Haram Putuskan Silaturahmi!

Oleh: dr. H. Muhammad Thohir, Sp.Kj


Ketika dimintai petuah tentang persoalan yang agak pelik, sebenarnya saya sedikit risau. Hati saya bertanya-tanya, apakah wejangan atau solusi yang saya tawarkan sungguh bisa menyelesaikan permasalahan orang yang terdera masalah, atau malah terlalu teoretis hingga susah terlaksana?

Saya berpatokan, apa pun problem kehidupan yang menghampar, jika dihadapi dengan paradigma sehat maka akan cepat selesai dan membawa rahmat. Sebaliknya jika menggunakan paradigma sakit yang mengedepankan egoisme, subyektivitas, irasionalitas, dan nonrealistis, maka persoalan yang awalnya mudah menjadi rumit.

Soal perbedaan porsi pembagian warisan bisa menyebabkan tali keluarga terputus, jika kedua belah pihak atau setidaknya salah satu pihak menganut paradigma sakit. Anehnya, ada beberapa orang yang lebih memilih sikap tersebut dengan alasan gengsi dan harga diri. Padahal memutus tali silaturahmi adalah dosa besar (Q.S. 2:27, 13:25, 47:23, 50:25).

Saya menjumpai kasus perebutan warisan antarsaudara seayah yang membuat hubungan kekeluargaan terputus. Seorang pria memiliki dua istri. Istri pertama dan kedua masing-masing melahirkan 3 anak. Persoalan muncul ketika ia meninggal. Karena memiliki kekayaan cukup berlimpah, otomatis meninggalkan warisan banyak.

Ketika dibagi, anak-anak dari istri keduanya tidak bisa menerima porsi yang disamaratakan. Dalam versi mereka, harusnya mereka mendapatkan jatah lebih banyak. Sebab ketika sakit, lelaki ini dirawat oleh mereka di rumah istri keduanya dan seluruh biaya pengobatan selama beberapa tahun juga mereka tanggung.

Di lain pihak, anak-anak dari istri pertama bersikeras memertahankan haknya, karena beranggapan bahwa seluruh biaya pengobatan diambilkan dari harta milik lelaki itu sendiri. Konflik pun mengeras hingga tali silaturahmi antarsaudara seayah merenggang (lebih tepatnya putus), bahkan merembet hingga antarcucu.

Untung ada salah satu cucu, seorang mahasiswi yang enggan terlibat perseteruan. Ia tetap berupaya menjalin silaturahmi dengan paman/bibi dari saudara seayahnya ibu dan anak-anaknya alias saudara sepupu beda nenek.

Sayangnya, pihak paman/bibi dan saudara sepupu terus menjauh, bahkan malah kerap mengiriminya SMS yang memojokkan. Belum lagi orangtua gadis ini pun tampak melarangnya untuk berhubungan dengan mereka. Kendati demikian ia bertekad menjadi penengah atas konflik namun kebingungan langkah-langkah solutifnya.

Kembali pada Norma Agama

Orang yang menganut paradigma sehat, selain mendahulukan rasionalitas, obyektivitas, dan realistis saat menghadapi permasalahan, juga sikap sabar dan pasrah. Nah dalam kasus di atas terlihat kedua belah pihak menggunakan paradigma sakit hingga lupa akan hukum waris dan norma agama, padahal jelas hal itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Persoalan warisan bisa diselesaikan melalui pengadilan jika timbul sengketa, dan memasrahkan bagaimana keputusannya. Namun sebelum melimpahkan perkara, harus dicamkan dalam hati bahwa pengadilan bukan arena pertandingan, dan diniati demi mengetahui yang semestinya menurut hukum agama.

Karenanya, gadis mahasiswi yang masih “sehat” tersebut mesti tetap bersikap baik walaupun pihak paman/bibi dan sepupunya ingin memutus, agar bisa menarik semua pihak yang bersengketa kepada norma agama. Apa pun yang terjadi soal waris, hubungan keluarga haram terputus. Intinya si gadis harus tetap membalas racun dengan madu, dan duri dengan bunga.

Adapun langkah yang bisa ditempuh ialah dengan mengajak beberapa anggota keluarga yang masih netral untuk memengaruhi orang-orang yang larut dalam perseteruan.

Seumpama pengadilan nanti memutuskan bahwa pihak yang satu memeroleh porsi lebih besar dibanding pihak keluarga lain¸ alangkah indahnya jika yang satu berkenan menyisihkan sedikit jatahnya untuk menambahi pihak lain. Bukankah salah satu kriteria jiwa sehat ialah lebih suka memberi daripada menerima?

Toh waris adalah rezeki “tiban” sebab bukan hasil usaha sendiri. Karena itu tugas pertama si gadis ialah merayu orangtuanya untuk mau sedikit berbagi kepada saudara seayahnya. Insya Allah dengan itu, secara perlahan hati nurani si paman/bibi yang terhijab bisa terbuka.

Comments :

0 komentar to “Haram Putuskan Silaturahmi!”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com