Akhir Era ‘Banyak Anak Banyak Rezeki’?

Oleh: Siti Raudlatul Jannah

(Ibu Rumah Tangga dan Dosen STAIN Jember)


Status Anda sudah menikah dan memiliki tujuh anak kandung? Wah, bersiaplah ditertawakan banyak orang. Di zaman geneee, masih berani punya anak banyak. Kalau satu atau dua sih boleh, lebih dari itu? Tunggu dulu.

Lusinan alasan pembenar dijadikan landasan. Tidak mengikuti era terkini lah, melanggar saran pemerintah, tidak sensitif gender, tidak cukup dana, tidak cukup waktu mengurus karena sibuk dengan pekerjaan, takut tidak cantik lagi, dan alasan pembenar lain. Intinya, punya anak lebih dari dua, di era ini berarti harus siap disebut kuno-tidak modern.

Apakah tuduhan tersebut salah? Tidak juga. Ada betulnya. Mari kita lihat alasan-alasannya;

Pertama, punya anak banyak tidak modern. Kalau ukuran modern itu didasarkan pada minimalis. Lihat saja, tren rumah sudah minimalis, mobil dengan ukuran minimalis (city car), baju juga mini, tubuh pun harus langsing. Bukankah anak adalah perhiasan bagi orangtuanya? Kalau ’perhiasan’ terlalu banyak, maka dapat disebut norak.

Kedua, punya banyak anak jelas menyalahi program Keluarga Berencana (KB) yang dicanangkan Departemen Kesehatan (dan Departeman Sosial yang sudah dilikuidasi). Ujung-ujungnya, penduduk di negeri ini membludak sehingga secara kependudukan dan kesejahteraan akan merepotkan.

Anda masih ingat Robert Malthus? Tokoh ekonomi ini dalam karyanya An Essay on the Principle of Population menyebutkan, “Jumlah penduduk dunia akan cenderung melebihi pertumbuhan produksi (barang dan jasa). Oleh karenanya, pengurangan ledakan penduduk merupakan suatu keharusan, yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan, kelaparan, perang atau pembatasan kelahiran.”

Ketiga, tidak sensitif gender. Jika seorang istri diharuskan punya banyak anak, bisa-bisa banyak istri yang tersiksa karena sibuknya mengandung, melahirkan, menyusui. Lalu kapan mereka punya waktu untuk aktualisasi diri?

Keempat, tidak cukup dana untuk merawat. Ini juga ada benarnya. Jika sebuah keluarga dengan pendapatan per bulan kurang dari UMR setempat, jelas biaya hidup minimal per anak tidak akan terpenuhi. Ini mengancam gizi dan pendidikan yang biayanya kian tinggi.

Kelima, tidak cukup waktu untuk mengurus anak banyak. Anak banyak jelas menuntut perhatian ekstra yang menyita jam-jam sibuk orangtuanya. Terlebih jika dikalkulasi secara bisnis, harusnya jam kerja digunakan untuk mencari uang, dengan banyak anak otomatis harus dibagi dengan mereka. Kapan bisa produktif dengan maksimal? Kapan karier idaman bisa dicapai?

Keenam, sering melahirkan pasti mengurangi kecantikan. Otot-otot rahim akan mengendur seiring seringnya melahirkan, waktu untuk berdandan juga akan tersita untuk merawat anak.

Nah, kecenderungan khawatir memiliki banyak anak ini sepertinya juga marak di kalangan umat Islam. Apakah ini berarti berakhirnya kepercayaan muslim di Indonesia terhadap doktrin "Banyak Anak Banyak Rezeki"? Untuk membedahnya, mari kita mulai dengan menelusur kembali ke ayat Al Quran, landasan pokok tata kehidupan dunia.

QS. Al An’am ayat 151 menerangkan;...Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan dan kepada mereka ...Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah...

Lalu pada ayat 152 surat yang sama, Allah menegaskan: Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya...

Rasulullah Muhammad Saw, dalam salah satu hadisnya menerangkan: ”Nikahilah perempuan yang penyayang dan berpotensi punya banyak anak. Karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan banyaknya kamu di hadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari sanad Anas bin Malik).

Alasan pembenar untuk tidak punya anak karena dirasa tidak modern, mungkin harus ditinjau ulang dalam perspektif berikut. Apakah modern diidentikkan dengan banyaknya harta? Atau banyaknya SDM? Kalau ya, maka keluarga yang memiliki anak patut bangga karena mereka sangat modern dengan memiliki SDM yang banyak, sehingga mampu memenuhi produktivitas yang merupakan salah satu tonggak penopang industrialisasi-modernisasi.

Tentu hal ini harus ditunjang oleh pendidikan formal dan informal yang memadai bagi para anak. Kalau mereka dididik dengan baik sehingga menjadi manusia yang tangguh, maka mereka akan bermanfaat (pintar) dan siap menghadapi zaman.

Alasan yang sama juga dapat dijadikan pembenar untuk mengikis persoalan kesejahteraan dan pendudukan di negeri ini. Ketika anak-anak kita yang banyak dididik secara sungguh-sungguh di jalan yang benar, sehingga menjadi tenaga yang terampil dan mandiri, maka mereka justru akan menjadi ujung tombak untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia.

Coba lihat kasus di beberapa negara tetangga, Singapura misalnya. Negara ini memompa semangat penduduknya agar punya anak lebih dari satu agar generasi di negeri pulau itu tidak punah. Di Korea juga sama, jumlah penduduk Korea Selatan akan berkurang sampai 6 juta orang lebih hingga tahun 2050, akibat rasio kelahiran anak yang rendah. Dalam hitungan deret ukur, sekian tahun ke depan, tidak ada lagi warga negara kelahiran Korea Selatan yang terkenal maju dan kaya itu.

Dalam konteks hadis nabi di atas, ada alasan politis-ideologis, mengapa umat Islam harus memiliki banyak anak. Juru bicara Hams, Sami Abu Zuhair di acara Apa Kabar Indonesia Malam di tvOne (23/1/2009), menyebutkan, dalam perang 22 hari sebelumnya, lebih dari 1.300 warga Gaza menjadi syuhada (tewas), tapi dalam kurun waktu yang sama telah lahir 3.000 generasi baru di Gaza. Secara tidak langsung dia mengiyakan, wanita Palestina atau Gaza diminta melahirkan banyak anak agar dapat mengimbangi jumlah penduduk Israel.

Konon, teori TR Malthus di atas, juga mendasari program Keluarga Berencana (KB) yang sukses diterapkan di Indonesia. Yakni mengurangi jumlah populasi umat Islam di dunia. Khusus membaca kasus perang Israel dan Palestina di Gaza, maka tujuan lain Israel adalah menghabisi generasi Palestina.

Kemudian, benarkah memiliki banyak anak berarti tidak sensitif gender? Ketika semua tugas perawatan dijatuhkan ke pundak istri, jelas hal ini tidak manusiawi. Bukankah tugas biologis perempuan hanya mengandung, melahirkan dan menyusui? Nah, tugas lainnya seperti memberi makan, pakaian yang layak, mendidik dan menempa mereka, tentulah menjadi tugas suami. Kalau tidak cukup waktu dan tenaga karena bekerja di luar rumah, maka suami dapat membayar orang lain. Bukankah Rasulullah dulu juga juga dirawat dan dibesarkan orang selain ayah dan bundanya? Bahkan Nabi juga disusukan oleh orang lain.

Lalu bagaimana perempuan dapat menjaga kecantikan tubuhnya kalau sering melahirkan, apalagi lewat persalinan normal? Kalau alasan ini, siapa pun wanita di dunia akan menuju tua, keriput, otot mengendur dan jelek. Jadi, punya anak atau tidak punya anak, cepat atau lambat perempuan memang akan tidak cantik lagi. Hanya saja, dengan perawatan murah meriah di rumah, setiap perempuan dapat menyimpan kecantikannya lebih lama.

Pepatah ‘Banyak anak Banyak Rezeki’ seharusnya memang benar adanya. Tapi banyak orang yang salah mengartikan. Dengan harapan akan bertambah rejekinya, setiap tahun menargetkan mendapatkan momongan lagi. Tapi kenyataannya, kehidupannya makin terpuruk.

Pada gilirannya muncul pikiran begini, apanya yang membawa rezeki, kehidupanku malah tambah terpuruk. Kemudian mulai menyalahkan anak, membiarkan terlantar di pinggir jalan, lalu ujung-ujungnya menyalahkan Sang Pencipta. Mengaca kepada QS.Al An’am di atas, pepatah “Banyak Anak Banyak Rejeki”, benar adanya, asal tahu bahwa rezeki itu harus dijemput atau dicari.

Begitu seorang anak lahir, berarti Allah sudah menjatahkan rezeki untuknya, namun tidak datang tiba-tiba. Sebaliknya, ayahnya harus mencari atau menjemputnya. Entah dengan membuka usaha lain di luar pekerjaan rutin, atau cara lainnya.

Comments :

2 komentar to “Akhir Era ‘Banyak Anak Banyak Rezeki’?”
Anonim mengatakan...
on 

Siti Raudlatul Jannah yang terhormat ulasan bunda sangat bagus sekali..........
semasa saya sekolah smp, saya mendapat selebaran gereja yang rahasia dari seorang teman aktifis.....bahwa KB adalah program pengurangan jumlah muslim di Indonesia......sekilas saya amati, teman yang non Muslim saudaranya banyak padahal ekonomi kurang,selidik punya selidik ternyata semua biaya hidup dan sekolah di tanggung gereja,......gereja dapat dana dari Bank Dunia dan Vatikan.......
.......semoga ini menjadi tambahan bahan perenungan...............
Banyak Anak banyak rejeki....slogan ini sangat pas sampai kapanpun yang jamin 4JJ1, otomatis sebagai orang tua semakin termotifasi untuk lebih kreatif mencari rezeki yang halal kan................

Salam hormat

MF Kurnia

Anonim mengatakan...
on 

Kenyataannya terlalu banyak orang di indonesia malah menjadi banyak pengangguran, kemiskinan, kriminal. Karena banyak orang juga harus diimbangi dengan jumlah lapangan kerja yang memadai, jika tidak maka jadinya banyak pengangguran, kemiskinan, dan tindakan kriminal seperti yang terjadi di negara ini sekarang. Jadi menurut saya kita harus berpikir logis karena kita diberi otak oleh Allah SWT untuk berfikir jangan asal bikin anak banyak terus.

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com