Pesantren Bukan Tempat Pembuangan Anak

“Kamu kok nakal gitu sih Nak. Kalau terus-terusan kayak gitu, tahun depan mama kirim kamu ke pondok,” ujar seorang ibu pada anaknya yang berusia 10 tahun. Pondok pesantren seolah menjadi ruang bagi anak-anak yang “terbuang” dari keluarganya.

Sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, sistem pendidikan berasrama sudah berlangsung, mayoritas berbasis agama. Di Indonesia, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan berasrama berbasis Islam yang sudah bercokol sejak Republik ini belum terbentuk. Pada masa penyebaran Islam di nusantara, para wali membuka padepokan-padepokan untuk menempa ilmu pengetahuan sebagian pengikutnya.

Itulah cikal bakal pondok pesantren sebagai tempat pembinaan manusia menjadi kader-kader unggul. Istilah pondok menurut Zamakhsyari Dhofir (1982:18), berasal dari kata funduk (dalam bahasa Arab) yang bermakna rumah penginapan. Sedang kata pesantren berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri.

Kini, jumlah pesantren di Indonesia berdasarkan data Dirjen Lembaga Islam Departemen Agama RI Tahun Ajaran 2003/2004 mencapai 14.656 buah. Tentu bukan perbandingan ideal dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 230 juta jiwa. Namun siapa pun harus menilik, sangat banyak produk pesantren yang berperan besar dalam pembangunan bangsa.

Pesantren adalah manggala atau padepokan yang agung dengan segala ciri khasnya. Alangkah sayang, jika sebagian orang tua saat mengirimkan anaknya ke pesantren tidak dilandasi oleh keinginan tulus untuk memberikan pendidikan keagamaan yang baik, melainkan lantaran tidak sabar menghadapi tingkah polah si kecil. Apa jadinya bila pesantren menjadi kumpulan anak-anak –yang dianggap— nakal?

Kalau pun tidak, kesan negatif tentang pesantren tentu akan tertanam dalam diri anak. Maka seharusnya motivasi yang diusung oleh orang tua saat memondokkan anaknya adalah semangat yang termaktub dalam al Quran surat Al Taubah: 122, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”



Memberikan Pengganti yang Tepat

Bagaimana pun orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi buah hatinya. Orang tua lah yang harus mengajari nilai-nilai dasar kehidupan. Namun tidak ada salahnya pesantren dipercaya menggantikan peran orang tua dalam mendidik anak. Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah pasti mengurangi kesempatannya untuk mengajari anaknya tentang banyak hal, dari pelajaran sekolah, hingga pembentukan karakter diri.

Menurut Dr. Hanun Asrohah, M.A, ahli pendidikan Islam dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, pesantren dan sekolah berasrama bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan saja, lebih dari itu juga membentuk karakter dan kepribadian Islami.

“Selain kemampuan akademik, anak juga diasah keterampilan diri, spiritual, dan sosialnya. Mereka diajari bagaimana belajar hidup bersama dalam lingkup budaya yang lebih luas,” cetus pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel itu. Dalam keluarga, anak bersosialisasi dengan anggota keluarga yang terbatas. Namun di pesantren, ia akan berhadapan pada beragam perilaku, budaya, bahasa, status sosial, dan nilai-nilai.

Kenyataan hidup yang majemuk tentu akan memperkaya pengalaman anak, dan menjadi modal berharga saat berhadapan dengan kehidupan sosial yang lebih luas saat dewasa. Namun untuk mewujudkan itu, Dra. Ratna Ellyawati, M.Si, ahli psikologi klinis Surabaya, menyaratkan agar pesantren dikelola oleh orang-orang yang mumpuni dan matang.

“Guru-gurunya harus sosok dewasa yang kearifannya matang. Sehingga anak tidak dikorbankan untuk pemenuhan ego guru. Guru mesti secara obyektif dan bijak melihat potensi setiap anak. Sebab jika hal itu tidak terpenuhi, walaupun pengasahan otak bagus, tetap sulit untuk menginternalisasi nilai yang positif bagi anak,” ujar Ratna yang memondokkan putrinya di Pesantren Gontor Ponorogo.



Saat Tepat Memondokkan Anak

Karena hidup di pesantren bukan hanya untuk mengasah kemampuan intelektual, tentu orang tua harus mempertimbangkan kondisi fisik dan psikis anak. Sebab jika terlalu dini, bisa jadi anak masih sangat memerlukan belaian orang tua.

Menurut Ratna, sebaiknya mengirimkan anak ke pondok jangan kurang dari usia dua belas tahun. Sebab dalam hematnya, usia SD adalah masa orang tua untuk menekankan nilai dasar kehidupan yang bisa dikembangkan dan menjadi pegangan anak saat berhubungan sosial di pesantren. “Itu usia terbaik anak untuk menyerap model orang tuanya, dan menanamkan nilai, hingga terbentuk perilaku yang dinginkan orang tua pada anak,” tandas pengajar Fakultas Psikologi Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Surabaya dalam wawancara melalui telepon pada 03/06/2009.

Pandangan ini didukung oleh Dra. Srisiuni Sugoto, M.Si, dosen psikologi perkembangan Universitas Surabaya (Ubaya), bahkan lebih tegas. Sebab ia tidak setuju bila anak usia SD dan SMP dilepas dari orang tua. Siuni mengutip teori bioekologi yang dilansir Broven Baner. Seperti mikrosistem, individu yang ada di meso sistem yaitu significant person, baik orang tua, kakek, nenek, paman, dan sebagainya harus memberikan kasih sayang dan teladan pada anak usia itu. Ibu menjadi teladan bagi anak perempuan dan Ayah bagi laki-laki.

“Bayangkan jika masih kelas 1 SD dipondokkan, siapa yang akan menjadi role model. Okey lah, kyainya. Tapi apa betul kyainya bisa mengayomi dan memberikan kasih sayang ke seluruh santrinya? Maka menurut saya, anak SD dan SMP jangan dulu,” cetus ibu dari dua anak itu.

Namun pendapat tersebut tidak diamini oleh Prof. Dr. Imam Bawani, guru besar pendidikan Islam IAIN Sunan Ampel. Berkaca dari fakta bahwa Nabi Muhammad Saw sudah dipisahkan dari ibunya saat masih bayi, Imam Bawani memandang bahwa teori psikologi itu tidak berlaku umum.

“Saya belajar dari sejarah. Nabi diasuh oleh Halimatus Sadiyah saat ibunya hidup. Beliau justru dibawa ke pelosok gunung. Mengapa kok nggak lebih baik diasuh ibunya? Memang saat itu Makkah sudah metropolis, jadi kota perdagangan, sehingga Nabi harus bisa menghirup hawa segar di pinggiran. Kedua, beliau dilatih bahasa Arab yang fasih, karena Quran hendak turun dengan bahasa itu. Tetapi dari situ, saya berkesimpulan bahwa tidak selamanya anak yang dipisahkan dari orang tuanya sejak belia akan gagal,” ungkap peraih gelar Doktor bidang studi Islam dari IAIN (sekarang UIN [Universitas Islam Negeri]) Sunan Kalijaga.

Terlepas, pada usia berapa orang tua akan mengirimkan anaknya ke pondok pesantren, bagi H. Ali Sirojuddin Thobib, Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Muhyiddin, Gebang Kulon, Surabaya, ketulusan niat dan kepasrahan kepada Allah mutlak dimiliki orang tua. “Di mana pun anak belajar, jika ayah ibunya melepasnya secara ikhlas diringi doa, maka Allah pasti memberi kemudahan,” tegas Gus Ali, sapaan akrabnya.

Yang jelas, pesantren bukan tempat pembuangan anak. Maka kasih sayang dan doa orang tua harus terus mengalir kepada si buah hati di mana pun berada.

(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Pesantren Bukan Tempat Pembuangan Anak”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com