Mengajarkan Jihad Sejak Dini

Jangan sekalipun Anda membayangkan jihad di sini sebagaimana yang banyak diteriakkan oleh para terpidana kasus terorisme. Sama sekali tak ada kaitannya dengan pengeboman tempat-tempat tertentu.
Karena, seperti berulangkali ditegaskan oleh para ulama, pemaknaan jihad sebagai penyerangan terhadap kelompok lain yang dianggap kafir adalah tafsir yang salah dan menyesatkan. Karena itu, pemakanaan jihad yang benar harus ditanamkan sejak usia dini kepada generasi bangsa.
Pada edisi ini, Shahnaz Haque, duta anak PBB, hendak berbagi informasi seputar cara mengajarkan jihad (dengan arti membangun mentalitas pantang menyerah dalam kebaikan) kepada anak. Memang tidak mudah, akan tetapi juga tidak sulit dilakukan. Tentu dengan kesabaran dan kesadaran mendalam dari para orangtua. Berikut hasil petikan wawancara SR Jannah dari Al Madinah melalui surat elektronik dengan istri dari drummer terkenal Gilang Ramadhan itu.

Generasi muslim dinilai oleh banyak kalangan, gagap dan tidak tanggap terhadap perubahan zaman tanpa hanyut di dalamnya. Buktinya, jihad dakwah dan jihad pendidikan tak mampu menopang penyiapan generasi yang mumpuni sesuai nasehat Ali Bin Abi Thalib R.a, “Jangan paksakan anakmu untuk menjadi seperti kamu, karena dia diciptakan bukan untuk zaman kamu.” Akibatnya sudah kita rasakan, jihad banyak dimaknai oleh sebagian putra bangsa sebagai bom bunuh diri, seperti terjadi belakangan ini. Bagaimana Anda menjelaskan fenomena?
Hidup bukan hidup kalau datar-datar saja, atau senang-senang saja. Sabda Allah dalam Al Quran dan mungkin juga ada dalam kitab suci agama lain bahwa akan Aku gilir-gilirkan hari ini di antara kamu.
Nah, ada saja yang mungkin terjadi dalam kehidupan kita yang membuat kita berada dalam situasi krisis, misalnya bencana terhadap pemahaman jihad anak-anak muslim, hingga sekarang marak terjadi bom bunuh diri.
Coba ditengok lebih cerdas. Anak-anak yang terbawa dalam kelompok itu ialah mereka yang sering mengalami bencana dalam rumah sendiri. Hal itu membuat mereka berada dalam situasi krisis, sebab melihat orangtuanya tidak memahami mereka. Perseteruan yang tidak terselesaikan di rumah dan segudang masalah lainnya, berakibat fatal.
Jarang kita melihat, anak yang tahu bahwa di rumahnya hangat, dia mencari cinta di luar rumah. Jadi yang harus dibetulkan bukan pelajaran agamanya dulu! Tapi ilmu parenting di keluarga, ilmu komunikasi antara orangtua dan buah hati. Komunikasi yang benar bukan dalam bentuk perintah satu arah dari orangtua kepada anak. Tidak masuk akal bukan, kalau komunikasi yang dilandasi kepercayaan, orangtua masih kecolongan juga?
Nah bagaimana menjalani situasi ini dengan tenang dan berupaya keluar dari masalah tanpa terlalu stres, ternyata juga butuh ilmu. Jadi simpelnya, jika ingin melakukan perbaikan, perbaikilah yang di depan mata dulu. Lihat sambungan hati dengan anak, rancang komunikasi yang baik, baru isi ilmu kebaikan tersebut!
Toleransi tanpa ketegasan adalah ketidakberdayaan, ketegasan tanpa ilmu adalah keberingasan. Oleh karenanya, toleransi perlu kita ajarkan kepada anak-anak kita terhadap mereka yang tidak seiman atau berbeda pemahaman. Akan tetapi toleransi tanpa ilmu adalah kelemahan dan rendah diri. Nah, bagaimana menerapkan kaidah ini dalam kehidupan kita sehari-hari kepada anak-anak kita?
Ada hal yang bisa kita pertanyakan, tetapi ada yang tidak dan harus diterima sebagai takdir. Nah kalau yang satu ini masih bisa dipertanyakan pada diri sendiri, ambil waktu untuk merenung, "Apakah saya sudah mencontohkan sikap toleransi tersebut kepada anak saya?"
Tindakan beribu kali lebih baik dari berjuta kata! Jangan lupa, kini giliran kita untuk menjadi madrasah yang hebat untuk anak-anak. Selama ini banyak dari kita sibuk dengan emosinya sendiri. Berbagai bentuk emosi negatif ada di kepala kita; marah, sedih, rasa bersalah, penyesalan yang tidak habis-habis, dan lain-lain. Lalu kapan kita mau menjadi contoh?
Jadi kalau kita ingin anak kita membawa rahmat untuk semesta alam, kita harus jadi orang yang waras dan sehat jiwanya dulu. Jangan terlalu lama lihat kaca belakang, toh kalau mau lihat ke belakang juga pakai kaca spion kan? Karena yang penting lihat ke depan, kalau tidak, bisa menabrak!
Intinya jadilah orang yang penuh dengan cinta. Karena Allah juga memperkenalkan diri melalui sifat yang feminin terlebih dulu, di mana kasih, cinta penuh terhadap makhluk, sebelum sifat maskulinnya keluar seperti Maha Kuat.
Mempersiapkan anak yang mampu menggumuli masa depan tentu dibutuhkan kerja ekstra keras. Misalnya dengan tidak menggantikan kehangatan, belaian, dan perhatian orangtua dengan benda-benda mati seperti alat permainan yang melenakan. Persoalannya, tidak mudah mengatur kualitas dan kuantitas peranan orangtua tersebut pada orangtua yang sibuk bekerja di luar rumah sepanjang hari. Bagaimana mengatasi hal ini menurut Mbak?
Sederhana, jangan panik! Walaupun sibuk, jangan dipikir “Semua harus dilakukan sekarang!” Tapi yang lebih penting harus dilakukan dengan benar dan tepat. Ingat, walaupun orangtua bekerja, tetap kita akan pulang ke rumah. Sesampai di rumah memang konsentrasi khusus kepada mereka, bukan meneruskan pekerjaan kantor.
Ingat prinsip bahaya dan kesempatan, hindari untuk melihat bahaya terlalu pintar jadi kehilangan melihat adanya kesempatan. Maksud saya, setelah kita melakukan pengasuhan dengan baik, tapi tetap anak melakukan sesuatu yang salah sehingga hati kita terluka, pahamilah itu sebagai krisis dari paket ujian. Hikmahnya, kita semakin bijak menghadapi hidup.
Jadi jangan pergi ke tempat kerja dengan setumpuk rasa bersalah, atau membayar dengan mainan mahal. Sikap utama bagi orangtua yang bekerja adalah syukur, sabar, shalat, dan tegar. Syukur, tenaga dan ilmunya masih terpakai untuk bekerja, karena tempat pekerjaan adalah ladang ibadah Anda.
Sabar bahwa Anda akan letih sekali, harus bekerja sekaligus mengasuh anak, jangan mengeluh. Karena banyak orang yang menganggur dan mandul, tidak punya anak. Anda diberi keduanya. Shalat adalah tempat untuk mengambil energi buat berjalan ke depan. Tegar apabila ada masalah. Ingat ilmunya, anak akan ikut apa yang dicontohkan ibu- bapaknya.

Comments :

0 komentar to “Mengajarkan Jihad Sejak Dini”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com