Zakat Produktif: Solusi Problem Sosial


Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumenep, menjelang bulan Ramadan lalu mengeluarkan fatwa yang mengharamkan mengemis bagi umat yang masih memiliki kemampuan bekerja. Fatwa ini pun didukung oleh MUI pusat.

Namun nyatanya sekitar 7.654 orang (80 %) dari 9.567 jiwa penduduk Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep, Pulau Madura, Jawa Timur mengabaikan fatwa tersebut. Mereka justru semakin atraktif mengemis secara berkelompok di sejumlah pertokoan, tempat ziarah, perkantoran, dan rumah warga (Koran Suara Pembaruan, 02/09/2009).

Pada awal Ramadan lalu, lokalisasi gang Dolly Surabaya diramaikan oleh aksi massa dari Forum Persatuan Umat Islam (FPUI) Jawa Timur. Mereka mendesak agar tempat ini ditutup total selama bulan Ramadhan (TV One, 20/08/2009). Namun nyatanya, di bulan Ramadhan keramaian di lokalisasi ini tetap berlangsung .

Sekali lagi masyarakat dipertontonkan dengan fakta bahwa permasalahan sosial tidak akan tuntas jika hanya didekati kacamata ajaran agama yang hitam putih, halal haram. Harus ada cara pandang lain agar problem-problem sosial yang telah akut mendera bangsa ini bisa terkurangi.

Ramadan dan Syawal oleh banyak orang disebut sebagai bulan suci bermakna sosial. Kepedulian sosial harus tumbuh subur dengan berpuasa. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar dunia, tentu mayoritas warga, termasuk kelompok berpunya (the have), melaksanakan puasa.

Idelanya kemiskinan berkurang. Namun toh jumlah orang miskin tidak menurun signifikan menurut penghitungan Bank Dunia. Bahkan lebih ironis, di setiap Ramadhan, jumlah pengemis kian banyak.

Dengan semangat menghadirkan cara pandang lain, Al Madinah menjumpai Prof. Dr. Nur Syam, Guru Besar Sosiologi Agama dan Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya pada 28/08/2009. Berikut petikan perbincangan tersebut:

Menurut Anda, apa sebenarnya makna Ramadhan sebagai bulan sosial? Relevankah cita-cita, “dengan semangat Ramadhan, kemiskinan terentaskan”?

Saya sependapat bahwa Ramadhan adalah bulan bermakna sosial, di mana seharusnya ikatan sosial menjadi kuat. Ada hadis Nabi yang menyatakan, kalau orang berpuasa dan mereka wajib mengeluarkan zakat fitrah, namun belum menunaikannya maka pahalanya akan digantung di antara langit dan bumi.

Nah dalil ini memberikan pemahaman bahwa setelah orang melakukan ritual puasa yang murni dipersembahkan kepada Allah Swt, mereka harus menyempurnakannya dengan zakat fitrah sebagai ekspresi solidaritas sosial. Islam sangat menekankan bahwa apa pun ritual kepada Allah harus diiringi dengan membangun kepedulian sosial.

Bagaimana Anda memaknai zakat sebagai intrumen sosial untuk mengentaskan kemiskinan? Siapakah harusnya yang menjadi Amil dan bagaimana pola pembagiannya dalam masyarakat yang masih sangat tradisional dan berpatokan pada aturan fiqh kuno?

Persoalannya, zakat, infaq, sedekah belum menjadi tradisi organisasi. Orang mengeluarkan zakat apakah itu fitrah ataukah mal (uang) lebih sering dilakukan sendiri. Sehingga tidak ada semacam mekanisme pembagian yang jelas kepada siapa sesungguhnya zakat fitrah atau mal itu diberikan.

Negara kita sudah punya UU Zakat namun belum diimplementasikan secara maksimal. Seharusnya lembaga amil zakat bisa menjadi lembaga yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyalurkan zakat, infak, dan sedekahnya. Kemudian harus dipikir bahwa zakat itu ada coraknya yang konsumtif, ada yang produktif.

Nah ini harus dipilah, zakar konsumtif diarahkan kepada siapa saja, dan zakat produktif mau dikelola seperti apa? Dengan cara organisasional seperti itu, zakat dapat dimaksimalkan sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan

Apakah model itu menyalahi aturan fikih, saya kira kok tidak. Toh sudah banyak ijtihad yang dilakukan oleh para ahli fiqh tentang kebolehan zakat produktif. Artinya zakat diberikan sebagai modal untuk menyambung kehidupan lebih lanjut. Saya pikir ini tidak bertentangan dengan Islam yang sesungguhnya ingin memberdayakan masyarakat. Maka fenomena meningkatnya jumlah pengemis di bulan puasa juga akan terhenti manakala zakat diberikan secara organisasional.

Seringkali ketika Ramadan, banyak muncul upaya penutupan paksa yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu terhadap warung-warung yang buka pada siang hari dan tempat-tempat hiburan malam. Bagaimana pendapat Anda?

Upaya penutupan tempat-tempat yang dianggap penyakit masyarakat (Pekat) pada bulan Ramadan oleh pemerintah, menurut saya itu sah dilakukan karena untuk menghormati bulan puasa yang suci.

Tetapi jangan lupa bahwa pelaku-pelaku sesungguhnya juga manusia yang butuh makan. Maka menurut saya harus ada kebijakan tepat yang bisa dipakai untuk menopang hal ini. Jika penutupan paksa tidak diiringi dengan solusi tentu tidak ada gunanya. Karena itu, semisal Pemkot Surabaya menghentikan semua kegiatan para PSK, maka seharusnya ada anggaran pemerintah yang bisa digunakan untuk mendayagunakan mereka.

Syukur kalau pengentasan PSK dari lingkungan pelacuran itu bisa dilakukan pada bulan Ramadhan. Nah jika zakat telah dikelola secara maksimal, sesungguhnya bisa juga digunakan untuk mengentaskan mereka. Demikian pula pada penjual warung makanan. Intinya peluang bagi mereka untuk mencari uang harus tetap terbuka.

Dan yang perlu diperhatikan, Indonesia ini bukan negara Islam. Maka dalam kondisi yang multireligius ini, kita harus menghormati orang-orang yang berbeda agama. Ini harus jadi pertimbangan.

Terakhir, apa harapan Anda kepada muslim di Indonesia di bulan puasa dan lebaran kali ini?

Kita sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw untuk melakukan puasa, menahan berbagai macam keinginan yang bertentangan dengan kemanusiaan. Karena itu menurut saya, dalam bulan puasa dan lebaran tahun ini, kita harus melakukan instropeksi bahwa agama kita adalah agama rahmatan lil muslimin, lil indonisiyyin, lil alamin (rahmat bagi umat Islam, rakyat Indonesia, dan alam semesta).

Sehingga kegiatan apa pun yang kita lakukan di bulan puasa dan syawal akan menjadikan Islam betul-betul sebagai rahmatan lil alamin. Islam yang memihak kepada Tuhan dan kemanusiaan. Dengan demikian Islam akan menjadi agama yang benar-benar dihormati karena ajarannya yang luar biasa.

Comments :

0 komentar to “Zakat Produktif: Solusi Problem Sosial”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com