengajak Al Quran berbicara.

Pembacaan kita terhadap Al Quran meniscayakan pembacaan yang produktif. Untuk bisa melakukan itu kita harus bisa mengkontekstualisasikan pesan-pesan Al Quran dengan zamannya. Jangan sampai kita terjebak pada teks dan menutup mata atas konteks kesejarahan yang mengiringi turunnya ayat (asbabun nuzul).

Farid Esack, seorang pemikir progresif dari Afrika Selatan, dalam bukunya Qur'an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression (1997) mempunyai pandangan menarik, dia berkata dengan tandas; No text is an island unto itself", (Teks tidak pernah tertutup ke dalam dirinya sendiri). Dari sini, kita bisa mafhum bahwa wahyu merupakan komentar atau respon atas realitas sosial budaya.

Dalam Islam terdapat konsep tentang asbabun nuzul, syar'u man qablana, dan naskh. Konsep pertama menekankan bahwa setiap pewahyuan selalu berkaitan dengan konteks tertentu, dan secara demikian Al Quran tidak berada dalam ranah yang kosong.

Sedangkan konsep kedua menekankan bahwa sejumlah ketentuan yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu masih bisa dipakai dalam periode kerasulan Muhammad Saw. Salah satu misal dari hal ini adalah tradisi khitan yang telah ada sejak zaman Ibrahim AS, dan kemudian dikuatkan lagi dalam masa kerasulan Muhammad.

Sementara konsep ketiga menyimpulkan bahwa suatu pewahyuan bisa dibatalkan oleh pewahyuan yang lain karena perubahan konteks sosial budaya masyarakatnya.

Ketiga konsep di atas niscaya kita gunakan dalam pembacaan terhadap teks-teks Al Quran, sehingga kita tidak terjebak pada pemberhalaan terhadap teks ('abadat an-nushus).

Comments :

0 komentar to “Ramadhan, Lailatul Qadar dan Penjelajahan Kitab Suci”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com