Bukan Kemarahan Tuhan

Oleh: Sholahuddin El Muhsiny

(Alumnus Ma’had Aly PP. Al Munawwir, Krapyak, Yogyakarta)



”Tuhan itu rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya, jangan melihat bencana yang datang beruntun sebagai bukti amarah Tuhan”
(Prof. DR. Quraish Shihab)



Beberapa kali gempa bumi menyasar bumi pertiwi. Masih terngiang dalam memori kita, bagaimana dahsyatnya gempa bumi dan tsunami di Aceh yang menyebabkan ratusan ribu manusia meninggal, gempa Jateng dan DIY pada 27 mei 2006, gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal September 2009, dan terakhir gempa Sumatera Barat.

Banyaknya jumlah korban jiwa disebabkan kerapuhan dan keterbatasan manusia dalam memahami fenomena alam. Keterbatasan itu muncul karena minimnya pengetahuan manusia akan misteri alam, serta pandangan manusia terhadap alam telah dikonsepkan sedemikian rupa oleh konteks budaya, agama, kepercayaan, serta aspek lain yang melingkupinya.

Indonesia sendiri secara geografis merupakan negara yang rentan bencana. Pasalnya, terletak di antara tiga pertemuan lempeng bumi; lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di bagian barat, dan lempeng samudera pasifik di bagian timur. Negeri ini juga berada di jalur lingkaran gunung berapi (ring of fire) sehingga sangat rentan terjadi bencana alam seperti tsunami, gempa, dan gunung meletus.

Dalam tulisan pendek ini, saya mencoba menjelajahi bagaimana konsep Al Quran tentang musibah, dan pandangan umat Islam Indonesia yang fatalis dalam menghadapi segala macam musibah.


Penjelajahan Kata Kunci

Al Quran sebagai firman Allah memuat nilai-nilai moral yang diperlukan oleh manusia untuk menghadapi berbagai macam problematika kehidupan yang dihadapi. Allah mengekspresikan dalam Al Quran tentang sesuatu yang tidak enak bagi manusia dengan 3 kata kunci.

Pertama adalah kata musibah itu sendiri. Kedua, kata bala’, dan yang ketiga ialah kata fitnah. Salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh masyarakat atau bangsa yang tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan adalah introspeksi diri.

Supaya masyarakat melakukan introspeksi maka diperlukan keteladanan oleh para pemimpin. Dalam konteks ini, pemimpin tidak cukup hanya dengan menyuruh rakyatnya berintrospeksi. Mereka harus mengawali hal itu.

Ibnu Khaldun, ahli sosiologi muslim garda depan, menjelaskan dengan gamblang bagaimana rakyat sebetulnya mengimitasi pola dan kelakuan pemimpinya. Ia berkata dengan tandas, ar-ra’iyyatu ala dini mulukihim (rakyat menuruti apa yang diperbuat oleh penguasanya).

Kata musibah dalam ayat Al Quran di antaranya ditemukan dalam surat Al Baqarah: 156. Bunyi ayat tersebut adalah “Alladziina idza ashaabathum mushibatun qaaluu inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun (Yaitu orang-orang yang ketika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun).”

Sebetulnya, ayat ini mempunyai rentetan dengan ayat sebelumnya, yaitu “Wala taquuluu liman yuqtalu fii sabiilillahi amwaatan, bal ahyaa’un wala kin laa tasy’uruun (Dan janganlah kamu mengatakan bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah, bahwa mereka itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya).”

Dalam kitab tafsir Marah Labid karangan Syaikh Nawawi Al Jawi ayat tersebut turun untuk menjelaskan perihal meninggalnya 14 pejuang pada perang Uhud, 6 dari muhajirin dan 8 dari anshor. Di mana pada waktu itu, orang-orang kafir dan munafiq mengatakan bahwa mereka itu mati karena membela Muhammad, dan sia-sia saja pengorbanan mereka.

Setelah ayat ini, Allah lantas menurunkan ayat “Walanabluannakum bi syai’in min al-khaufi wal ju’i wanaqsin min al-amwaali wa al-anfusi wa al-tsamaraat, wa basyyir al-shaabiriin. (Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar).

Lafadz walanabluannakum adalah turunan dari kata bala’, yang dalam ayat ini diartikan dengan cobaan berupa kelaparan, dan sebagainya itu. Sedangkan di akhir ayat, Allah memerintahkan Muhammad untuk memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.

Dalam dua ayat tersebut, Allah mengungkapkan kata bala’ dan musibah secara beruntun. Kedua istilah tersebut mempunyai arti sesuatu yang tidak mengenakkan manusia.

Dalam surat Al Mulk: 2, “Huwa a-ladzi khalaqa al mawta wa alhayata liyabluakum ayyukum ahsanu amalan (Dia adalah zat yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang baik amalnya). Dalam ayat ini Allah mengungkapkan kata liyabluakum yang mempunyai arti menguji atau memberikan cobaan. Dalam ayat ini kata bala’ lebih mengacu kepada persaingan dalam memacu amal kebajikan di dunia.


Mengubah Pola Pikir

Mayoritas umat Islam berparadigma bahwa bencana merupakan aksi Tuhan. Atas dasar ini maka manusia dianggap tidak bisa melakukan antisipasi karena bencana datang dari kekuatan supranatural yang berada di luar eksistensi manusia. Kita hanya bisa nrimo.

Mereka biasanya menanggap bahwa bencana merupakan bentuk amarah Tuhan atas perilaku manusia yang khilaf dan menyimpang. Bencana dari Tuhan itu dianggap sebagai ‘hukuman’, ‘peringatan’ atau ‘ujian’ agar manusia sadar/taubat.

Oleh karena itu, satu-satunya hal yang dianggap bisa dilakukan manusia adalah meminta ampun, berdoa, serta pasrah kepada Tuhan (fatalisme), lalu berharap agar bencana tidak terjadi lagi. Pemahaman seperti ini, salah satunya, dipengaruhi oleh pemahaman keagamaan terhadap Kitab Suci yang menceritakan kisah pengazaban Allah terhadap umat-umat terdahulu.

Kitab Suci dalam hal ini memang menggambarkan bencana sebagai wujud kehendak atau kemarahan Tuhan terhadap umat-umat yang membangkang. Penafsiran ini berkembang terutama pada masa pengaruh wacana agama masih sangat dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan.

Misalnya, cerita tentang banjir bandang yang menimpa kaum Nabi Nuh AS. Karena enggan beriman kepada Allah dan mendustakan apa yang telah dikabarkan oleh Nuh, maka datanglah azab Allah kepada mereka berupa banjir bandang.

Paradigma “aksi Tuhan” ini perlu untuk direvisi di kalangan umat Islam Indonesia. Ada beberapa alasan yang mendasarinya; Pertama, karena rahmat Tuhan itu mengalahkan amarah-Nya. Sifat rahman dan rahim Allah itu meliputi seluruh dunia dan akhirat. Kedua, paradigma seperti itu justeru kontraproduktif terhadap semangat rekonstruksi dan recovery pasca bencana.

Kasus di Kebon Dalem, Bantul pasca-gempa bumi di DIY misalnya, di jalan desa terdapat spanduk bertuliskan “Bantuan ora mili selawase (bantuan tidak mengalir selamanya). Spanduk ini ingin menggugah kesadaran masyarakat supaya bangun dari teologi fatalisnya untuk kemudian bersatu padu melakukan rekonstruksi pembangunan desa mereka. Rekonstruksi ini lebih penting dari pada tenggelam dalam kubangan duka.

Akhirnya, saya mengajak kepada para pembaca bahwa bencana yang beruntun janganlah dipandang sebagai kemarahan Tuhan, karena rahmat Allah lebih luas dari pada kemarahan-Nya. Karena ada juga faktor kesalahan manusia, sebagai dampak perbuatan manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup.

Wallahu a’lam

Comments :

0 komentar to “Bukan Kemarahan Tuhan”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com