Oleh : Ibnu Syeirozi
(AlumnusUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
(AlumnusUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Sebagian orang menganggap, syariat adalah nama lain dari fiqh (banyak orang menyebutnya hukum Islam). Persamaan ini menjurus pada pemutlakan terhadap fiqh. Pandangan ini mengandaikan fiqh sebagai hukum Islam atau hukum Tuhan yang pasti benar sehingga tidak perlu lagi ijtihad dan pemahaman baru. Padahal sesungguhnya fiqh hanyalah salah satu hasil penafsiran manusia terhadap hukum-hukum yang telah digariskan Allah.
Sebagai produk oleh pikir manusia biasa yang ahli ilmu hukum (fuqaha'), fiqh berbeda dengan syariat Allah yang dalam arti aslinya adalah wahyu murni yang berada di luar jangkauan manusia. Maka mesti diluruskan untuk diletakkan pada masing-masing posisinya.
Islam adalah akidah dan syariat, demikian ungkap Mahmud Syaltut dalam Al-Islamu Aqidatun wa Syaria'tun (1966: 11). Ia menulis, Islam memiliki dua aspek fundamental yakni akidah dan syariat yang mesti dipelajari, dipahami, diresapi, dan kemudian diwujudkan dalam perilaku.
Menurut Syaltut, akidah adalah sebuah rumusan baku yang menuntut keyakinan seseorang kepada konsep itu tanpa sedikit pun ragu. Salah satu ciri khas akidah adalah sejumlah dalil yang secara gamblang menerangkannya. Qul huwallahu ahad (Qs. Al-Ikhlas: 1) yang bermakna Allah itu esa, adalah contoh dalil akidah. Segenap umat harus meyakini bahwa Allah itu satu, tiada Tuhan selain Dia.
Sementara, syariat dalam pandangan Syaltut ialah seperangkat aturan atau fondasi (ushul) yang telah digariskan Allah untuk umat manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia (muslim/non muslim), serta dengan alam sekitar. Pendek kata, syariat adalah aturan yang mengatur hubungan hamba dengan Allah, dan manusia dengan makhluk lainnya (Ibid.: 12).
Seperangkat landasan hukum atau aturan yang telah ditentukan Allah tersebut, lantas dibebankan kepada kaum muslim agar mereka dapat menempatkan diri secara baik di hadapan Allah dan sesama. Karenanya, syariat berpusat pada dua aspek; ibadat sebagai praksis manusia untuk menghambakan diri dan menambah keyakinan kepada Tuhannya; dan mu'amalah sebagai praktik interaksi sosial
Fiqh umumnya didefinisikan sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syar'iy dari tindakan-tindakan manusia berdasarkan dalil-dalil yang digali dan diproses (lebih tepatnya di-istinbath-kan) dari al Quran dan hadits, melalui kesepakatan ulama (ijma’) dan qiyas (analogi dalil khusus ke umum). Obyek utama ilmu ini adalah tingkah polah manusia.
Fiqh atau oleh banyak orang disebut hukum Islam, merupakan hasil karya ulama sebagai penafsiran terhadap syariat (hukum) Allah. Seorang ulama bisa dipengaruhi faktor-faktor manusiawi yang lepas dari kesucian wahyu. Oleh karena itu, faktor sosial, politik, budaya, dan emosi yang melingkupi diri ulama sangat memengaruhi hasil pemahaman dan interpretasinya terhadap syariat Tuhan itu. Maka wajar jika hasil pemikiran ahli fiqh kerap berbeda satu sama lain.
Tentu ini sangat berbeda dengan syariat yang sakral, abadi, dan tidak berubah-ubah dalam tiap ruang dan waktu. Pendek kata, mengutip Qodri Azizi (2002: 56), terdapat banyak perbedaan mendasar antara syariat dengan fiqh yakni sebagai berikut:
a) Syaria't identik dengan wahyu Allah; fiqh adalah produk mujtahid. b) Syariat mengandung kebenaran mutlak, fiqh mengandung kebenaran relatif/dhanni. c) Syariat adalah sasaran untuk dipahami dalam rangka dipraktikkan; fiqh adalah proses atau upaya memahami untuk kemudian mempraktikkannya. d) Syariat tidak akan berubah; fiqh akan berubah sesuai dengan perubahan lingkungan dan faktor sosial budaya. e) Syariat dirumuskan oleh Allah; perumusan fiqh oleh manusia biasa yang memiliki kemampuan memadai untuk menafsir dan memahami syariat. f) Syariat meliputi semua aspek kehidupan manusia; fiqh hanya yang berkaitan dengan hukum atau setidaknya hal-hal selain aqidah dan akhlaq. g) Syariat adalah istilah yang dipakai sejak masa awal zaman Nabi masih hidup; fiqh sebagai hasil ijtihad yang penggunaannya mulai dipraktikkan para ulama pada sekitar abad kedua hijriyah (Nabi tidak biasa menggunakan istilah fiqh untuk pengertian hukum).
Kesimpulannya, fiqh adalah hasil ijtihad manusia terhadap Al-Qur'an dan hadits dengan segenap metodenya, bukan syariat yang menjadi substansi al Quran dan sunnah. Maka sakralisasi fiqh dalam hemat saya merupakan tindakan yang sangat tidak tepat. Untuk itu perlu ikhtiar tanpa henti untuk terus menggali tafsir-tafsir syariat tanpa perlu ketakutan akan salah dan terjerumus dalam kesesatan.
Menilik fenomena mutakhir, fatwa-fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) terhadap pelbagai persoalan, seperti pengharaman golput dalam Pemilu dan sebagainya, adalah fiqh, bukan hukum Tuhan. Maka kita berhak untuk berbeda
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih