Skil Berkomunikasi Harus Diprioritaskan


Kurikulum pendidikan dasar tahun 2006 menetapkan bahasa Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal yang bersifat wajib bagi semua siswa kelas I hingga kelas VI Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Alokasi waktu yang diperlukan adalah 2 jam pelajaran.
Di sisi lain, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) juga memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengusulkan sekolah dasar unggulan, agar bisa mengikuti program rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Di RSBI, bahasa Inggris digunakan sebagai bahasa pengantar dalam empat mata pelajaran.
Kritik muncul dari ahli pendidikan Satria Dharma yang juga Direktur CBE (The Centre for the Betterment of Education) Jakarta. Dalam acara diskusi "Bedah Program Sekolah Bertaraf Internasional" di Unesa, 1 September 2007, ia mengkritik kebijakan RSBI. Termasuk penerapan bahasa Inggris sebagai medium of instruction.
Satria mencontohkan beberapa negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dan lain-lain yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka bertaraf internasional.
Sebab yang terpenting ialah kurikulumnya yang harus berstandar internasional (tidak
di bawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju). Penguatan kemampuan bahasa Inggris bisa dilakukan dengan memberikan pelatihan terus menerus kepada guru-guru yang terbebani untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris.
Pertanyaan kritis lain, apakah kebijakan tersebut tidak membebani anak didik, baik secara intelektual maupun psikis, yang masih dalam usia perkembangan?
Untuk membicarakan hal ini, Al Madinah pada 05/11/09, menemui Nur Ainy Fardana, S.Psi. M.Si, pengajar psikologi kognitif Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Ketua Pusat Terapan Psikologi Pendidikan Fak. Psikologi Unair.
Demikian petikan perbincangan tersebut.
Sekarang mulai bermunculan sekolah dasar bertaraf internasional yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Ada juga Presiden Direktur salah satu TV swasta yang mewajibkan anaknya mengikuti kursus bahasa Inggris sejak duduk di bangku TK. Apakah hal ini tidak membebani anak?
Masa anak merupakan usia krusial untuk menyerap berbagai perkembangan psikomotorik, kognitif, maupun emosional. Hanya saja dalam konteks di atas seharusnya yang dilakukan pertama adalah logika bahasa, yakni suatu tatanan di mana anak mampu mengutarakan maksud kepada orang lain.
Untuk itu penguasaan bahasa ibu, baik itu bahasa daerah ataupun bahasa nasional yang biasa digunakan oleh lingkungan sosialnya, harus didahulukan. Karena itu kemampuan komunikasi awal supaya anak bisa membangun perkembangan sosialnya. Nah bahasa asing sebagai bahasa kedua alangkah lebih bagusnya diberikan ketika anak tersebut sudah menguasai bahasa ibunya.
Kalau itu belum sempurna dikuasai oleh anak, dan bahasa asing sudah diajarkan, maka bisa merusak kemampuan bahasa yang dimiliki sebelumnya, kecuali mereka memang berada di lingkungan dwibahasa. Semisal di rumah ia menggunakan bahasa asing atau hidup di luar negeri yang mana lingkungannya menggunakan bahasa itu.
Nah seperti SDBI terkesan ada pemaksaan labelling. Mungkin karena gengsi. Terlepas dari itu kemampuan komunikasi merupakan hal utama. Kerapkali anak susah mengutarakan maksudnya agar dipahami oleh orang lain. Jika tidak setuju ia hanya menggunakan bahasa tubuhnya dengan membanting benda yang ada di dekatnya. Karena memang tidak dilatih untuk mengekspresikan suasana hatinya dalam ujarana bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Nah kalau kita lihat anak-anak di negara lain mampu berargumentasi, berdebat, dan mengutarakan pemikirannya menggunakan bahasa baku, karena kemampuan komunikasinya didahulukan. Menurut saya itu yang lebih urgen daripada kemampuan berbahasa asing.
Menurut Dr. Bambang Kaswanti Purwo, usia 6-12 tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk menguasai bahasa selain bahasa ibu, tanggapan Anda?
Ada fakta dari Amerika Latin, justru semakin tua mereka mampu menguasai bahasa asing. Karena otak memang plastis. Dan tidak khawatir, orang dewasa pun bisa menguasai bahasa asing asal dia terus menerus dipaparkan dengan bahasa itu.
Kalau kita ngomong fakta lain, kita ini memeroleh pelajaran bahasa Inggris sejak tingkat SMP hingga perguruan tinggi. Namun ternyata, studi kasus saya sendiri, tidak terlalu pintar berbahasa Inggris. Taruhlah, anak sekarang sudah mendapatkan bahasa Inggris sejak SD. Tidak ada jaminan mereka akan mahir menggunakan bahasa itu. Bisa jadi justru kemampuan bahasa Indonesia mereka rendah, bahasa asingnya juga, logika bahasa juga tidak terbentuk secara utuh.
Ketika anak merasa terbebani dalam proses mempelajari dua bahasa, bagaimana dampaknya pada anak?
Apa pun namanya, jika sudah ada unsur pemaksaan maka akan menimbulkan hal negatif. Karena otak dan fisik manusia itu punya keterbatasan. Ketika orang lelah, otomatis daya konsentrasi dan kemampuan memorinya menurun. Sekolah yang memberlakukan sistem full day, kemampuan berbahasa asing juga ditekankan, itu sah-sah saja asal dilakukan dengan cara yang menyenangkan atau joyful learning.
Tapi kalau sekolah mematok target penguasaan materi pelajaran, kemudian diberi PR, sekolah tidak memberi jam istirahat yang cukup, asupan makanannya juga terbatas, itulah yang akan memicu problem kelelahan lahir batin. Jadilah anak lebih sensitif, mudah marah, depresi dan mungkin juga pada titik tertentu akan menolak sekolah, karena sekolah tidak nyaman.
Atau mungkin juga ketika anak masih berada di suatu sistem, di mana mereka tidak memiliki nilai tawar hingga menerima begitu saja, ketika keluar dari sistem, mereka akan mencari kompensasinya dengan tindakan yang kontraproduktif.
Seperti yang saya tahu, anak yang masuk kelas akselerasi dengan sistematika belajar yang sangat tertib dan padat, ketika mereka tidak berada di kelas itu, jadi malas belajar karena merasa tidak ada tugas. Jadi motivasi itu tidak dimunculkan oleh diri sendiri tetapi dibentuk oleh lingkungan. Ketika lingkungan tidak memberikan situasi yang kondusif, anak kurang temotivasi. Kondisi seperti ini harus dicermati.
Ada kasus di mana anak sejak kecil diajari berbahasa Inggris oleh orangtuanya, tetapi ketika bergaul dengan rekannya yang tidak menggunakan bahasa Inggris, anak tersebut kelihatan linglung, menurut Anda, apa penyebabnya?
Pertama, anak itu bingung dalam penalaran bahasa, sebab itu berkaitan dengan penalaran berpikir abstrak. Maka ketika harus berkomunikasi dengan lingkungan yang tidak ia pahami, ia juga kebingungan. Saya pernah menjumpai keluarga di mana anaknya disekolahkan di TK yang menggunakan bahasa Inggris.
Ketika ibunya melihat si anak tidak nyambung ketika diajak berkomunikasi oleh perawatnya bahkan dirinya sendiri, sang ibu lantas memutuskan agar anaknya dipindah ke sekolah umum yang menggunakan bahasa Indonesia. Itulah akibatnya ketika yang dipelajari tidak sesuai dengan lingkungan yang dihadapi. Silakan anak diajari bahasa asing, tetapi ia harus menguasai dulu bahasa ibunya.
Bagaimana metode pengajaran bahasa asing kepada anak yang tidak membebaninya?
Kemampuan menguasai bahasa dilakukan dengan mendengar, berbicara, membaca, dan baru menulis. Itulah tahapannya. Kalaupun kita harus memberikan kemampuan bahasa asing pada anak, maka cukup memperdengarkan kepada mereka ucapan-ucapan berbahasa asing, seperti lagu. Karena kepekaan awal kali terlatih dengan itu.
Jika ia sudah memahami, secara otomatis akan menirukan suara-suara itu, dan akan bertanya apa artinya. Maka orangtua tidak perlu mengajarkan grammar kepada anaknya saat itu. Biarkan anak memproduksi arus ujaran bahasa asing ketika sudah mendengarkannya dalam frekuensi yang berulang. (Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Skil Berkomunikasi Harus Diprioritaskan”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com