Plus Minus Pesantren


“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan sejati hanyalah milik Tuhan,” inilah prinsip kehidupan yang tak pernah lekang oleh zaman. Karena itu tak seorang pun berhak mengklaim dirinya, kelompoknya, dan karyanya sebagai yang terbaik dan paling benar di kolong jagad raya.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan berbasis agama adalah hasil cipta karya manusia. Karena itu segala tipe pesantren, baik model salaf yang hanya mengajarkan kitab-kitab klasik, maupun khalaf yang sudah memerkenalkan pengetahuan modern dan mengikuti kurikulum Negara, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Secara umum, Imam Bawani, penulis beberapa buku seputar pendidikan, berpandangan bahwa pesantren adalah konsep ideal sistem pendidikan. Pada masa kejayaan peraadaban Islam, semua pelajar dibiayai oleh negara dan diasramakan untuk menyempurnakan pembelajaran. “Kalau pendidikan Islam mau tuntas, tidak mungkin terwujud tanpa asrama. Apalagi zaman sekarang, anak-anak harus bergelantungan di bis, terkena macet. Berapa energi yang terbuang? Kalau dipakai untuk membaca buku tentu terlahap banyak halaman,” kata Imam berargumen.

Selain pendalaman intelektual, pesantren adalah ruang pembentukan karakter dan kepribadian Islami. Menurut Hanun Asrohah, di pesantren atau sekolah berasrama, aspek-aspek tertentu dari potensi siswa yang tidak tersentuh di sekolah non asrama, dapat dikembangkan lebih menyeluruh. “Secara pribadi anak lebih mandiri, secara sosial mereka lebih kaya sebab bergaul dengan kawan yang beragam, secara spiritual terolah dengan pelbagai aktivitas ruhaniah, dan moralitas lebih terjaga” terang penulis buku Pesantren di Jawa: Asal Usul Perkembangan dan Pelembagaannya.

Persoalan moral adalah alasan yang paling kerap muncul dari orang tua saat memondokkan anaknya. Demikian pula dengan Ratna Ellyawati yang mengirimkan putri tunggalnya, Sarah, ke pesantren sejak lulus SD. Ia mengungkapkan beberapa sisi positif pesantren.

“Pertama, lingkungan pesantren mematok nilai-nilai yang baku dalam hal pengendalian hubungan lawan jenis yang sangat kritis di usia remaja. Kedua, fasilitas elektronik seperti TV tidak tersedia, sehingga anak terisolasi dari peniruan terhadap idola. Anda bisa melihat perilaku tokoh-tokoh yang diidolakan. Artis, busana seperti itu, kelakuan juga, apa secara moral religi bisa dijadikan panutan? Nah, di pesantren imitasi negatif otomatis terkurangi atau relatif terkendali.”

Selain sisi positif, Ratna yang seorang konselor, juga tidak memungkiri adanya sisi lemah memondokkan anak di pesantren. “Hubungan anak dengan kawannya kan menyangkut nilai dan aturan. Nah saya tidak bisa menjangkau itu. Contoh kecil, keluarga saya menerapkan aturan tidak boleh memakai milik teman. Namun pada saat di pondok, anak sulit melakukan itu. Karena kondisi, dia terpaksa harus pinjam. Akhirnya dia tidak bisa memegang erat nilai keluarganya. Nah kebiasaan seperti itu terkadang sulit dibenahi,” urai Ratna panjang lebar.

Srisiuni, sarjana psikologi Ubaya, tidak terlalu suka dengan sistem pendidikan asrama. Sebab baginya, orang tua adalah pendidik terbaik. Meski demikian ia masih berpandangan positif.

Dalam hematnya, setiap pengasuh dan pengajar di pesantren anak harus menampilkan diri sebagai sosok yang dikagumi dan memberikan rasa aman pada anak. “Maka mereka harus betul-betul cinta anak, itu modal dasar. Orang cinta anak itu langsung lengket dan bisa dekat dengan si kecil. Namun ada pula orang yang melihatnya sekilas saja anak langsung takut,” tandas Srisiuni yang ditemui Al Madinah pada 08/06/2009.

Setelah memiliki perasaan cinta anak, pengasuh juga harus mengerti perkembangan psikis anak dan keunikan masing-masing individu. Perempuan asli Surabaya itu mengemukakan tiga temperamen anak dalam psikologi yaitu anak yang mudah (easy child), susah (difficult child), lambat hangat (slow to warm up).

Anak yang mudah, di lingkungan apa pun dia cepat beradaptasi. Yang tipe sulit, susah bergaul dan mencocokkan diri dengan lingkungan. Kalau pun dipaksakan mungkin dia patuh, tetapi beranjak remaja, dia rawan jadi pemberontak. Sedangkan tipe ketiga, lama bisa menyesuaikan, tetapi lama kelamaan akan bersikap luwes. “Nah setiap anak harus diperlakukan sebagai subyek unik yang tidak bisa disamakan,” tegasnya.

Apakah pesantren-pesantren anak yang ada, sudah melakukan itu?

Comments :

0 komentar to “Plus Minus Pesantren”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com