GULU KUNING

Oleh: Khilma Anis

(Penulis Novel, Jadilah Purnamaku,Ning.
Aktif di Komunitas Matapena dan LPM ARENA Yogyakarta)



Tak ada yang menyangka, Sutarman yang cuma lulusan SMA menjadi anggota Dewan. Pelantikan masih lima bulan lagi, tapi bapaknya sudah sibuk melirik petak sawah yang mau ditebas. Emaknya ngeyel minta ruang tamu diperlebar karena yakin tamunya bakal banyak. Adiknya yang masih SMA langsung minta dikreditkan motor terbaru. Bude–budenya sibuk mencari alasan dan nominal yang pas untuk meminjam duit tanpa niat mengembalikan. Sedangkan Sutarman sibuk mencari perempuan yang pas untuk mendampinginya di pelantikan nanti, sekaligus menjadi nyonya DPR yang akan di elu-elukan Partai Biru Hijau di Dapilnya.

Setiap malam, tidurnya hanya tidur ayam, merem sebentar melek lagi. Status baru membuatnya tak leluasa. Ke warung kopi tak berani, takut mengecewakan kyai kampung yang memilihnya. Di desa Jati Gowok tempatnya tinggal dan lahir, citra anak warung kopi memang miring. Mau ke sawah seperti biasanya ia merasa tak menghargai diri sendiri, “Sudah jadi DPR kok ke sawah.” Mau ke surau takut disuruh mengimami, mondok saja ia tak pernah. Nanti malah jadi ejekan ma’mumnya. Jadilah ia hanya di rumah, menemui tamu-tamu yang ia tanggapi dengan aggukan sembari sesekali menguap karena ngantuk.

Tamu yang datang beragam, semua membawa kepentingan. Mulai minta jalan desa diaspal, dibuatkan masjid kampung yang besar, hingga dibuatkan lapangan badminton. Lama-lama ia jengah karena menginjak kantor Dewan saja belum pernah. Gaji belum sepeser pun dikantongi, dilantik saja belum. Masyarakat enggan mengerti.

Yang paling menjengkelkan, ada yang bolak-balik datang menawarkan istri. Sebab ia Jejaka tiga puluh empat tahun, berkali-laki ditolak gadis karena seleranya terlalu tinggi. Kawan-kawan ngopinya menyarankan ia memilih gadis biasa saja keburu ‘burungnya’ bercabang dua. Tapi Sutarman keukeuh, pengen dapat istri yang super dan sip jiwa raganya, sebab hanya di ruang inilah ia mampu bercita-cita. Awalnya semua tertawa, sekarang semua kecele, Partai Hijau Biru yang di-branding mati-matian di TV menyelamatkannya, mengusungnya jadi salah satu anggota legislatif yang tak disangka-sangka, bahkan oleh koleganya sendiri.

“Ponakan saya kuliah di malang, mas Sutar, Alhamdulillah keterima pegawai juga. Kemarin prajab di Surabaya, yah,,idep idep bisa golek pangan sendiri…” selanjutnya omongan pak Kasmidi hanya mengabur, mengepul bersama asap rokok lintingnya.

Sutarman menguap, jemarinya memainkan kacang telur dari toples di dekat kakinya yang bersila. Ia teringat kibtiyah, anak Haji Kasmiran yang punya persewaan tarub dan kursi. Berkali-kali ia membayangkan gadis kuning langsat itu menunggu di kamarnya yang sedang direhab, lalu melayaninya rehat dengan sukarela. Seandainya ada Kibtiyah, ia akan senang, minimal, bisa dijadikan alasan untuk tak menemui tamu, “Istri masuk angin dan saya mengantarnya ke dokter, ini kedengarannya lebih manis,” begitu pikirnya.

Tamu masih nyerocos, telinganya sudah malas. Orang-orang yang biasanya memenuhi rumah Haji Kamid, anggota DPR dua periode di kampungnya, kini pindah ke rumahnya. Tak gampang ternyata jadi DPR, harus mendengarkan persoalan sepele yang dibesar-besarkan, menahan bosan pada orang. Mesti nyangoni tamu yang membawa proposal, tak peduli ada uang atau tidak. Lebih-lebih ia belum punya pasangan yang hendak diajak berbagi keluh kesah di ranjang siang malam.

Karena angop-nya sudah berkali-kali, tamu pun akhirnya pamit pulang. Emak segera menyusul ke kamar, memijit kakinya. Sutarman tengkurap, mapan. Membayangkan itu pijitan kibtiyah. Kemarin rambutnya habis di-rebonding tambah cantik. Ia baru sadar kalau perempuan memang ajaib, rambutnya sedikit berubah saja, jadi mangklingi, terlihat kutho. Apalagi pas ke rumahnya mengantar semangka kemarin siang, Kibtiyah mengenakan kaos kuning bergambar stroberi, rambutnya mak pyur jika bergerak, seperti hatinya yang dag dig dug. Oh, seandainya wangi rambut itu miliknya. Tentu tak perlu jadi DPR hatinya tetap gembira.

“Bapakmu tadi ngrasani Dewi anak pak lurah, katanya kog ayu tur sareh. Emak kok gak sreg soalnya dia ringkih, gampang sakit, istrimu kan harus kuat, tapi nek kowe gak demen ya gak papa”

Sutarman mesem. Saat jadi orang biasa, tak pernah terbesit sedikit pun nama Dewi dalam hatinya. Apalagi kini ia sudah jadi DPR, Dewi itu galak, mini market Pak lurah nggak laku gara-gara anaknya yang galak jadi penjaga, ia suka mbentak pembeli. Lagipula, dalam bayangan sutarman, di tempat tidur, Dewi cenderung minta dilayani, Tak melayani seperti Kibtiyah. Ini tertangkap sutarman dari bahasa tubuhnya. Istri DPR kan harus Luwes perilakunya.

Sutarman menatap langit-langit kamar,melihat cicak yang berdecak hampir menabraki sarang laba-laba. Menghadirkan bayang Kibtiyah lagi. Menjadi caleg terpilih merupakan perjuangan keras. Ia di partai itu sejak jadi cunguk. Sejak jarang yang mendengar partai itu sebab kalah pamor dengan partai Abu-abu dan Ungu. Senakal-nakalnya, ia rutin Puasa ndawud. Perjuangannya sudah rekoso, itu sebabnya ia ingin sisihan yang dihajati hatinya, pendamping yang benar-benar diingini jiwa raganya. Itulah kenapa, selain berdoa dinaikkan derajatnya, tiap malam, ia juga mendo’akan Kibtiyah. Yang ia taksir sejak sekolah MI, yang selalu bersepeda depan rumahnya yang mepet kali.

“Kok sulit ya?” Maknya mulai bergumam, ”Mending kamu belum jadi dulu, siapa saja istrimu, asal lumrah, orang-orang pasti meneng seneng, Tapi sekarang kan kamu DPR le, masak iya bojomu cah ndeso, nanti wong-wong bilang, walah wong cuma mau di-pek mantu wong ndeso saja harus jadi DPR.” Maknya menghela nafas panjang, mengambil balsem, mengoleskan pelan. “Apa gak ada to, pak Bupati, atau Camat yang cari mantu, kamu kan sekarang punya derajat?”

Sutarman terdiam, justru mengingat kalung tipis yang melingkari Gulu Kuning Kibtiyah tadi, perempuan memang tampak mahal dengan perhiasan, jadi cemlorot mencorong. Kalau jadi istrinya, Kibtiyah akan dibelikannya, tak cuma di lehernya, tapi di pergelangan tangannya, di jarinya, bahkan kalau mau di pergelangan kakinya. Bukan emas tipis, tapi tebal. Sayangnya si kenes itu memang sama sekali tak pantas jadi nyonya DPR yang harus datang pada acara kabupaten dan acara-acara dirgahayu. Jadi Bu Carik ngurus posyandu saja ia belum Pawaan. Seandainya, istri DPR gak perlu dibawa kemana-mana. Hanya dinikmati di bilik kamar.

“Mak?” “Kibtiyah itu kalau lama di pandang ayu juga ya?”

“Anake pak Kasmiran itu ya?” “Ayu pancen, tapi piye yo le, amat kurang. Kurang pantes”

“Kenapa mak ? Karena aku DPR?”

Ibunya mengangguk. Membuka baju anak lanangnya, mengerok punggungnya. Sutarman tak masuk Angin. Sekadar mengolor waktu perbincangan.

“Dia yang gak pantes jadi istri DPR atau jangan-jangan aku yang tak pantes jadi DPR ya mak?”

Ibunya berhenti mengerok. Memulai ceramahnya lalu melanjutkan aksi tangannya lagi. Sutarman menulikan telinga. Entah kenapa, mengingat Kibtiyah, ia merasa kecil, kerdil, bukan siapa-siapa kecuali orang yang memohon dicintai. Padahal sekarang di depan Lurah ia sudah berani gemagah. Cinta itu ia pendam sendiri. Lagu dalam hati ia lantunkan sendiri. Memiliki derajat sebagai DPR tenyata tak hanya butuh tanggung jawab besar, tapi resiko yang lebar, termasuk harus menikah dengan orang yang tak benar-benar diinginkannya kecuali demi kepantasan.

“Cari itu yang pinter ngaji, le. DPR itu banyak godaannya. Ya harta, ya wanita, biar istrimu yang ngerem jika kamu kebablasan, jadi orang terhormat yang penting bukan punya istri ayu, tapi seng iso njogo kepalamu..”

Sutarman tersenyum mendengar omongan ibunya yang amburadul.

“Salah njangkah sedikit saja, tetangga pasti keplok-keplok. Harus ada yang selalu ngilengke kowe untuk hati-hati. Ojo angger ayu mbok emplok”

Sutarman angop. Seolah cintanya pada Kibtiyah memang sudah cinta mati, tapi kalau dipikir lagi , cinta itu sebatas pada rambut Kibtiyah yang pyur-pyur. Hidungnya yang mancung, pipinya yang mulus merah cemekel, juga gulunya yang kuning gading, belum ada kepercayaan bahwa Kibtiyah mampu ia andalkan jadi pasangan hidupnya. Tapi ia kadung kesengsem.

“Mak, besok, aku main ke rumah Haji Kasmiran ya?”

“Yo, tapi, malemnya ada tamu dari Trenggalek. Namanya Aida, santrinya Kyai Dalhar, temui ya?”

Sutarman mengangguk. Maknya tersenyum sambil berbinar. Balsam ditutup. Selimut dipasangkan. Lampu dimatikan. Kadang, ada pagi yang mengubah masa depan. Keduanya menunggu sambil bertaruh diam-diam.

Gedung Putih, Krapyak, 1 juni 2009

Comments :

0 komentar to “GULU KUNING”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com