Oleh: Ahmad Subakir, M.Ag.
(Pengajar di STAIN Kediri)
Sejarah mencatat, pendidikan mampu mengubah masyarakat terbelakang menjadi umat terbaik. Menurut Noer Aly (1999: 27), hal ini terwujud karena pendidikan Islam terpadu dalam pendidikan ruhiyah (rohani), fikriyah (pemahaman/pemikiran) dan amaliyah (aktivitas).
Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Ibn Rusn (1998: 56-58), menyatakan, pendidikan memiliki tujuan jangka panjang dan pendek. Tujuan panjangnya ialah pendekatan diri kepada Allah. Artinya seluruh proses pendidikan harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Sementara maksud jangka pendek ialah tercapainya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya.
Ada empat tujuan pendidikan menurut al-Ghazali yaitu; Mendekatkan diri kepada Allah yakni terciptanya kesadaran dan kemampuan beribadah; Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia; Profesionalisasi individu untuk mengemban tugas keduniaan; Membentuk manusia yang berakhlak mulia dan suci jiwanya; Mengembangkan sifat-sifat utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Dari rumusan pendidikan di atas, tampak bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki tujuan pembinaan individu dan sosial. Dua elemen tersebut akan menjadi penyokong tegaknya sebuah peradaban besar yang dilahirkan individu-individu berkualitas, berakhlak, dan berdedikasi.
Islam dan Hak Pendidikan Anak
Dalam Islam setiap anak berhak mendapat pendidikan, dan orang tua berkewajiban untuk mewujudkan maksud tersebut. “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R.Bukhari & Muslim). Maka tugas orang tua ialah mendidik anaknya sehingga potensi-potensi yang baik (fitrah) dalam diri anak bisa berkembang.
Tema besar pendidikan secara implisit dapat dipahami dari wahyu pertama diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas kependidikan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahui.” (Al-‘Alaq : 1–5).
Bertolak dari semangat itu, Muhammad Saw mulai melaksanakan tugas sebagai pendidik dari lingkungan keluarga, kemudian melebar ke wilayah sosial yang lebih luas. Mahmud Yunus, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menulis, pendidikan Islam pada fase itu meliputi empat hal:
Pendidikan kegamaan, yaitu menuhankan Allah semata, jangan dipersekutukan dengan berhala; Pendidikan aqliyah dan ilmiah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan peristiwa alam semesta; Pendidikan akhlak dan budi pekerti agar berkelakuan baik sesuai dengan ajaran tauhid; Pendidikan jasmani (kesehatan) yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan kediaman.
Empat fase pendidikan di atas sesuai semangat zaman saat itu yakni penanaman keimanan dan akhlak. Pada perkembangan berikutnya Muhammad Saw menganjurkan umatnya agar membekali diri dengan bermacam pengetahuan, “Ajarilah anak-anakmu dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berlainan dengan hal-hal yang pernah diajarkan kepadamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan masamu” (M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, hlm. 48).
Perubahan zaman mengharuskan umat untuk membekali diri dengan segala keterampilan yang dibutuhkan pada zamannya. Keahlian dalam satu hal belum tentu relevan pada masa yang lain. Islam senantiasa menganut prinsip keseimbangan, keterkaitan, dan kesesuaian dalam mendidik anak. Maka selain mengajarkan ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada kemampuan ilmiah, juga diberikan keahlian praktis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dulu kita mengenal sistem pendidikan surau yang diselenggarakan di mushala) karena saat itu telah cukup memadai. Surau lantas menjelma menjadi pesantren. Pesantren berkembang menjadi berbagai tipe; salaf, modern, dan plus. Ada pula madrasah bertaraf internasional, pendidikan terintegrasi. Semuanya adalah ijtihad ahli pendidikan. Tujuannya sama namun metode responnya atas tuntutan zaman berbeda.
Pola Pendidikan Islam dengan demikian tidak stagnan dan antiperubahan. Pasalnya, pendidikan Islam harus mempersiapkan umatnya berperan sebagai khalifah fi al ardhi dan menebarkan rahmat bagi seluruh makhluk.
Kalau diperhatikan, kedua sumber ajaran Islam—Alquran maupun Sunnah—banyak mengemukakan fenomena alam dan sosial yang masih belum terungkap. Hal ini menantang umat Islam untuk terus belajar dan giat melakukan pengkajian hingga sanggup melahirkan ilmu-ilmu baru sebagai hasil penafsiran terhadap Alquran dan sunnah.
Islam mengajarkan alam dan realita. Umat mengamati realita tersebut dengan akal, kontemplasi, maupun intuisi. Usaha ini dalam perkembangan intelektual Islam melahirkan pelbagai displin ilmu, seperti filsafat, kedokteran, kimia, astronomi, fisika, teknik, dan sebagainya.
Jelas bahwa dalam Islam, ilmu berada posisi terhormat. Untuk memahami ilmu, manusia dituntut belajar melalui proses pendidikan. Maka pendidikan dalam Islam sangat utama dan penting bagi kehidupan manusia. Rasulullah berhasil mengubah peradaban jahiliyah melalui pendidikan, masa-masa keemasan peradaban dan kebudayaan Islam pun tercapai melalui pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan capaian peradaban besar.
Orang tua tentu memiliki peran sangat besar untuk mendidik atau memilih lembaga pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya, sehingga potensi mereka terus terasah. Peranan orang tua dimulai dalam keluarga karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga. Pendidikan keluarga merupakan fondasi utama sebab berpengaruh besar terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya.
Keluarga berperan penting dalam meletakkan pengetahuan dasar keagamaan kepada anak. Untuk melaksanakan hal itu, terdapat cara-cara praktis untuk menumbuhkan semangat keagamaan pada anak, yaitu :
(a) Memberikan teladan yang baik tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama, (b) Membiasakan mereka melaksanakan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaaan yang mendarah daging, dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri serta merasa tenteram sebab melaksanakannya, (c) Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang enjoy baik di rumah atau di mana, (d) Membimbing anak gemar bacaan-bacaan agama, serta memikirkan makhluk-makhluk-nya sebagai bukti atas wujud dan keagungan-Nya, (e) Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas keagamaan dalam berbagai bentuk dan cara (Hasan Langgulung, 1995).
Tanpa dukungan dan keterlibatan keluarga, sulit mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga sangat mendukung keberhasilan pendidikan anak pada tahap berikutnya. Dan terlahirnya peradaban besar juga bermula dari keluarga.
Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Ibn Rusn (1998: 56-58), menyatakan, pendidikan memiliki tujuan jangka panjang dan pendek. Tujuan panjangnya ialah pendekatan diri kepada Allah. Artinya seluruh proses pendidikan harus mengarahkan manusia menuju pengenalan dan pendekatan diri kepada Tuhan. Sementara maksud jangka pendek ialah tercapainya profesi manusia sesuai bakat dan kemampuannya.
Ada empat tujuan pendidikan menurut al-Ghazali yaitu; Mendekatkan diri kepada Allah yakni terciptanya kesadaran dan kemampuan beribadah; Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia; Profesionalisasi individu untuk mengemban tugas keduniaan; Membentuk manusia yang berakhlak mulia dan suci jiwanya; Mengembangkan sifat-sifat utama, sehingga menjadi manusia yang manusiawi.
Dari rumusan pendidikan di atas, tampak bahwa tujuan pendidikan Islam memiliki tujuan pembinaan individu dan sosial. Dua elemen tersebut akan menjadi penyokong tegaknya sebuah peradaban besar yang dilahirkan individu-individu berkualitas, berakhlak, dan berdedikasi.
Islam dan Hak Pendidikan Anak
Dalam Islam setiap anak berhak mendapat pendidikan, dan orang tua berkewajiban untuk mewujudkan maksud tersebut. “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikan anak sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (H.R.Bukhari & Muslim). Maka tugas orang tua ialah mendidik anaknya sehingga potensi-potensi yang baik (fitrah) dalam diri anak bisa berkembang.
Tema besar pendidikan secara implisit dapat dipahami dari wahyu pertama diturunkan kepada Nabi sebagai spirit terhadap tugas kependidikan. “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari gumpalan darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahui.” (Al-‘Alaq : 1–5).
Bertolak dari semangat itu, Muhammad Saw mulai melaksanakan tugas sebagai pendidik dari lingkungan keluarga, kemudian melebar ke wilayah sosial yang lebih luas. Mahmud Yunus, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menulis, pendidikan Islam pada fase itu meliputi empat hal:
Pendidikan kegamaan, yaitu menuhankan Allah semata, jangan dipersekutukan dengan berhala; Pendidikan aqliyah dan ilmiah yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan peristiwa alam semesta; Pendidikan akhlak dan budi pekerti agar berkelakuan baik sesuai dengan ajaran tauhid; Pendidikan jasmani (kesehatan) yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan, dan kediaman.
Empat fase pendidikan di atas sesuai semangat zaman saat itu yakni penanaman keimanan dan akhlak. Pada perkembangan berikutnya Muhammad Saw menganjurkan umatnya agar membekali diri dengan bermacam pengetahuan, “Ajarilah anak-anakmu dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berlainan dengan hal-hal yang pernah diajarkan kepadamu, karena mereka diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan masamu” (M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan, hlm. 48).
Perubahan zaman mengharuskan umat untuk membekali diri dengan segala keterampilan yang dibutuhkan pada zamannya. Keahlian dalam satu hal belum tentu relevan pada masa yang lain. Islam senantiasa menganut prinsip keseimbangan, keterkaitan, dan kesesuaian dalam mendidik anak. Maka selain mengajarkan ilmu pengetahuan yang berorientasi kepada kemampuan ilmiah, juga diberikan keahlian praktis sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman.
Dulu kita mengenal sistem pendidikan surau yang diselenggarakan di mushala) karena saat itu telah cukup memadai. Surau lantas menjelma menjadi pesantren. Pesantren berkembang menjadi berbagai tipe; salaf, modern, dan plus. Ada pula madrasah bertaraf internasional, pendidikan terintegrasi. Semuanya adalah ijtihad ahli pendidikan. Tujuannya sama namun metode responnya atas tuntutan zaman berbeda.
Pola Pendidikan Islam dengan demikian tidak stagnan dan antiperubahan. Pasalnya, pendidikan Islam harus mempersiapkan umatnya berperan sebagai khalifah fi al ardhi dan menebarkan rahmat bagi seluruh makhluk.
Kalau diperhatikan, kedua sumber ajaran Islam—Alquran maupun Sunnah—banyak mengemukakan fenomena alam dan sosial yang masih belum terungkap. Hal ini menantang umat Islam untuk terus belajar dan giat melakukan pengkajian hingga sanggup melahirkan ilmu-ilmu baru sebagai hasil penafsiran terhadap Alquran dan sunnah.
Islam mengajarkan alam dan realita. Umat mengamati realita tersebut dengan akal, kontemplasi, maupun intuisi. Usaha ini dalam perkembangan intelektual Islam melahirkan pelbagai displin ilmu, seperti filsafat, kedokteran, kimia, astronomi, fisika, teknik, dan sebagainya.
Jelas bahwa dalam Islam, ilmu berada posisi terhormat. Untuk memahami ilmu, manusia dituntut belajar melalui proses pendidikan. Maka pendidikan dalam Islam sangat utama dan penting bagi kehidupan manusia. Rasulullah berhasil mengubah peradaban jahiliyah melalui pendidikan, masa-masa keemasan peradaban dan kebudayaan Islam pun tercapai melalui pendidikan. Pendidikan yang baik akan melahirkan capaian peradaban besar.
Orang tua tentu memiliki peran sangat besar untuk mendidik atau memilih lembaga pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya, sehingga potensi mereka terus terasah. Peranan orang tua dimulai dalam keluarga karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga. Pendidikan keluarga merupakan fondasi utama sebab berpengaruh besar terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya.
Keluarga berperan penting dalam meletakkan pengetahuan dasar keagamaan kepada anak. Untuk melaksanakan hal itu, terdapat cara-cara praktis untuk menumbuhkan semangat keagamaan pada anak, yaitu :
(a) Memberikan teladan yang baik tentang kekuatan iman kepada Allah dan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran agama, (b) Membiasakan mereka melaksanakan syiar-syiar agama semenjak kecil sehingga pelaksanaan itu menjadi kebiasaaan yang mendarah daging, dan mereka melakukannya dengan kemauan sendiri serta merasa tenteram sebab melaksanakannya, (c) Menyiapkan suasana agama dan spiritual yang enjoy baik di rumah atau di mana, (d) Membimbing anak gemar bacaan-bacaan agama, serta memikirkan makhluk-makhluk-nya sebagai bukti atas wujud dan keagungan-Nya, (e) Menggalakkan mereka turut serta dalam aktivitas-aktivitas keagamaan dalam berbagai bentuk dan cara (Hasan Langgulung, 1995).
Tanpa dukungan dan keterlibatan keluarga, sulit mewujudkan pendidikan yang baik bagi anak-anak. Keberhasilan pendidikan dalam keluarga sangat mendukung keberhasilan pendidikan anak pada tahap berikutnya. Dan terlahirnya peradaban besar juga bermula dari keluarga.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih