Salam Redaksi

Kemiskinan bisa menjadi laknat sekaligus rahmat. Laknat, jika si miskin menghadapinya dengan sumpah serapah dan pesimisme, serta menyebabkan si kaya dan penguasa kian acuh tak acuh kepadanya.
Menjadi rahmat manakala si miskin bisa menerima kenyataan itu dengan kesabaran, menatapnya sekadar sebagai sebuah fase kehidupan, menyuratkan optimisme, dan memicu kepedulian sosial.
Kefakiran bukan hanya ekonomi, namun juga mental dan spiritual. Namun dua jenis kemiskinan yang terakhir tidak tampak kentara. Dan kemiskinan ekonomi adalah salah satu permasalahan akut bangsa yang tak pernah tertuntaskan, sejak zaman penjajahan hingga kini.
Salah satu dampak negatifnya ialah kegamangan masa depan anak. Orang tua fakir kerap melahirkan anak yang miskin. Jadilah lingkaran tak terputus. Padahal kata Nabi Muhammad Saw, “kefakiran mendekatkan seseorang kepada kekufuran.”
Bukankah menghindarkan siapa pun terjerembab pada kekufuran (dosa besar) adalah tugas semua orang? Maka kepedulian sosial menjadi wajib di negeri ini. Lantas caranya? Dengan memutus jaring kemiskinan itu.Cegah anak si miskin menjadi miskin.
Anak yatim merupakan salah satu generasi yang rentan menjadi miskin lantaran tidak lagi didampingi oleh orang tua yang mengantarkannya menuju masa depan lebih baik.
Maka gerakan “satu rumah satu yatim” merupakan tawaran solutif yang patut dilakukan.

Selamat membaca

Antara Yatim dan Perkutut

Oleh: Syarif Thayib

Direktur LoGOS Institute Surabaya


Seorang teman kristiani awal Mei lalu memberi saya undangan VIP ANEC (Annual National Empowerment Congress), ajang pertemuan tahunan para Direktur dan Manajer perusahaan besar di Indonesia. Dua ribu lebih peserta yang hadir terkejut oleh atraksi salto Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf, sebelum membuka acara.

Atraksi “raja” para pendekar Pagar Nusa itu mengilustrasikan bahwa hidup harus siap bangkit dari keterpurukan, kalau jatuh cepat bangun, jika kalah bersiaplah untuk menang di lain waktu, dan tetap semangat, demikian inti sambutannya.

Thema acara yang banyak memecahkan rekor MURI itu sangat provokatif, “Poor is Sin—Giving is Rich”, miskin itu dosa dan memberi itu (pangkal) kaya, berbeda dengan peribahasa lama, “hemat pangkal kaya boros pangkal miskin”. Kedua pepatah itu tidak bertentangan sebab hemat berbeda dengan kikir, dan bersedekah bukan boros. Terkadang orang tidak fair, berbagi kepada sesama dianggap boros, sementara berbelanja ini dan itu adalah tanda kekayaan.

Memberi harta atau apa saja yang bermanfaat untuk orang lain ditegaskan Allah Swt dan utusan-Nya Muhammad Saw akan memperlancar jalan rezeki (QS. 2: 261), menghindarkan dari bencana (HR. Thabrani), menenteramkan hati (QS. 2: 274), bahkan bisa menunda datangnya kematian (HR. Thabrani).

Pertanyaannya adalah kepada siapa kita harus berbagi agar manfaatnya bisa dirasakan langsung, tidak menunggu nanti di akhirat?

Yatim, ya serahkan saja harta itu kepada mereka sampai mandiri, kalau masih ada, serahkan lagi pada yatim lain, dan begitu seterusnya karena anak yatim adalah makhluk Tuhan yang kurang beruntung. Anak yang merasa sendiri di antara hiruk pikuk manusia di sekelilingnya, perasaan mereka sangat lembut dan sensitif karena hilangnya kasih sayang dari ayah (atau bahkan ibu), penopang ekonomi keluarga. Saat teman sebayanya bisa meminta apa pun kepada orang tuanya, si yatim tidak memiliki figur tempat bermanja. Karenanya, secara fisik dan psikis mereka sangat membutuhkan bantuan, perhatian, dan kasih sayang kita.

Banyak kisah nyata yang pernah saya baca tentang keajaiban menyantuni anak yatim, di antaranya kesaksian aktual Sofia dari Tangerang yang kehilangan uang hasil jual rumah warisan karena dirampok orang, tetapi dalam hitungan minggu ia sudah dapat ganti yang jumlahnya jauh lebih besar hanya lantaran niat akan menyumbangkan 10 % uang jual rumah itu untuk anak yatim.

Warga Tangerang lain, Syahrani Akbari Sadrie, pegawai negeri sipil golongan II bisa pergi haji setelah rajin memberi uang jajan bulanan untuk anak yatim. Bahkan pasangan Iyong Suptiah dan Mawardi Yusuf dari Pancoran-Jakarta memperoleh anak setelah penantian bertahun-tahun karena bernazar hendak menyantuni yatim jika harapannya terkabul (Nur, 2009).

Kesaksian seperti mereka pernah diteliti bahkan dipublikasikan oleh Richard Wiseman dari University of Hertfordshire London dalam buku Luck Factor, the Four Essential Principles (2003) dan Sucipto Ajisaka dalam Becoming a Magnet of Luck (2008), bahwa berbagi dapat meningkatkan keberuntungan finansial, kesehatan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Asal mau shodaqah setiap hari, maka salah satu indikator keberuntungan itu pasti bisa dirasakan sebelum tujuh minggu (Zainuddin, 2006).

Alasan rasional-ilmiah dan dalil-dalil teks Al Qur’an dan Sunnah di atas yang memotivasi saya untuk menerima ajakan Komisaris PT. LoGOS Institute agar net income perusahaan yang awalnya 20 %, sekarang 100 % diberikan kepada Yayasan Al Madinah yang mempunyai “tunggakan besar” untuk menyelesaikan Grha Aitam, istana anak yatim yang kelak (diharapkan) menjadi rujukan panti asuhan mana pun dalam sistem pemberdayaan anak asuh melalui konsep Holistic Person Empowerment System, tata organisasinya memenuhi International for Standardization Organization, sedangkan SDM pengelolanya memiliki semangat LoGOS (Loving God, Blessing Others, and Self Improvement).

Yatim di mata saya adalah jimat hidup setelah orang tua. Mereka adalah golongan orang yang tidak boleh disakiti apa pun kondisinya. Dengan memelihara yatim asal tidak menyekutukan Allah Swt bisa dipastikan masuk surga bersama Nabi Muhammad Saw (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas). Sedangkan ridha dan benci orang tua adalah ridha dan benci Allah juga (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).

Kepedulian kita kepada anak yatim bisa dilakukan dengan mengasuhnya langsung atau menjadi donatur lembaga pengasuh/penyantun yatim. Tercatat ada 6.721 anak yang tinggal di panti asuhan Kota Surabaya yang berpenduduk lebih dari 4 juta jiwa (Dinsos Kota Surabaya, 2008).

Walau pun jumlah anak yang kehilangan bapak kurang dari 2% penduduk Surabaya, tetapi apakah anak-anak kekasih Rasulullah itu sudah tinggal dengan fasilitas yang layak? Bersih lingkungannya? Bergizi makan dan minumnya?

Bukankah masih ada panti asuhan sederhana yang dihuni lebih dari 300 anak? Banyak dari mereka terpaksa berhenti sekolah, dipekerjakan, dan seterusnya, padahal warga metropolis banyak yang kaya, jumlah mobil yang berplat L saja lebih dari 350 ribu, sedangkan sepeda motor ada 1,4 juta lebih (Surabaya Post, 23 April 2009).

Sebagai makhluk sosial, saya sangat prihatin jika ada satu rumah bisa mengeluarkan ratusan ribu sampai jutaan rupiah setiap bulan untuk sekadar perawatan kendaraan bermotornya, kecantikan dan kemolekan tubuhnya, bahkan untuk memelihara burung perkutut atau hewan piaraan lainnya, tetapi tidak satu pun anak yatim yang diasuh ataupun disantuni.

Kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Siapa pun pasti membutuhkan uluran tangan orang lain. Harta yang kita miliki toh tidak akan selamanya dalam genggaman diri kita ataupun anak turun kita. Jika kita kaya, apakah ada garansi bahwa anak cucu kita juga sejahtera seperti orang tuanya? Saat itulah mereka butuh bantuan orang lain. Maka di situlah budi baik sang orang tua akan menuai buahnya.

Lazimnya, setiap orang akan memperlakukan kita sebagaimana dia diperlakukan. Demikian pula anak-anak yatim. Jika mereka ditelantarkan maka jangan salahkan bila mereka bersikap acuh tak acuh atas lingkungannya. Sebaliknya, jika dirawat secara mulia nyaris sebagaimana kita merawat anak biologis kita, hampir pasti mereka akan membalasnya dengan kebaikan pula.

Maka dengan menyantuni yatim, berapapun nilainya, pasti memberi manfaat, bukan hanya bagi diri sendiri yaitu keberkahan rezeki dan kebahagiaan keluarga, lebih dari itu bagi bangsa negara ini. Dan alangkah eloknya, jika tindakan penyantunan yatim bisa tertata dan terkelola dalam “Gerakan Satu Rumah Satu Yatim”. Sebab, seperti dikatakan oleh Sahabat Ali bin Abu Thalib, “Al haqqu bi la nidhomin yaghlibuhu al bathilu binnidhomi (kebaikan yang tak terorganisir rentan dikalahkan oleh keburukan yang tertata rapi).

Menatap Nasib Generasi Bangsa

“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” demikian bunyi pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu pasal yang sama sekali tidak pernah terjamah oleh amandemen, dan memang haram diotak-atik. Pada ranah praktis, mungkin aturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Tilik saja betapa banyak warga di negeri ini yang gagal memenuhi hajat dasar hidupnya meliputi pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Ada sekian anak negeri menderita busung lapar, ribuan putra-putri bangsa tak kuasa menuntaskan pendidikan dasarnya, penggusuran hunian liar di kota-kota besar, dan kasus-kasus lain yang memiriskan hati jika dimaktubkan.

Namun sebagai konstitusi, aturan ini harus tetap dijaga apik. Setidaknya sebagai bahan pengingat terhadap para pengurus negara. Kemiskinan (ekonomi) adalah akar masalah utama pelbagai problem di atas. “Kefakiran itu cenderung pada kekufuran,” demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya orang miskin yang rawan menjadi “kafir” tetapi juga orang kaya dan aparat pemerintah. Kasus kematian Siti Khoiyaroh (4 Tahun) menunjukkannya.

Balita itu terjatuh saat bersama orang tuanya melarikan diri dari kejaran aparat Satpol Pamong Praja yang melakukan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Boulevard WTC, Surabaya pada 11/5/2009. Naas, gerobak bakso yang didorong ibunya terguling dan kuah panasnya mengguyur sekujur tubuh Khoiyaroh. Setelah dirawat selama tujuh hari, jiwanya tidak tertolong. Ya, kemiskinan mengakibatkan aparat negara melakukan dosa besar. Karena kecerobohan dan arogansinya, satu nyawa generasi bangsa hilang.

Membincangkan persoalan kemiskinan (ekonomi) memang rumit, alih-alih memberantas kemiskinan, seperti banyak digaungkan oleh para politisi. Ilmu sosial mengajukan tiga faktor utama penyebab kemiskinan yaitu tatanan sosial yang tidak adil dan menindas, mentalitas individu yang lemah, dan kombinasi antara dua faktor itu.

Kemiskinan sesungguhnya bukan hanya ekonomi, namun juga mental dan spiritual. Orang yang secara mental dan spiritual miskin maka berpola hidup malas dan pesimistis, tak heran bila selamanya akan miskin. Atau juga, orang yang secara ekonomi kaya tapi bermental miskin, sepanjang hidupnya terus merasa kurang. Lantaran malas, maka digunakanlah cara-cara pintas memupuk kekayaannya melalui jalur korupsi. Terlepas dari itu, kemiskinan ekonomi memang menjadi problem akut bangsa yang tak kunjung terselesaikan.


Kemiskinan Orang Tua, Keremangan Masa Depan Anak

Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasioanl) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk memertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.

Hasil survei sosial ekonomi nasional tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional terhadap 68.000 rumah tangga sebagai sampel, menyimpulkan bahwa 35.000.000 penduduk Indoensia adalah miskin. Rumah tangga dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu konsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang setiap hari dan kebutuhan perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jika dinominalkan, untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang harus mengeluarkan Rp 182.636 per bulan (www.bbc.co.uk). Artinya bila di bawah angka itu, maka individu dikategorikan sebagai warga miskin.

Itu angka nasional. Mari kita tilik konteks lebih sempit yakni Surabaya sebagai salah satu kota metropolis di Indonesia. Menurut buku “Surabaya Dalam Angka 2008” tercatat pada tahun 2007 ada 125.871 rumah tangga/keluarga miskin penerima subsidi langsung tunai. Semampir adalah kecamatan dengan penduduk miskin terbanyak. Lihat Grafis di bawah.

Lima Kecamatan di Kota Surabaya dengan jumlah penduduk miskin terbanyak

Kecamatan Jumlah RT Penerima Jumlah Total Penduduk

Semampir 16.606 188.779 Jiwa

Tambaksari 10.130 219.146 Jiwa

Simokerto 8.697 104.140 Jiwa

Sawahan 7.690 219.465 Jiwa

Dikutip dan diolah dari Surabaya Dalam Angka 2008, BPS Kota Surabaya 2008


Data lain diperoleh Al Madinah dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Keluarga Berencana (Bapemas KB). Pada tahun 2007, di kota Surabaya terdapat 121.134 keluarga yang tercatat sebagai penerima program Raskin (beras miskin). Sedangkan pengguna jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) sebanyak 458.662 jiwa.


Mengomentari fenomena kemiskinan di kota (urban poor) tersebut, Drs. Eko Haryanto, M.M, Kepala Bapemas KB, menilai bahwa faktor penyebab utamanya adalah rendahnya pendidikan masyarakat. “Di kota kompetisinya sangat ketat, siapa yang tidak memiliki keterampilan, dia tidak akan bisa bisa survive. Jadilah dia gelandangan, tinggal di pemukiman liar. Karena itu aktif pendidikan harus dimulai sejak dini.”

Menurut sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Negeri Jember itu, sebenarnya pemerintah kota sudah berusaha optimal. “Silakan Anda lihat, sarana dan prasarana publik di setiap wilayah tersedia. Di setiap instansi pemerintahan pasti ada program pro poor (pro kemiskinan: red). Adapun yang dilakukan Bapemas adalah memberikan pelatihan untuk orang-orang miskin. Untuk ibu rumah tangga misalnya, dibina agar bisa membantu suaminya berwirausaha,“ urai pria lima puluh dua tahun itu saat ditemui Al Madinah pada 13/05/2009.

Kemiskinan orang tua tak pelak berpengaruh besar terhadap masa depan anaknya. Program pendidikan dasar gratis sembilan tahun baru akan berjalan secara masif pada tahun 2009. Dan kalau boleh jujur, dengan persaingan kerja yang ketat dan lapangan pekerjaan yang tidak cukup luas, sekian juta anak bangsa tidak semuanya terwadahi. Pasti perusahaan membutuhkan lulusan yang memiliki skil dan keterampilan baik.

Nah apakah skil dan keterampilan itu sudah diberikan saat siswa menduduki bangku sekolah menengah pertama (SMP)? Apakah di tingkat SMP, anak didik sudah dibekali kemampuan untuk membangun kemandirian? Silakan Anda tilik kurikulum SMP. Karena itu, kiranya program pendidikan gratis sembilan tahun perlu dipikirkan ulang. Alangkah mulianya jika negara mampu menjamin pendidikan gratis hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi anak-anak tidak mampu.

Dengan diberlakukannya program Biaya Operasional Sekolah (BOS) saja, di kota besar seperti Surabaya, pada tahun 2007 terdapat sekian banyak anak usia sekolah yang harus drop out atau bahkan tidak mengenyam bangku sekolah. Simak tabel di bawah.

Kelompok Usia Tidak/Belum Pernah Sekolah Putus Sekolah

7-12 Tahun 0,45 %. 0,45 %

13-15 Tahun 1,01 % 8,13 %

16-18 Tahun 0,63 % 12,44 %

Persentase tersebut dihitung dari total penduduk usia 5-19 tahun adalah 23,99 % dari keseluruhan penduduk Kota Surabaya yang berjumlah 2.829.486 jiwa.


Selain itu Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya mencatat, pada tahun 2008 ada 693 anak terlantar dan 397 Balita terlantar. Drs. Dedik Sosialista, M.Si (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial) secara jujur menyatakan bahwa kondisi riil di lapangan mungkin lebih banyak dari angka itu “Jadi dulu sasaran survei adalah kelurahan dan RT/RW. Maka yang dihitung cuma anak-anak yatim dan fakir di lingkup rumah tangga. Sementara anak-anak yang diasuh di panti tidak didaftar,” ujar Dedik.

Sebagai penanggungjawab problem anak-anak terlantar, alumnus Magister Administrasi Publik Untag Surabaya itu menuturkan bahwa yang bisa dilakukan oleh Dinsos ialah pembinaan perilaku dan pelatihan kesejahteraan sosial. “Untuk tahun 2009 ini dikhususkan pada pembinaan mental dan pelatihan keterampilan dasar. Mereka ditumbuhkan motivasinya dan dirangsang agar jangan bermental tempe sehingga punya jatidiri,” tandasnya.

Namun menurut Dedik, pelatihan keterampilan tersebut tidak mengarahkan anak untuk menjadi profesional. Ia menerangkan, “Jika anak sudah masuk usia kerja yaitu 18 tahun akan dikoordinasikan dengan Dinas Ketenagakerjaan untuk diberi pelatihan keterampilan profesional.”

Masih tingginya jumlah anak terlantar di tengah menjamurnya panti asuhan di kota Surabaya menurut pandangan praktisi pengasuhan anak yatim dan dhuafa, Drs. HM. Molik, disebabkan oleh tiga faktor yaitu keterbatasan kapasitas panti, kemauan anak atau orang tua untuk tinggal di panti, dan ketiga kepedulian sosial masyarakat yang masih kurang.

Apa pun penyebabnya, si kecil generasi bangsa adalah tanggungjawab semua komponen masyarakat bukan hanya negara. Karena di tangan mereka lah, tongkat estafet pembangunan bangsa diwariskan. Orang tua yang miskin tidak boleh melahirkan generasi miskin sebab mendekatkan pada dosa besar. Masa depan anak haram suram, dan kelompok mampu lah yang berkewajiban mencerahkannya.

(Syafiq)

Ide Satu Rumah Satu Yatim; Tawaran Solutif

Anak yatim adalah problem sekaligus berkah. Problem, karena bertambahlah tanggungjawab negara dan masyarakat untuk menjamin segala hajat hidup anak bangsa yang ditinggalkan orang tuanya itu hingga mampu mandiri. Berkah, karena bisa menjadi ladang amal bagi setiap insan yang berkenan menyantuninya.

Definisi yatim kiranya tidak perlu diperdebatkan. Semua orang sepakat, anak yang ditinggalkan mati oleh orang tuanya dan belum mencapai usia akil baligh, itulah yatim. Sebagian orang berpandangan bahwa status yatim tetap disandang anak hingga ia mampu mandiri, mencari nafkah dan mengelola hartanya sendiri.

Pengertian kedua lebih berada dalam koridor etis, sedangkan makna pertama yang jamak digunakan adalah sebagai patokan hukum. Namun memang standar etika kerap melampaui cara pandang hukum yang baku dan kaku. Dan dalam hal penanganan anak yatim, takaran etis inilah yang kiranya harus dipakai.

Mengasuh yatim adalah mengantarkannya menuju kemandirian bukan sekadar untuk mencapai usia biologis akil baligh (untuk putra kira-kira umur 13-14 tahun. Sedangkan putri usia 10-11 tahun). Buat apa mengasuh yatim sejak kecil tetapi melepaskannya pada saat usianya yang masih sangat belia dan belum sanggup berkarya? Orang Jawa akan bilang ”nanggung banget!”

Untuk itulah Yayasan Al Madinah mengusulkan ide satu rumah satu yatim kepada publik untuk melahirkan generasi yatim yang mampu berdikari dengan pengasuhan yang tuntas oleh satu keluarga kaya. Menurut Syarif Thayib, M.Si, Ketua Yayasan Al Madinah, ide ”Satu rumah satu yatim” bukan berarti satu keluarga mampu (kaya) harus menampung satu yatim.

Jika itu mampu dilakukan silakan. Namun jika tidak sanggup, maka cukuplah, seluruh hajat dasar satu anak yatim, meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan pendidikan ditanggung oleh satu keluarga mampu. ”Adapun pengasuhan hariannya, pasrahkan kepada lembaga sosial yang merawatnya, atau kepada keluarganya jika si anak masih tinggal di rumahnya,” terang Syarif, ayah lima anak itu.


Menuai Respon Positif

Ide ini ternyata memeroleh sambutan positif dari pelbagai kalangan, baik praktisi mapun akademisi. Dedik Sosialista misalnya. Dalam pandangan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Kota Surabaya itu, kalau ide satu rumah satu yatim bisa berjalan baik, barangkali tidak ada lagi permasalahan sosial tentang anak di Surabaya. Apalagi jika pengasuhan tidak harus dilakukan di panti asuhan.

Sebab, berdasarkan pengalaman Dedik, sebagian anak enggan tinggal di asrama. “Bukan cuma anaknya yang tidak mau, ibunya atau keluarganya juga tidak tega jika si kecil harus tinggal di panti bersama banyak anak. Karena itu tawaran pengasuhan nonpanti mungkin lebih mudah menarik simpati masyarakat miskin,” tukasnya.

Pandangan senada datang dari Moch. Hasyim, Ketua Yayasan Yatim Mandiri saat ditemui Al Madinah pada 08/05/2009. Ia melihat bahwa anak yang tinggal di panti mayoritas menyandang tiga problem yaitu ekonomi, sosial, dan psikologi. “Kalau kaya tidak mungkin anak dimasukkan ke panti. Secara sosial, semua orang tahu bahwa dia yatim. Sedangkan secara psikologis, dia kehilangan kasih sayang dari ayahnya atau bahkan keduanya. Nah panti harus bisa mengatasi tiga permasalahan itu secara baik, jika tidak sanggup maka lebih baik anak tetap bersama keluarga aslinya atau rumah tangga yang bisa mencurahkan pembinaan sebagaimana keluarga,” tutur bapak tiga anak itu panjang lebar.

Hasyim menyontohkan sistem pengasuhan yang dilakukan oleh salah satu yayasan sosial di Surabaya yang pernah ia kunjungi, ”Di situ anak-anak yatim tingkat SD ditampung di rumah pengasuh, pembina, dan pengurusnya. Ketika jam belajar mereka masuk ke pondok pesantren.” Dalam hematnya, hal itu dilakukan untuk memberikan rasa kekeluargaan. Anak bisa beraktivitas dan berkomunikasi seolah dengan keluarganya.

Nyaris senada dengan Hasyim, H. Muhammad Molik, Ketua Yayasan Nurul Hayat yang menaungi Asrama Anak Sholeh yang diperuntukkan bagi anak yatim dan Dhuafa, menggarisbawahi bahwa kebutuhan yatim bukan sekadar fisik. Lebih dari itu ada kebutuhan kasih sayang orang tua untuk membangun karakter diri agar menjadi orang-orang tangguh dan percaya diri. “Di sinilah kelebihan ide ini karena bisa merekatkan tali silaturahmi antara anak dengan orang tua asuh, selain bilangannya yang terukur” ujar pria empat puluh satu tahun itu.

Pengajar di STIE Perbanas Surabaya itu menambahkan, pola satu rumah satu yatim harus dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan kepada anak-anak dan program pemberdayaan lain. Misalnya, pelatihan keterampilan kepada seribu anak yatim yang didukung oleh seribu keluarga.

Untuk menggali pandangan dari akademisi, Al Madinah menemui Prof. Dr. Suryanto, guru besar psikologi sosial Unair Surabaya. Ia tampak sangat antusias atas ide ini. Namun ia mempersoalkan masih rendahnya tingkat kepedulian sosial masyarakat. Pria yang ditinggalkan ayahnya sejak usia tujuh tahun itu membagi masyarakat dalam tiga tipologi yaitu;

Warga yang sosiabilitasnya tinggi dan mengerti ke mana ia menyalurkan hasrat berbaginya, kedua, warga yang kepedulian sosialnya bagus namun tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya, dan ketiga warga yang sama sekali acuh tak acuh atas kondisi sosial. “Nah untuk tipe pertama dan kedua bisa menjadi sasaran atas ide ini. Sedangkan tipe ketiga menjadi obyek penyadaran,” terang Suryanto.

Di lain pihak, Dr. Bagong Suyanto memandang bahwa secara substansial gagasan ini bukanlah ide baru. “Program anak asuh kan sudah lama dicanangkan. Kelebihan ide satu rumah satu yatim ialah spesifikasi kelompok sasarannya yaitu anak yatim. Semua orang sepakat lah kalau yatim memang lemah secara psikologi maupun sosial” kata Sosiolog Unair itu. Bagong lebih mempersoalkan bagaimana lembaga yang menjalankannya mampu meraih simpati masyarakat. “Tujuan baik kalau tidak dilakukan oleh reputasi lembaga yang kredibel dan terpercaya tentu hasilnya negatif,” imbuhnya.

Salah satu keistimewaan ide “satu rumah satu yatim” adalah keluwesannya. Anak yatim bisa diasuh di rumah penyantun, asrama, atau juga rumah aslinya. Karena itulah patut dicoba.

(Syafiq)

Satu Rumah Tiga Yatim Potret Keluarga Nisma

Rumahnya ada di pinggiran utara kota Surabaya, tepatnya di Jalan Mrutu Kalianya 142 Semampir Surabaya. Semampir adalah kecamatan dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di ibu kota Jawa timur itu.

Di rumah yang sudah ditinggali sejak tahun 1982 itu, tinggal lima jiwa yaitu Nisma (46 tahun), tiga orang anaknya, dan satu cucu. Perempuan asli Bangkalan Madura itu ditinggalkan suaminya, Saladin, pada tahun 2006. Padahal kala itu tiga anaknya masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Anak saya semuanya sepuluh, tapi yang empat meninggal. Anak pertama hingga ketiga tinggal di Madura bersama bibi saya. Berat kalau saya tanggung semuanya. Satu masih SMA. Dan yang dua sudah berkeluarga,” tutur Nisma yang sudah menginjakkan kaki di Surabaya sejak usia lima tahun.

Untuk menafkahi anak dan cucunya, Nisma berjualan krupuk yang ia bikin sendiri di rumahnya. “Kalau pas laku ya bisa tiap hari produksi, kalau sisa terkadang bisa sampai setengah bulan,” sahut Nisma.

Kendati demikian ia cukup bernafas lega lantaran biaya pendidikan tiga anaknya di bangku SD dan SMP sudah ditanggung oleh Yayasan Al Madinah. “Cuma terkadang anak-anak masih harus beli buku, karena mereka lupa tidak mencatatkan keperluan itu kepada bagian Tata Usaha,” imbuhnya.

Gali lubang tutup lubang, itulah cara Nisma menyiasati kondisi ekonomi keluarga. Saat krupuknya tidak laku, sementara kebutuhan harian anaknya harus tercukupi maka ia berhutang ke tetangganya. Namun ketika ada rezeki, ia pasti melunasinya.

Ia tidak pernah menyerah walaupun harus menafkahi tiga anak yatim. “Ya pasrah lah, kan hidup ini ditanggung sama Yang Kuasa. Meski berputar ke sana sini ya harus tetap dilakoni,” tandas perempuan yang hanya sempat mengenyam bangku pendidikan hingga kelas 5 SD itu.

Ia bersyukur karena para tetangga sangat peduli akan kondisi keluarganya. Ia mendapatkan hibah beras dari penduduk yang dikumpulkan oleh pengurus masjid, meski rentang waktunya tidak pasti.

Nisma tidak memiliki kartu keluarga miskin (Gakin) karena tidak sempat mengurusnya di kelurahan. Karena itu pula ia tidak menerima jatah beras miskin (Raskin) dan juga Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat). “Jadi kalau mau berobat repot. Padahal saya mengidap penyakit paru-paru. Alhamdulillah sekarang membaik setelah meminum jamu-jamuan,” terang Nisma yang menikah saat umur empat belas tahun. Ia beruntung masih menerima bantuan langsung tunai (BLT), meski kita tahu jumlahnya tak seberapa.

Di tengah gemerlapnya kota metropolitan Surabaya, Nisma hanyalah salah satu. Di sudut-sudut lain masih banyak yang lebih parah kondisinya dari Nisma.

(Suud & Syafiq)

Dari Wacana Menuju Gerakan

Teori tanpa praktik adalah sia-sia. Beranjak dari prinsip itu, “satu rumah satu yatim” tidak boleh berhenti pada dataran gagasan belaka namun bisa menjadi sebuah gerakan bersama. Katakanlah, jika seluruh panti asuhan di kota Surabaya yang dalam rekapitulasi Dinas Sosial tahun 2008 berjumlah 116 unit, berkenan mematangkan dan mengampanyekan ide ini, maka lambat laun wacana ini bisa menjadi gerakan sosial.

Harapannya, tentu bisa menimbulkan dampak sosial yang lebih besar, dan terlepaslah ribuan atau bahkan jutaan yatim dari problem kemiskinan ekonomi yang membelitnya. Dengan demikian masa depan para penerus pembangunan bangsa itu bisa lebih cerah.

H.M. Molik yang mendirikan lembaga pengasuhan anak yatim dan dhuafa sejak tahun 2001 sangat setuju jika gagasan ideal tersebut disuarakan dan dikampanyekan secara bersama oleh lembaga-lembaga sosial. “Seluruh lembaga secara bersama menghelat peluncuran itu dengan memanfaatkan momentum bulan Muharam sebagai hari anak yatim. Jika sukses terlaksana tentu gaungnya lebih terasa,” ujar alumnus IKIP Negeri Surabaya (sekarang Unesa) itu saat ditemui Al Madinah pada 11/05/2009.

Sebagai Trainer kewirausahaan, ketua Yayasan Nurul Hayat itu menganalogikan upaya kampanye “satu rumah satu yatim” layaknya barang dagangan. Dalam hemat Molik, “ide dan substansi yang baik tanpa kemasan menarik tidak akan dilirik orang. Ide yang kurang bagus, dijual oleh sales pintar, dengan kemasan pemasaran menarik bisa laku keras. Apalagi kalau ide bagus, kemasan memikat, dijual oleh sales yang cerdas.”


Menggerakkan Kedulian Sosial

Salah satu inti dari ide “satu rumah satu yatim” adalah memantik kesadaran masyarakat bahwa problem anak yatim bukan hanya tanggungjawab negara seperti termaktub dalam pasal 34 UUD 1945, tetapi tanggungjawab seluruh umat manusia sebagai makhluk sosial.

Prof. Dr. Suryanto, alumnus program Doktoral UGM Yogyakarta, lebih menekankan tentang metode penyadaran itu. Baginya, ide “satu rumah satu yatim” adalah pengejewantahan dari prinsip charity (berbagi) yang berkaitan erat dengan kepekaan sosial individu dan pemahaman agama yang utuh.

“Beragama tidak hanya menjalankan rukun Islam an sich tetapi juga penanaman nilai dalam laku kehidupan. Jadi keyakinan dan perbuatan itu sejalan. Beragama tentunya tidak hanya dengan amal perseorangan tetapi juga menular pada laku dan roso sosial,” tandas Suryanto berargumen.

Dalam pemikiran pria asli Ngawi itu, keteladanan dari tokoh agama dan masyarakat sangat penting. Melalui pengajian, kesadaran itu disosialisasikan. Bahwa membantu orang lain itu memberikan manfaat bagi dirinya. Pesan tentang keikhlasan dan pengabdian pada umat akan membawa keberuntungan di hari akhir, juga harus disampaikan. “Ya ke depan sebagai sangune mati lah,” tambahnya.

Hanya saja, Suryanto menekankan, ketika ide “satu rumah satu yatim” mulai menuai respon positif dari khalayak maka serahkan saja kepada setiap orang berapa kemampuannya. “Tidak perlu donatur dipatok harus sekian. Fleksibel saja. Dia kuatnya menanggung berapa berapa anak dan mau menginfakkan nominal berapa, biarkan. Toh itu kan sudah menjadi sertifikat akhirat mereka,” tukas bapak lima putra itu.

Berbeda dengan ahli psikologi sosial itu, Bagong Suyanto, Koordinator Bidang Kemasyarakatan Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur, lebih menitikberatkan pada mekanisme praktiknya. Lembaga yang menggagas dan menjalankan menurutnya harus didukung oleh figur dan rekam jejak yang baik. Ia melihat, pihak swasta sebenarnya punya kepedulian. Buktinya ketika terjadi bencana, media massa yang menyelenggarakan dompet bencana bisa meraup sumbangan dalam jumlah besar.

‘Itu karena media massanya terpercaya. Kan tidak serta merta orang bisa percaya akan ide apa pun termasuk satu rumah satu yatim itu. Karena itu langkah awalnya, lembaga yang menjalankan harus punya kredibilitas yang baik di mata publik dan menjunjung etika moral. Sehingga banyak orang mau menyalurkan dana ke organisasi tersebut. Sekarang ini kan modus penipuan beragam,” terang Bagong panjang lebar.

Menjadi lembaga terpercaya. Inilah pekerjaan rumah masing-masing organisasi sosial jika ingin cita-cita mulianya didukung banyak orang

(Syafiq)

Menuju Lembaga yang Amanah


Ketika berbicara di depan forum musyawarah panti asuhan Islam, H.M Molik, Ketua BKSPAIS (Badan Koordinasi Panti Asuhan Islam) Surabaya, ditanya oleh salah satu peserta, “Lho pak, kalau semua kita laporkan, nanti ketika donatur tahu dana kita besar, bisa-bisa mereka enggan menyumbang.”

Akuntabilitas itulah salah satu kunci menarik simpati masyarakat terhadap lembaga pengumpul bantuan sosial. Sangat wajar bila penyumbang ingin tahu ke mana infaknya disalurkan, dan memastikan bahwa donasinya benar-benar tepat sasaran, karena itu bernilai ibadah baginya.

Mendapati pertanyaan di atas, jawaban Molik sangat menenarik. Dalam hematnya, sudah bukan zamannya orang menyumbang karena belas kasihan. Mereka menjadi donatur karena lembaganya amanah. “Ini kan problem mind set. Selama ini mereka menganggap, orang menyumbang lantaran prihatin. Padahal tidak,” tegas pria kelahiran Madura itu.

Persoalan amanah, akuntabilitas, dan kredibilitas lembaga menjadi penekanan Bagong Suyanto, pakar sosiologi Surabaya. Baginya, titik krusial dari gerakan filantropi semacam “satu rumah satu yatim” terletak pada institusi yang menggagas dan menjalankan program.

“Apakah memiliki reputasi dan kredibilitas yang baik di mata publik? Masyarakat mau terlibat aktif dalam aksi-aksi filantropi, hanya saja lembaga harus memberi jaminan dan kepercayan pada mereka. Ini zaman serbakontraktual,” tandas Bagong. “Sebagai langkah awal meyakinkan masyarakat, salah satu caranya ialah melibatkan figur-figur publik,” imbuh dosen Fisip Unair itu mengusulkan,

Dalam pengamatan Suryanto, pakar psikologi sosial, sebenarnya dana sosial seperti zakat, infak, dan sedekah, jika mampu dikumpulkan dan dikelola secara baik, berpotensi menuntaskan problem kemiskinan karena nominalnya yang sangat besar. Agama apa pun pasti mengajarkan pemeluknya untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jika visi misi itu disatukan tentu berdampak luar biasa.

“Tetapi persoalannya, siapa yang hendak menyalurkan? Harusnya negara sebab punya legalisasi. Cuma memang negara seringkali tidak efisien dan efektif karena terlalu banyak level. Sehingga donatur khawatir, bantuannya banyak tersedot untuk biaya pengelolaan, dan sebagainya,” ungkap mantan psikolog tim Persebaya itu.

Dalam Islam, ‘amil (pengelola dan penyalur) memang berhak memperoleh bagian atas dana sosial tersebut lantaran jerih payahnya. Tetapi itu pun sekadar sebagai uang pengganti lelah, dan tidak boleh melebihi jatah penerima yang lain. Secara spesifik mungkin untuk biaya transportasi dan akomodasi selama proses penyaluran bantuan.

Meminimalisasi biaya pengelolaan dan penyaluran menjadi kewajiban pengurus lembaga sosial. Namun menurut Molik, “Seseorang dimintai tanggungjawab kan harus ada reward buat dia. Jangan sampai ironis, orang dituntut memikirkan bagaimana menyejahterakan umat, sementara dia dan keluarganya belum berdaya.” Persoalan besarnya, ketika komitmen itu diusung, bagaimana menyejahterakan para ‘amil tanpa mengambil dana infak yang diamanatkan kepada lembaga?

“Untuk itu lembaga yang kami kelola mendirikan unit usaha untuk menyejahterakan karyawan dan menutup biaya operasional yayasan. Dengan demikian, baik anak yatim dan dhuafa, karyawan, serta donatur tidak ada yang terzalimi,” ujar Molik, ketua Yayasan Nurul Hayat.

Memberdayakan ≠ Memanjakan Yatim

Seorang pengusaha pom bensim bertemu dengan salah seorang pengasuh panti asuhan besar di Surabaya. Ia bilang, dirinya membutuhkan operator pengisian. Sembari berniat memberdayakan anak-anak yatim, pengusaha itu meminta dikirimi tiga anak yatim asuhannya yang sudah lulus SMA.

Sayangnya di lembaga yang ia kelola belum ada anak seusia itu. Ia pun menawarkan kepada lembaga lain, dan gayung pun bersambut. Dikirimlah tiga anak purnaasuh menjumpai pemilik pom bensin itu. Apa lacur, empat hari berikutnya mereka kembali ke panti asuhan. Oleh pengasuh ditanya, “Kenapa pulang Nak?” jawabannya enteng, “Kerjanya terlalu berat.”


Sahutan ringan tersebut sesungguhnya menyuratkan dan meninggalkan tugas berat bagi para pengasuh dan pengurus panti asuhan. Ternyata setelah singgah sekian lama di panti, menerima fasilitas ini dan itu, mengakibatkan lemahnya etos kerja dan kemandirian anak.

“Keinginan kita untuk memuliakan anak yatim dan dhuafa bisa menjadi bumerang, jika tidak disertai program pemberdayaan yang tepat. Ini PR berat bagi kita,” tukas Molik, pengasuh Asrama Anak Sholeh Surabaya.

Suryanto, dosen psikologi Unair berpendapat, seharusnya anak yatim memang tidak perlu dibantu terlalu banyak. Hal terpenting ialah mereka diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri. “Karena kalau dibantu, orang menjadi ketergantungan. Apalagi jika dia distigma sebagai yatim, dan dibantu dengan terang-terangan, jelas akan memengaruhi konsep dirinya yang bisa berdampak negatif,” tandasnya.

Yayasan Yatim Mandiri Surabaya menanggulangi problem di atas dengan mengadakan pendidikan keterampilan selama setahun bagi anak-anak yatim purnasuh (lulus SMA). “Mereka ditampung 24 jam. Harapannya, keterampilan, mental, dan wawasannya terasah. Setelah itu kita carikan pekerjaan, agar mereka tidak menggandol lagi kepada orang,” ujar Moch. Hasyim, Direktur Mandiri Entrepeneurship Center (MEC), lembaga penyelenggara program.

Cara lain yang dikemukakan Hasyim adalah menyatukan panti dengan pesantren. Pondok pesantren terbuka untuk umum, namun juga menerima yatim. Khusus anak yatim dibebaskan dari segala biaya dengan sistem subsidi silang. Hal itu diamati pria berkaca mata itu dari sebuah lembaga pendidikan nonformal di Surabaya.

“Dalam perjalanan pendidikan, anak-anak yatim berkembang bagus. Karena di situ terpacu untuk berkompetisi belajar. Karena anak berangkat ke pesantren pasti tujuannya belajar. Maka semangat belajar anak yatim jadi lebih tinggi, karena bisa mengikuti program pendidikan tanpa ada pembedaan dengan anak-anak umumnya,” jelas Hasyim.

Ya, memberdayakan yatim memang tidak sama dengan memanjakannya!

Memelihara Anak Yatim


Oleh: Mim Saiful Hadi


“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama *Maka itulah orang yang menghardik anak yatim. *Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. *Maka celakalah orang yang shalat. *(Yaitu) orang yang lalai terhadap shalatnya. *Yang berbuat pamer. *Dan enggan memberi bantuan.” (Qs. Al Maa’uun)




Surat al Maa’uun sangat menarik direnungkan maknanya, karena membahas tentang kesungguhan atau integritas seorang muslim dalam menyatakan ke-Islamannya. Allah menempatkan kepedulian terhadap anak yatim menjadi indikator pertama. Yakinlah ada hikmah besar yang akan Allah berikan kepada manusia jika bersedia mempedulikan anak yatim, mengapa?

Sejenak kembali ke masa Rasulullah Saw dan Sahabat, di mana perang demi perang terus berkecamuk, korban demi korban terus berjatuhan, banyak para istri menjadi janda dan banyak pula anak menjadi yatim, di tinggal syahid oleh suami atau ayahnya. Tetapi dari berbagai kisah yang ada, tidak satu pun ditemukan dari mereka yang hidup terlantar dan terlunta-lunta, para sahabat bersegera untuk menyantuni anak-anak yang ditinggalkan ayahnya bahkan menyunting para istri yang ditinggalkan. Hal ini merupakan realitas sosial yang sangat indah, di mana seseorang tidak membiarkan orang lain bersedih menanggung kesulitan hidup sendirian, tenggelam dalam kesedihan dan keterpurukan.

Sejenak mari lihat dengan mata hati yang jernih terhadap apa yang terjadi saat ini jika apa yang kita lakukan adalah membiarkan anak-anak yatim dari saudara-saudara kita hidup berkeliaran di jalan-jalan dan lorong-lorong, kemudian mengemis dan meminta-minta kepada setiap pejalan yang ditemui kemudian bergaul dengan lingkungan yang tidak terkontrol. Padahal anak-anak yang tumbuh kembang tanpa mendapat asupan kasih sayang yang cukup dari orang tuanya akan berakibat terhadap kesehatan jiwa raganya.

Maka saat mereka tumbuh dewasa dan memiliki kekuatan melakukan apa saja untuk mencapai keinginannya, sementara mereka tidak ada yang mengarahkan, memberinya kasih sayang dan merawatnya, niscayalah mereka akan menjadi sampah masyarakat, membahayakan kehidupan masyarakat, di tangan merekalah kemuliaan ajaran Islam tercemarkan.

Maka Maha Benar Allah atas segala firman-Nya, bahwa orang yang menelantarkan anak yatim sama artinya mendustakan agama, mereka menodai kemuliaan ajaran Islam dengan menjadikan anak-anak muda penerusnya tanpa pendidikan dan tanpa kasih sayang.

Memelihara anak yatim bukanlah perbuatan yang mudah untuk dikerjakan. Yang membuat berat sebenarnya bukan karena mereka anak yatim, tetapi karena derajat yang dijanjikan oleh Rasulullah Saw sangat tinggi bagi siapa yang bersedia memelihara anak yatim. Beliau mengumpakan seperti dua jari bersebelahan yang sedang menunjuk, bayangkan manusia penuh dosa dapat bersanding di surga dengan Rasulullah Saw yang penuh kemuliaan sedekat dua jari bersebelahan, Subhanallah.

Saya mempunyai seorang kawan yang sering berkeluh kesah tentang puluhan anak yatim yang diasuhnya, sangat nakal, sangat rewel, sangat manja, sulit dibina, sulit diarahkan, tidak tahu balas budi, dan segudang sebutan negatif lainnya. Tak bosan-bosannya ia menceritakan ulah nakal anak-anak yang diasuhnya, bahkan saking jengkelnya tak jarang dia memukulnya dengan tangan atau alat sekenanya, bahkan saat kemarahan dan kejengkelannya memuncak kalimat yang sering dikatakan adalah “Kalau kamu tidak saya asuh di sini kamu tidak hidup seperti sekarang.”

Bisakah dirasakan nafsu apa yang menguasai diri kawan saya ini, atau bagaimana cara pandang dirinya terhadap si yatim. Jika merasa saya lah yang berkuasa, anak yatim lemah, atau saya lah yang kaya anak yatim miskin, maka itu adalah nafsu ‘ananiyah. Jika nafsu ini yang merasuki hati maka sia-sialah semua jerih payah yang dilakukan, keberhasilan duniawi yang mereka capai adalah simbol-simbol semu yang menjerat di hadapan Allah, bahkan harta yang dikumpulkan dan disalurkan kepada mereka tak ubahnya “baju pamer’” yang akan membakar habis tubuh kelak di akhirat. Kemegahan asrama, rumah tinggal atau pemondokan yang dibangun adalah sumber kesombongan yang dibanggakan, ke manakah akhir semuanya, siksa api neraka yang membara tempatnya.

Memelihara anak yatim dengan modal rasa belas kasihan sangat tidak cukup, karena saat amarah datang rasa kasihan akan hilang seolah tak pernah ada. Atau karena merasa hartanya banyak, juga tidak cukup, karena kebutuhan terbesar anak yatim untuk tumbuh kembang dan fight dalam mengarungi kehidupan bukanlah harta. Bahkan pada kondisi tertentu “keberadaan” adalah identik dengan kemanjaan sementara “kekurangan” adalah peluang untuk berjuang.

Modal besar yang harus dimiliki adalah niat yang lurus. Artinya bebaskanlah diri dari semua kepentingan kecuali untuk ibadah kepada Allah, dari awal, saat di tengah dan di akhir perjuangan. Karena hadiahnya besar maka godaannya pasti besar, jangan berfikir bahwa niat selesai di awal, niat harus menjiwai seluruh aktivitas yang dilakukan, niat adalah ruh yang menghidupkan dan mematikan sebuah amaliah, ruhul ibadah menghidupkan amal ibadah, tapi ruhul ma’isyah (keinginan mencari kehidupan) akan menghidupkan amal ma’isyah. Agar lurusnya niat tetap akan terpelihara maka biasakanlah membersihkan diri dengan banyak beristighfar serta merenungi semua yang dikerjakan. Baik pula dilakukan dengan memelihara kebiasaan saling menyampaikan nasehat satu sama lain, dan yang menyempurnakan adalah perilaku jujur. Kejujuran lah yang akan menyinari jalan lapang di masa depan.

Adapun modal penyertanya adalah organisasi yang baik dan tata kelola yang bertanggung jawab (amanah), insya Allah dengan ini semua anak yatim yang diasuh seberapa pun banyaknya mereka akan menjadi perisai yang melindungi para pengasuh dari siksa api neraka yang pedih. Semoga Allah memberi kekuatan dalam memelihara keistiqamahan amal shalih kita.

Memberdayakan Yatim; Menumbuhkembangkan Pikiran Kritisnya

Oleh: Aun Falestien Faletehan, MHRM

Benua Afrika memiliki pepatah terkenal tentang anak yatim, “Kud mbelawa a hada a hwad”, makna harfiahnya, air mata yatim selalu menetes ke dalam. Ungkapan ini untuk menggambarkan betapa pedihnya kehidupan anak tanpa orang tua. Mereka acapkali tidak dihiraukan, ditimpa ketidakadilan sosial namun tidak kuasa melawan. Hanya menangis. Itu pun tumpahnya tidak meleleh di pipi, tapi ke dalam rongga badan dan masuk ke perut yang sering lapar keroncongan. Orang luar tidak tahu kalau anak yatim meringis kesakitan, karena sakit itu tidak tampak dari luar.



Anak yatim adalah fenomena sosial yang merajalela, tapi ironisnya mereka pun tercampakkan di mana-mana. Definisi yatim bagi khalayak umum cukup simpel. Sederhana dan jangan pula dirumitkan, karena nasib mereka sudah terlanjur sering diperumit. Yatim itu tidak berayah, kalau tidak berayah-beribu disebut yatim piatu.

Logikanya, ayah atau ibu berfungsi sebagai penopang ekonomi keluarga. Maka kehilangan salah satu dari keduanya jelas menggoyahkan perputaran ekonomi rumah tangga. Efeknya pun jatuh ke anak-anak. Dari sini, bertebarlah amal-amal saleh tentang ‘menyantuni anak yatim’. Artinya, menggantikan fungsi ‘kebapakan’ agar kehidupan perekonomian anak yatim tidak terganggu.

Islam, dan juga semua agama-agama yang lain, secara gamblang dan terus-menerus menganjurkan umatnya untuk menyantuni anak yatim. Konon, KH. Ahmad Dahlan secara istiqamah mengajarkan surat al-Ma’un kepada para jamaahnya. Beliau tidak berani berpindah surat sebelum seluruh materi surat tersebut benar-benar diamalkan, tidak hanya sekedar dilafalkan dan dihafalkan. Salah satu poin penting dalam surat itu adalah tentang keharusan menyantuni anak yatim.

Anak yatim tersantuni bila perekonomian mereka diperhatikan. Praktek umum yang dilakukan masyarakat memang menunjukkan bahwa memberikan uang, makanan, sarung, kopyah, dan sejenisnya adalah yang lazim diterima anak yatim. Tetapi sebetulnya hal lain yang sering diabaikan adalah mengajari mereka tentang cara hidup. Membelikan es cendol bagi anak kecil hanya menghilangkan dahaganya sesaat. Namun mengajarinya tentang cara menghadapi kehidupan akan memberikannya ilmu yang bermanfaat sepanjang hidup.

Pertanyaan mungkin muncul. Siapa yang paling bertanggung jawab untuk mendidik anak yatim? Keluarga terdekat barangkali jawaban yang pas. Tatkala sosok Muhammad SAW ditinggal bapaknya, Abdul Muthalib selaku kakek langsung mengasuhnya. Selepas sang kakek mangkat, pengasuhan Nabi kaum muslim ini pun seketika beralih ke tangan pamannya, Abu Thalib.

Akan tetapi bila melihat struktur komunitas di masa sekarang, yang paling bertanggung jawab terhadap eksistensi anak yatim sejatinya tidak hanya dibebankan pada kerabat dekat saja. Seluruh masyarakat sekitar pun harus bertanggung jawab terhadap kehidupan anak yatim. Kalau melihat teori sosial keluarga, konsep dasar keluarga adalah sebagai institusi sosial yang menyatukan beberapa orang untuk saling peduli antara satu dengan lain. Keluarga, lengkap ataupun tidak lengkap jumlah anggotanya (termasuk keluarga yatim di dalamnya), adalah lembaga kecil yang menjadi bagian dari institusi besar (negara).

Tiap-tiap keluarga punya jaringan yang konkrit, bersosialisasi dan saling membutuhkan agar mampu menggerakkan institusi yang lebih besar, seperti organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan. Konsekuensinya, masing-masing keluarga harus pula peduli terhadap keluarga lain.

Lantas, anak yatim pun semestinya menjadi kepedulian semua umat. Tugas mendidik mereka adalah tugas umat. Makanya banyak gerakan-gerakan penopang seperti gerakan “satu rumah satu yatim”. Artinya, setiap keluarga mampu setidaknya mengasuh dan mendidik satu anak yatim. Hal-hal semacam inlah yang semestinya disemarakkan. Seperti yang dikatakan Karl Menninger, “What’s done to children, they will do to society (Apa saja yang kita lakukan terhadap anak-anak, mereka akan melakukan yang serupa terhadap masyarakat). Kita memperlakukan anak yatim dengan baik, mereka pun kelak akan membalasnya dengan pembangunan bangsa. Dari sini, salah satu yang penting dipertimbangkan dalam mendidik anak yatim adalah mengajarinya berpikir kritis. Ini adalah bekal penting. Di mana pun, asalkan kita kritis, pasti sulit dibohongi.

Untuk anak yatim, yang pertama kali patut untuk dilakukan adalah menanamkan keyakinan kepada mereka semenjak dini bahwa yatim pada hakikatnya tidaklah berbeda dengan anak-anak lainnya. Secara struktur keluarga, ia berbeda karena kehilangan orang tua, tetapi hal ini tidak perlu ditekankan. Yatim mungkin berbeda, tapi tidak perlu dibeda-bedakan dengan anak lain.

Pembedaaan, lebih parah lagi kalau diskriminasi, justru akan membuat anak yatim menjadi minder. Sikap rendah diri bisa saja timbul karena, dengan adanya pembedaan, anak yatim merasa selalu diingat-ingatkan kalau ia tidak memiliki orang tua yang lengkap. Tidak ada bapak yang selalu mendidik dan mengawasinya. Tidak ada ayah yang membelikannya mainan, tidak ada papa yang mengajaknya piknik ke taman bermain.

Sebaliknya, justru harus sering ditanamkan pada pikiran mereka bahwa yatim adalah kelompok spesial. Dengan tidak adanya orang tua di sebelahnya, maka akan banyak kesempatan untuk selalu melakukan kegiatan secara mandiri. Dengan demikian, akan lahirlah self esteem, kepercayaan diri yang tinggi dan optimisme. Kemandirian diiringi dengan pembelajaran berpikir kritis dan positif, adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Keberanian untuk kritis bisa dimulai dengan mengajari sikap berani untuk tahu hal baru. Mungkin ini bentuk sederhana dari konsep pencerahan Kant, sapere aude (dare to know); beranilah menggunakan pemahaman sendiri. Seringkali kegagalan seseorang terjadi bukan karena kurang daya pikir, tapi karena karena tidak berani mencoba mengekspresikan ide-ide barunya. Maka tunjukkanlah anak yatim sesuatu yang belum pernah ia ketahui sebelumnya, sehingga ia lebih mafhum tentang luasnya ayat-ayat kauniah di semesta ini. Kata anak sekarang, biar gaul, kreatif dan nggak kuper.

Berpikir kritis dan positif harus selalu dibarengkan, biar tidak menjadi sekedar bentuk protes yang tidak beralasan. Berpikir kritis tanpa positive thinking biasanya akan melahirkan perilaku pemberontak yang merasa menang sendiri dan tidak mau menghargai lagi perbedaan dengan orang lain. Anak kecil biasanya bilang, “Pokoknya aku maunya begitu, titik.” Berpikir positif manfaatnya adalah untuk memiliki empati, sikap hormat terhadap pendapat orang lain, dan senantiasa berlatih melihat hikmah di balik setiap peristiwa.

Masih segar ingatan tentang film Slumdog Millionaire yang berkisah tentang anak yatim India yang berhasil memenangkan kuis Who wants to be a millionaire. Ada dua anak yatim bersaudara yang menjadi pusat perhatian di film itu. Dua karakter yatim yang berbeda satu sama lain. Dua-duanya berpikiran kritis, tapi hanya satu yang berpikiran positif bahkan terhadap perilaku jahat saudara kandungnya itu. Hasil akhir pun bisa ditebak, seperti halnya menjadi ciri film pop; yang baik selalu dibalas oleh Tuhan secara baik pula. Jamal, si yatim yang baik, akhirnya menjadi juara dalam kuis tersohor itu. Saudaranya, Salim, mati mengenaskan ditembak teman-teman sindikatnya.

Walhasil, mengajarkan pola berpikir kritis dan positif terhadap yatim mesti disamakan pentingnya dengan memberikan sarung dan kopyah sebagaimana rutinitas kegiatan menyantuni anak yatim. Harapannya, Indonesia tidak lagi mengenal masa depan muram buat yatim, karena keluarga yatim bisa mandiri meski perlu diperhatikan oleh keluarga-keluarga lain. Kalau Afrika mengenal ungkapan ‘mata air anak yatim menetes ke dalam’, maka kita, sebagai bangsa yang dikenal santun, idealnya menciptakan ungkapan ‘air mata bahagia anak yatim menetes ke dalam dan ke luar’.

Matikan Tv di Rumah Anda!


Televisi di Indonesia, seringkali diposisikan sebagai pendidik, penghibur, bahkan baby sitter bagi anak-anak Indonesia. Bahkan bagi anak yang ibunya bekerja di luar rumah, TV menjadi pengganti peran ibunya, pembuai di mana anak dihibur sampai tertidur di depan TV, pendongeng di mana anak betah sampai berjam-jam menonton


Tak heran bila anak-anak Indonesia bertumbuh dengan nilai-nilai dan pengetahuan yang didapatnya dari nilai televisi. Persoalan besar menghadang bangsa Indonesia bila masyarakatnya memakai pola ini dalam merawat anak-anaknya. Studi Dr. Jay Martin dari Universitas Southern California menghasilkan fakta memilukan. Dari hasil penelitiannya terhadap 732 anak selama beberapa tahun, anak yang menonton TV terpacu untuk berbuat kasar terhadap orangtuanya, berkelahi sesama anak, dan kejahatan remaja.

Temuan Jay ini membenarkan tudingan teori kultivasi yang dikemukakan oleh Prof. George Gerbner dari Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (Nurudin, 2003) bahwa televisi menjadi media atau alat utama di mana para penontonnya belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Akibatnya, apa pun persepsi yang terbangun di benak penontonnya, terutama anak-anak, ditentukan oleh TV. Melalui kontak dengan televisi, anak belajar tentang dunia, aktornya, nilainya, serta adat kebiasannya. Televisi menjelma menjadi pembentuk pengetahuan, sikap, dan nilai.

Nah, dengan banyaknya tayangan kekerasan yang kini marak di televisi swasta Indonesia, sama saja dengan menyerahkan anak-anak penontonnya kepada kekejaman dan keberingasan. Mengapa? Pasalnya anak akan menganggap bahwa kekerasan itulah yang sedang terjadi di masyarakat. Jadi, anak-anak akan menganggap perilaku kekerasan yang dilakukannya adalah hal biasa saja.

Dalam ilmu psikologi, anak usia 9-10 tahun belum mampu membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Akibat rangsangan tayangan TV, anak akan mengalami banyak benturan. Tak heran tayangan-tayangan amoral, bila diperkuat oleh realitas di lingkungan tempat anak tumbuh, bisa menjadi perilaku dan menanamkan pemahaman tentang apa yang ia lihat di televisi adalah benar.

Pada usia 14-15 tahun, anak masih punya kecenderungan perilaku yang tidak tetap. Setelah melewati proses meniru, mengidentifikasi, dan mengembangkan perilaku pada usia sebelumnya, pengaruh yang diterimanya sejak kecil lambat laun tertanam sedikit-sedikit. Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi "lingkungan simbolik" kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) menyebutkannya, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari, tetapi dunia itu sendiri.

Peneliti lainnya, Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illionis, Amerika Serikat, beserta timnya pernah mengadakan kajian yang cukup panjang mengenai dampak kekerasan televisi terhadap perilaku anak-anak. Mereka menemukan bahwa saat anak berusia 8 tahun dan pernah menyaksikan tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka cenderung tidak segan melakukan perbuatan jahat dan kejam.

Buktinya, di Amerika Serikat (AS) sendiri, penayangan tindakan kekerasan telah menyebabkan masyarakat negeri itu dilanda gelombang kejahatan dan ketidakamanan. Majalah mingguan Inggris Sunday Times menulis, "Meskipun AS memiliki 440 ribu polisi federal, setiap jam terjadi dua kali pembunuhan, 194 kali pencurian bersenjata, 10 kali pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak, dan 600 kali pencurian di rumah-rumah."

Dalam kondisi masyarakat seperti ini, Holywood bisa dianggap sebagai cikal bakal timbulnya kebudayaan kekerasan di AS. Bahkan Arnold Schwazeneger yang merupakan simbol kekerasan dalam film-film AS, malah berhasil terpilih sebagai Gubernur California, salah satu negara bagian terpenting di AS. Kondisi yang memprihatinkan ini juga membahayakan masyarakat dunia mengingat besarnya penyebaran film-film produksi AS di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia yang menjadi sasaran empuk peredaran film-film kekerasan Hollywood.

Berikut adalah beberapa akibat buruk tontonan kekerasan terhadap kondisi psikis anak.

Emosi Anak Terganggu

Masih mengacu kepada hasil penelitian Jay, anak yang sejak dini selama bertahun-tahun menonton tayangan mistis, akan tumbuh menjadi orang yang selalu ketakutan dan kelak ketika dewasa akan mengambil keputusan dengan emosinya saja. Menonton TV juga akan mengurangi kemampuannya untuk menyenangkan diri sendiri dan melumpuhkan kecakapannya mengemukakan pendapat secara logis dan sensitif.

Bagaimana tidak, kala menonton TV, tidak segan-segan untuk duduk di depan kotak ajaib tersebut selama berjam-jam. Hal ini cukup berbahaya bagi perkembangan karakter anak jika tidak terkontrol karena langsung masuk pada memori mereka dan memercayainya. Mereka akan lebih mudah merekam hal-hal yang menyenangkan dan berlangsung terus menerus. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya pengalaman, dan dalam benak mereka belum ada program penyaring.


Melumpuhkan Kemampuan Berpikir Kritis

TV menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis dan merusak kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan, demikian hasil penelitian Dharma Singh. Tetapi bahaya yang paling besar dari TV ialah mengalihkan perhatian orang dari membaca. Efek TV lainnya yang menakutkan dan juga efek kesibukan kita ialah tidak punya waktu untuk membaca. Membaca, menurut peneliti neurologis sangat menguntungkan otak. Tentu saja banyak bahan bacaan yang memperkaya secara intelektual, tetapi semata-mata membaca saja, tidak jadi soal apa isinya, sangat bermanfaat. Membaca memerlukan keterlibatan aktif pikiran dan imajinasi.


Mengganggu Kognitif Anak

Meletakkan televisi sebagai baby-sitter bagi anak usia dini sangat berbahaya baik secara fisik maupun psikis. Apalagi dalam waktu yang panjang, lebih dari dua jam sehari. Bagi anak-anak di bawah 3 tahun, menonton TV terlalu dini bisa mengakibatkan proses wiring (penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak) menjadi tidak sempurna. Pada anak-anak yang lebih besar, berpengaruh pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton TV tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan TV sudah lengkap dengan gambar dan suara.

Merusak Empati Remaja

Tidak hanya bagi anak-anak, bagi remaja, TV menyodorkan berbagai acara untuk menciptakan ketergantungan yang memaksanya menjadi orang lain di luar dirinya. Hal ini menjadikan remaja sebagai pribadi yang lentur, tidak mempunyai pengalaman empiris untuk meletakkan empati sosialnya. Kenyataan sosial di sekitarnya telah dikompres oleh media TV dengan memangkas kekayaan kemungkinan dan nilai yang terkandungnya. Demikian pula dalam pola pembentukan tipe idealitas, TV bisa menjadi pelaku atau sekedar agen perantara bagi munculnya konsep-konsep tertentu. Antara lain, perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan berambut lurus. Bagi remaja yang merasa cantik, akan berusaha meniru idolanya dan semua sifat baik dan buruknya. Sementara bagi remaja yang tidak merasa cantik akan merasa minder. (bersambung)

Nancy Elliot, Kunci Sukses Si Penemu Lampu

Kendati tak lama, Nancy pernah berprofesi sebagai pengajar. Ia tahu betul bagaimana cara mengajari anak-anaknya secara baik. Karenanya, ketika si bungsu, Thomas Alva Edison, dikeluarkan dari sekolah saat baru tiga bulan menjejakkan kaki di lembaga pendidikan tersebut lantaran dinilai terlalu bodoh oleh gurunya hingga tak mampu menerima pelajaran apa pun, sang ibu dengan sabar mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung.

Nancy Mathews Elliott adalah potret ibu yang dengan keyakinan kuat, tekun, dan cerdik berhasil mengantarkan Thomas sebagai pribadi unggul. Pernikahannya dengan Samuel Ogden membuahkan tujuh orang anak, salah satunya, Thomas yang ia lahirkan di Ohio Amerika Serikat pada 11 Pebruari 1847.

Al, begitu si bungsu biasa disapa, tak dapat bicara ketika usianya hampir 4 tahun. Namun setelah itu, ia mulai belajar dan meminta bantuan pada setiap orang dewasa yang ditemuinya. Bila mereka tidak tahu, maka Al kecewa dan bertanya “Why?” Tak berhenti di situ, saat berusia 7 tahun, Al kerap dimarahi gurunya karena banyak bertanya seputar hal-hal rumit.

Oleh gurunya, ia dianggap sebagai anak dungu dan stress. Pasalnya, ia tidak berpikir seperti anak-anak sebayanya Seandainya ilmu psikologi modern sudah tumbuh saat itu, Al mungkin dianggap sebagai korban Attention Deficit Syndrome (ADS) atau sindrom kurang perhatian.

Stigma buruk itu sama sekali tidak menyurutkan keyakinan Nancy bahwa Al adalah anak potensial. Betapa tidak, saat berusia 6 tahun, Al mampu mengerami telur ayam. Maka Nancy pun melakukan perlawanan atas keputusan sekolah. Bukan dengan cara unjuk rasa, namun memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison. Dengan latar belakang pendidikan formal yang cukup baik, ia menerapkan pengetahuannya pada anak-anak


Membangkitkan Kepercayaan Diri

Langkah awal yang ditempuh Nancy ialah memulihkan kepercayaan diri Al. Tekanan bertubi-tubi dari lingkungan sosialnya, tentu membuat kondisi mental si bungsu drop. Namun, ia tak sekali pun membiarkan situasi itu menjerat Al terus-menerus. Berkat sentuhan kasih orang tuanya Al sanggup menemukan jatidirinya. Ternyata anak ini cepat menyerap apa yang diajarkan ibu

Sang ayah, Samuel, memotivasi Al agar membaca buku-buku klasik yang bagus. Samuel memberinya hadiah 10 sen setiap kali selesai membaca satu buku. Saat berusia sebelas tahun, orang tua Al memperkenalkan dirinya pada perpustakaan setempat. Al lantas secara mandiri belajar di sana dan begitu keranjingan akan buku. Ia membaca buku-buku kuno yang terletak di rak paling bawah hingga rak tengah. Meski demikian, orang tua secara bijak mengarahkan Al agar lebih selektif terhadap buku bacaannya.

Setahun berikutnya, Al tidak saja telah melahap buku-buku sejarah dunia, buku-buku sastra, namun juga kamus lengkap dunia dan sejumlah buku praktek kimia. Sejak itu tersibaklah kegemaran dan bakat Al di bidang kimia dan elektronika. Nancy membelikan Al buku-buku seputar ilmu tersebut. Salah satu buku yang didalami Al menjelaskan bagaimana mempraktekkan percobaan kimia di rumah. Eksperimentasi yang mengantarnya pada penemuan spektakuler


Membebaskan Anak

Pada usia belasan, Thomas Alfa Edison terlihat layaknya orang dewasa. Kegemarannya pada buku sangat mempengaruhi kondisi mentalnya. Untuk menutupi kelemahan pada sisi sosialnya, sang orang tua memberi izin Al untuk berjualan koran, makanan ringan, dan permen di stasiun kereta api. Di lokasi lain Al berdagang buah-buahan dan sayuran.

Usia lima belas tahun menjadi titik balik Al. Setelah diterima bekerja sebagai operator telegraf dalam perang sipil Amerika, ia berkesempatan untuk memperbaiki kecepatan dan efisiensi sarana pengirim dan penerima kode morse. Ia pun mempraktekkan instrumen percobaannya yang didesain untuk memperbaiki alat tersebut.

Sampailah Al pada penemuan pertamanya yang disebut dengan pengulang otomatis (automatic repeater) yang mampu mengantarkan sinyal di antara stasiun yang kosong. Melalui alat itu, orang dengan mudah dan akurat menerjemahkan kode morse tanpa gangguan. Sayangnya ia tidak mematenkan kreasinya tersebut, sehingga terlangkahi oleh Alexander Graham Bell yang menemukan alat yang berfungsi sama dan mematenkan hak ciptanya

Al lantas melangkah pada eksperimentasi bola pijar listrik. Tahun 1880, ia dan teman sejawatnya menciptakan lebih dari tiga ribu teori untuk mengembangkan lampu pijar yang efisien. Lampu pijar bersinar lewat arus listrik dengan memanaskan bahan lempengan tebal yang disebut filament/kumparan kawat sampai cukup panas untuk membuat lampu itu bersinar.Percobaan itu berhasil mencatatkan namanya sebagai penemu lampu pijar elektrik.

Kini, anak yang pernah dicap sebagai “si dungu” oleh guru sekolahnya itu menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bidang elektronika. Sentuhan kasih orang tua terbukti memancarkan kekuatan luar biasa, terutama dari pihak ibu.

Dalam salah satu buku biografi Thomas Alfa Edison, si penulis mencatat “Ibundanya merupakan guru yang lengkap dan melakukan yang terbaik bagi muridnya. Beliau membawa Edison ke panggung belajar bagi dirinya sendiri, panggung belajar yang membuat hatinya tertarik dan terhibur. Beliau memberi dorongan semangat agar terus berjalan di bidang itu. Satu hal terbaik yang beliau lakukan terhadap anak yang luar biasa.”

Al sendiri memberi kesan terhadap Ibundanya “Ibundaku telah membentuk diriku. Beliau memahamiku dan membiarkan aku mengikuti bakatku.” Sayangnya, Nancy tak dapat menyaksikan kesuksesan anaknya. Ia meninggal pada tahun 1871 saat Al berumur 24 tahun karena serangan penyakit.

Kesabaran, keuletan, dan kasih sayang orang tua, dipadu dengan kecerdikannya membaca potensi sang anak adalah bekal terbesar untuk mengantarkan anak menjadi sosok yang mampu “mengubah dunia”.

(Oleh Suud & Syafiq, diolah dari: http://www.rri-online.com dan http://www.nps.gov)

Cara Mudah Menanggulangi Konflik dalam Pernikahan (bagian 1)


Karena minimnya respon dari pembaca maka rubrik Maestro Menjawab bersama Founder SEFT, Ahmad Faiz Zainuddin dihentikan. Kali ini dan seterusnya, Mas Faiz akan berbagi ilmu seputar metode meraih kebahagiaan (happiness). Konsultasi lebih lanjut bisa dialamatkan ke redaksimadinah@yahoo.com atau faiz_zain@yahoo.com. isi curhat Anda akan menjadi ulasan dalam rubrik ini.




Our Deepest Pain & Highest Happiness Always Come from Home

Cara Mudah Menanggulangi Konflik dalam Pernikahan (bagian 1)


Judul teratas saya kutip dari buku tentang keluarga paling laris sepanjang sejarah, The 7 Habits of Highly Effective Family dari Stephen Covey. Dalam puluhan kali training, saya bertanya pada peserta, benarkah statemen bahwa kebahagiaan tertinggi dan penderitaan terdalam selalu datang dari rumah tangga? Kebanyakan setuju.

Maka kalau serius membahas kebahagiaan (happiness), "keluarga" adalah salah satu bidang yang harus kita kuasai. Dan tema keluarga, pernikahan, pengembangan kemanusiaan adalah bidang studi yang saya geluti jauh sebelum menemukan SEFT.

Beberapa waktu yang lalu saya melihat ceramah Dr. John Gottman, peneliti utama dalam tema hubungan perkawinan. Ini mengingatkan saya pada sosok Dr. Gottman yang istimewa. Ia telah melakukan penelitian selama tiga puluh tiga tahun pada lebih dari tiga ribu pasangan. Dia pula yang mendirikan Love Lab (TM) atau laboratorium cinta di University of Washington.

Laboratorium ini sebenarnya adalah resort di depan pantai yang sangat indah. Para pasangan (sebagian adalah pengantin baru) dipersilakan tinggal beberapa minggu dan menikmati hari-harinya di sana. Namun di situ terpasang 4 kamera CCTV atas sepengetahuan sejoli tersebut. Dan di balik dinding resort, para peneliti mengobservasi interaksi dan pola komunikasi mereka.

Hebatnya, berdasarkan observasi atas ribuan pasangan dalam kurun waktu puluhan tahun (beberapa sejoli bahkan diamati perkembangan hubungan perkawinan mereka selama dua puluh tahun terakhir), Dr. Gottman dan rekan-rekannya mampu memprediksi apakah pasangan tersebut akan hidup bahagia, atau bersama tapi menderita, atau akan bercerai (bahkan bisa diperkirakan akan bercerai pada tahun ke berapa), dengan tingkat ketepatan prediksi lebih dari 90%.

Dan inilah temuan-temuan menarik dari penelitian Dr. Gottman dan koleganya:

· Pasangan yang bertahan lama dan bahagia adalah sejoli yang total komentar positif terhadap pasangannya minimal lima kali dari jumlah komentar negatifnya (misalnya lima kali memuji: sekali mengkritik)

· Pasangan akan bercerai jika jumlah kritikan : pujian adalah 1: 0,8. Jadi kalau jumlah kritikan Anda terhadap pasangan perbandingannya ialah 5:4, bisa diprediksi dengan ketepatan 90%, Anda akan bercerai atau minimal tetap bersama tapi menderita seumur hidup perkawinan anda). Apalagi jika total kritiknya lebih banyak.

Ada empat hal yang paling mudah dijadikan sebagai bahan prediksi perceraian atau penderitaan dalam perkawinan;

a. Criticism: suka mengkritik dan menyalahkan pasangan (kamu ini.....negatif). Lawan dari suka mengkritik bukannya diam –karena silent conflict alias memendam kemarahan adalah penyebab utama perceraian. Pasangan yang bahagia, kalau sedang tidak suka atas tindakan pasangannya, tidak mengkritik, tetapi bicara seperti ini: saya merasa.... saya berharap.... jadi bukan kamu itu ya.... kamu ini memang.... Mereka fokus pada apa yang mereka rasakan dan harapkan. Bukan menyerang pasangannya dengan kritikan pedas.

b. Defensive: pasangan yang bercerai, kalau ada konflik cenderung defensif. Ada dua cara defensif, pertama dengan menyerang balik, (enak saja kalau ngomong, kamu kan juga begitu....). Kedua dengan mengasihani diri (ya sudah, memang aku ini tidak becus). Pasangan yang bahagia, saat sedang bertikai akan mengambil tanggung jawab (oh, rupanya selama ini perhatianku berkurang padamu, maafkan aku ya, besok kita jalan-jalan deh....)

c. Disrespect & Contentment: merasa lebih superior dibanding pasangan, karenanya tidak menghormati pasangannya. Awalnya cuma di hati, akhirnya muncul dalam ucapan ketika sedang bersinggungan (dasar pemalas, suami tidak bertanggung jawab, memang kamu ini istri nggak becus...).

d. Stonewalling: pasangan yang bercerai atau menderita biasanya bersikap acuh tak acuh pada pasangannya, tidak menggubris, dan menarik diri dalam hubungan. Pasangan yang bahagia selalu memelihara ketertarikan pada pasangannya. Nah dari empat prediktor utama perceraian, ketidakhirauan ini yang paling berbahaya.

Pasangan yang bahagia memiliki kekaguman tertentu pada pasangannya. Kalaupun pada pasangannya secara obyektif tidak ada yang layak dikagumi, ia tetap memiliki ilusi positif atas sang kekasih. Sejoli yang langgeng, pandai memelihara kekaguman, rasa respek, dan apresiasi (suka mengucapkan terimakasih dan pujian).

Lalu bagaiamana agar perkawinan bahagia? (bersambung)

PT HARFAM JAYA MAKMUR, SOLUSI KEBUTUHAN KAYU ANDA

Kebutuhan dunia akan kayu yang terus meningkat, baik untuk pasar global maupun Indonesia, ternyata tidak mampu diimbangi dengan produksi kayu. Hal ini disebabkan perkembangan populasi dunia yang terus naik sementara pada saat bersamaan terjadi proses penyempitan hutan.

Penerapan bioteknologi untuk menghasilkan jenis kayu keras yang cepat tumbuh dan mengeluarkan hasil dalam tempo 5–15 tahun, akan meningkatkan produktivitas dan profitabilitas bagi industri perkayuan tanpa mengesampingkan manfaatnya untuk pelestarian kawasan hutan tropika yang terus-menerus mengalami kerusakan.

Salah satu keberhasilan dari penerapan bioteknologi tersebut adalah JATI EMAS (FGGT = Fast Growth Golden Teak). Jati Emas memiliki keunggulan antara lain daya tumbuhnya cepat, tingkat kelurusannya yang tinggi, juga warna kuning keemasan dengan seratnya yang lurus, sangat disukai konsumen luar negeri.

Selain itu sistem regenerasi pada tanaman Jati Emas sangat baik, artinya penanaman bibit Jati Emas cukup dilaksanakan satu kali dalam satu areal penanaman. Hal ini disebabkan pada saat pohon Jati Emas ditebang akan muncul tunas-tunas baru pada sisa tebangan. Pohon Jati Emas yang tumbuh pada generasi kedua akan jauh lebih baik dan lebih cepat pertumbuhannya karena sistem perakaran yang dimiliki sudah sangat kuat dan baik. Dengan demikian pembelian atau penanaman bibit hanya dilakukan sekali untuk berkali-kali penebangan atau panen.

Sejak awal tahun 2002 dan awal tahun 2003, PT Harfam Jaya Makmur telah menanam sebanyak 28.300 pohon di areal lahan 30 Ha dari total lahan 50 Ha PT Harfam Jaya Makmur. Konsep pemilihan lahan yang dilakukan, selain melihat dari sisi persyaratan yang harus dimiliki oleh lahan tersebut juga melihat aspek ekonomis dan keamanan suatu proyek. Setelah mengadakan survey selama kurang lebih 2 tahun, PT Harfam Jaya Makmur menyimpulkan Bondowoso sebagai daerah yang tepat untuk itu.

Lahan yang semula adalah lahan “tidur” (kurang didayagunakan) diubah menjadi areal penanaman Jati Emas sehingga bernilai ekonomis tinggi. Mengingat daerah Bondowoso termasuk daerah “minus” di Jawa Timur (daerah yang pendapatan daerah/pendapatan per kapita penduduknya di bawah rata-rata daerah lain di Jawa Timur), menjadikan PT Harfam Jaya Makmur mendapat sambutan sangat positif baik dari pemerintahan maupun penduduk setempat.

Dari data-data penunjang beserta analisa di atas maka dapat disimpulkan bahwa proyek pembudidayaan Jati Emas ini sangat layak untuk dikembangkan, mengacu pada :

1. Keuntungan yang diperoleh sangat tinggi.

Dengan perbandingan jumlah modal dan waktu investasi yang sama menghasilkan keuntungan 5,4 kali lebih besar daripada investasi pada deposito.

2. Pengalaman PT Harfam Jaya Makmur selama lebih dari 4 tahun terakhir dalam menjalankan proyek ini.

3. Dampak positif pada daerah tersebut , baik dalam menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan devisa daerah, maupun dampak positif hutan sebagai pencegah banjir, penyedia oksigen, dsb.

4. Dukungan oleh Bupati Bondowoso, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Bondowoso, maupun Fakultas Pertanian Universitas Bondowoso kepada PT Harfam Jaya Makmur selaku unit usaha pembudidayaan Jati Emas di Kabupaten Bondowoso.

Informasi lebih detail silakan kunjungi website:http//www.harfam.co.id

Kolom Bawahnya: Yayasan Al Madinah Mengucapkan Terima Kasih Sebesar-besarnya kepada Bapak Muhammad Alkaff, Direktur Utama PT Harfam Jaya Makmur, yang Telah Menghibahkan 60 %

MALAIKAT KECIL DI RUMAH

Di suatu malam saya tengah melakukan shalat dan merenungi berbagai kejadian yang telah lalu. Mulai dari kenangan tidak mengenakkan sampai yang indah-indah. Hal seperti ini adalah kebiasaan saya melakukan tafakkur dan menutup perenungan dengan sebuah hikmah. Maka malam ini, saya pun melakukannya. Terlintas dalam pikiran saya peristiwa beberapa tahun silam. Suatu ketika saya mengalami musibah cukup berat. Saat itu saya sungguh kalut. Setiap malam selalu dihantui dengan mimpi-mimpi buruk. Bangun pagi hari yang seharusnya lega karena keluar dari mimpi buruk, saya malah merasa menyesal, “Tuhan, kenapa saya masih hidup pagi ini?”

Dengan susah payah, saya mencoba untuk segera keluar dari permasalahan ini. Begitu banyak jalan keluar yang terbentang di hadapan saya, tinggal memilih yang mana. Akhirnya saya memilih untuk melakoni jalan yang begitu mudah –tampaknya— untuk dilakukan dan sepertinya menyenangkan. Saya pun mulai melakukan aktivitas “pelarian” agar saya dapat segera keluar dari mimpi-mimpi buruk tersebut dengan bergabung bersama teman-teman yang bisa menghibur dan membuat saya senang saat itu.

Lama kelamaan, begitu asyiknya secara tidak sadar saya terseret untuk berada di dunia semu, dunia yang membawa saya senang hanya pada saat berada di dalamnya namun gelisah ketika sudah tidak berada di dalamnya. Semakin lama seolah saya kian sulit untuk keluar darinya. Sungguh aneh sebenarnya kehidupan saya kala itu. Saya selalu mengharap sebuah keajaiban terjadi. Namun apakah bisa dikabulkan doa seseorang yang menjalani kehidupannya dengan sia-sia setiap pagi hingga petang, lalu di setiap pengujung malam ia berdo’a, “Ya Allah, beri aku kekuatan yang bisa membuatku kembali ke jalan-Mu”.

Namun itulah Allah, yang Maha Rahman dan Rahim. Sebenarnya Ia telah memilih untuk mengirimkan malaikat kecil di hadapan saya, yang selama ini selalu tampak dan tidak pernah saya pedulikan keberadaannya. Eksistensi yang sebenarnya bisa membuat saya kuat dan kembali ke jalan-Nya.

Seiring waktu berjalan, malaikat kecil yang berwujud bayi mungil ini tumbuh besar hingga sanggup mengemukakan hal yang tersirat di hatinya melalui kata dan perbuatan. Seringkali saya merasa, ia “menegur” saya dengan kata-kata manis yang meluncur begitu saja lewat bibir mungilnya, sambil meloncat-loncat di atas kasur dan tertawa riang tanpa beban. Ia bertanya tentang keberadaan Allah, ia pun memberitahu kepada saya tentang surga dan neraka, ia mengekspresikan kedekatannya pada Sang Pencipta lewat gerakan shalat yang lucu sebagai teguran bagi saya untuk segera bersujud memohon ampunan-Nya.

Saya pun sering menangis dibuatnya. Setiap kali saya melangkah keluar untuk menghibur diri, terlintas wajahnya yang membuat saya merasa bersalah. Ya, seharusnya seorang ibu memberikan teladan yang baik untuk anak bagaimana ketika menghadapi masalah. Menunjukkan pada anaknya untuk bersikap tegar dan positif agar kelak sang anak memiliki jiwa yang kuat dan mampu menghadapi masalah. Seorang ibu mesti menyediakan waktu untuk memerhatikan anaknya dengan penuh cinta bila ia tidak ingin anaknya kelak mengalami krisis kasih sayang dan mencari pelarian yang menghancurkan hidupnya. Bukannya malah mencari kesibukan dan pelarian untuk dirinya sendiri.

Bayangan-bayangan itu membuat saya akhirnya memutuskan untuk tidak berlarut-larut dalam masalah, tidak melarikan diri, tetapi menghadapi. Hingga akhirnya kini, masalahnya terpecahkan, mimpi-mimpi buruk telah pergi, dan saya semakin merasa dekat dengan Allah, lewat keberadaan malaikat kecil ini.

Pertanyaan saya pada Anda, apakah Anda juga pernah merasa seperti saya? Di mana anak-anak di rumah menegur anda dengan tangisan mereka karena rindu ditinggal pergi bekerja dari pagi hingga petang? Pertanyaan-pertanyaan mereka tentang perbuatan baik dan buruk, surga dan neraka, membisikkan perasaan bersalah ketika kita memberikan contoh perbuatan negatif yang tidak mereka ketahui di luar sana? Merekalah malaikat kecil yang selalu menjaga kita dan memberikan kita peringatan. Maka rawatlah malaikat kecil yang ada di rumah kita dengan cinta dan kasih sayang serta suri tauladan lewat semua perkataan dan perbuatan kita yang selalu diamatinya sebagai bekal bagi mereka dan kita kelak saat Allah memanggil kita kembali.

“Ya Allah, aku sangat bersyukur Kau karuniai seorang anak yang luar biasa, yang begitu banyak aku belajar kehidupan dan kebaikan darinya. Ia bagaikan malaikat kecil yang Kau turunkan padaku, menjagaku untuk selalu tetap berada di jalan kebaikan yang mengarah kepada-Mu.

Oleh karenanya ya Allah, beri aku kesempatan untuk melakukan banyak hal sebagai rasa terima kasihku pada-Mu juga kepadanya. Izinkanlah aku untuk merawatnya, memberi tauladan dan kasih sayang yang melimpah, agar cukup baginya saat dewasa kelak ia menjadi seorang manusia yang bijaksana dan memiliki cinta yang melimpah, yang mampu membawanya menjadi seorang yang shalih dan bisa memberi manfaat bagi kehidupan banyak orang. Agar ketika aku telah tiada kelak, bekal yang aku ajarkan padanya itu dapat menyelamatkan aku dari panggangan api neraka-Mu....”








izzah dan hanun (putra-putri penulis)

DERMAWAN DULU BARU KAYA

Judul : Makin Dermawan Makin Kaya,
Makin Kikir makin Miskin
Penerbit : Erlangga-Jakarta
Penulis : Saiful hadi El-Sutha
Tahun terbit : 2009
Halaman : 107 hlm




Secara matematis orang menganggap bahwa dengan memberikan sebagian harta kepada orang lain berarti akan mengurangi kekayaan kita. Hal ini memang tidak salah, namun bukan berarti sepenuhnya benar. Tidak sepenuhnya benar karena kenyataannya tidak pernah ada orang yang jatuh miskin disebabkan gemar bersedekah. Sebaliknya orang yang dermawan akan dipermudah hidupnya dan menjadi kaya.

Berderma adalah salah satu perbuatan mulia yang sangat dianjurkan agama apa pun. Setiap agama senantiasa mengajarkan umatnya untuk bersikap murah hati, suka memberi, dan menafkahkan sebagian hartanya untuk kebaikan, serta mau membantu dan menolong orang lain yang berada dalam kesulitan. Dalam Islam ditegaskan bahwa “tidak akan memperoleh satu kebaikan sejati sehingga kamu menyedekahkan apa yang kamu cintai.” Ini menggambarkan betapa pentingnya bersedekah, sehingga yang dianjurkan untuk didermakan ialah barang terbaik.

Allah memerintahkan manusia untuk rajin berderma demi kebaikan mereka sendiri, bukan untuk Allah, sebab Allah Maha Kaya, Dia tidak membutuhkan bantuan dan pertolongan siapa pun. Bahkan seandainya seluruh manusia kikir, Allah tetap Maha Kaya, karena langit, bumi dan seluruh isinya adalah kepunyaan Allah. Demikian pula sebaliknya, jika orang ramai-ramai berderma tidak akan menambah kekayaan Allah, karena Allah tidak butuh apa pun untuk memenuhi kebutuhan-Nya.

Orang berderma dengan ikhlas karena Allah diibaratkan dengan orang yang menanam benih. Dari tiap benih ia akan memanen hingga tujuhratus kali lipatnya bahkan lebih. Bukan hanya pahala akhiratnya saja, namun juga sumber rezekinya akan dilipatgandakan oleh Allah. Alkisah, seorang santri bernama Ali hendak berkunjung ke rumah kyainya. Karena petani singkong, sebelum berangkat ia menuju kebun untuk memetik tanamannya. Selepas itu ia pergi ke rumah kyainya dan berkata, “Pak Kyai, ini ada singkong, hasil dari kebun saya.”

Menerima pemberian itu, pak kyai-pun senang dan berkata, “Terima kasih Ali, engkau anak yang baik.” Selanjutnya pak kyai berkata kepada istrinya, “Bu, ini si Ali membawakan kita singkong. Nanti kita kasih apa untuk Ali?” Kata istri kyai, “Ini ada seekor kambing pemberian orang kaya.” Pak kyai berkata, “Baiklah, Ali, karena engkau telah menghadiahkan singkong, maka aku memberimu kambing, bawalah pulang dan peliharalah.” “Terima kasih Pak kyai,” sahut Ali.

Dalam perjalanan pulang, sambil menuntun kambing pemberian kyai, Ali bertemu dengan temannya, Umar. Dengan wajah agak penasaran, Umar bertanya, “Ali, dari mana engkau mendapatkan kambing itu?” Ali menjawab, “Tadi saya ke rumah pak kyai dan memberinya singkong. Eh… malah saya diberi kambing oleh beliau.”

Mendengar penjelasan Ali, hati kecil Umar berkata, “Kalau singkong saja dibalas kambing, bagaimana kalau aku memberi apel pada pak kyai, pasti balasannya lebih besar lagi.” Akhirnya Umar pergi ke pasar membeli beberapa kilo apel, lalu diantar kepada pak kyai. Umar berkata, “Ini apel, hadiah sekadarnya dari saya untuk pak kyai.”

Seperti halnya terhadap Ali, kyai pun mengucapkan terima kasih seraya menanyakan kepada istrinya, apa yang pantas sebagai balasan. Ibu nyai menjawab, “Ini ada singkong.” Maka sebagai tanda terima kasih, Pak kyai memberikan singkong kepada Umar. Tentu Umar sangat kecewa, karena sesungguhnya yang ia harapkan dari pak kiai adalah yang lebih bernilai dari kambing.

Ilustrasi di atas hanyalah perihal keuntungan berbeda yang dituai penderma. Karena keikhlasan tanpa pamrih, Ali mendapat balasan berlipat ganda dari tindakannya. Hal ini mungkin juga pernah kita alami. Saat berharap terlalu tinggi atas amal baik kita, ternyata ganjaran yang diperoleh tidak setimpal.

Sebaliknya amal baik yang kita anggap remeh temeh, justru dibalas berlipat ganda oleh Allah. Yang demikian ini bukan berarti janji Allah tidak benar, akan tetapi keikhlasan dan kepasrahan hati sangat memengaruhinya. Rahmat Allah memang mustahil bisa dihitung secara matematis. Logika manusia terlalu dangkal untuk menakarnya. Karenanya, alangkah eloknya jika saat melepas harta, kita pasrahkan sepenuhnya kepada Allah, mau dibalas apa terserah. Kendati begitu, banyak pula kisah penderma yang mendapatkan balasan sebagaimana harapannya.

Itulah sebagian kecil kisah dari isi buku karya Saiful Hadi ini. Ada juga kisah tentang manfaat berderma yang menyadarkan seorang pencuri hingga menjadi seorang kaya, baik, dan suka bersedekah. Masih banyak lagi kisah menarik yang dituangkan dalam buku ini. Karya yang ditulis dengan gaya bahasa ringan dan deskriptif, diselingi gambar untuk mempermudah pembaca mencerna isinya. Siapapun, silakan baca buku ini. Bisa jadi kemudian Anda meyakini bahwa sedekah itu menguntungkan bukan merugikan. Berderma itu kaya dan kikir itu miskin.
(Suud Fuadi)

Perempuan di Lampu Merah

Oleh: Imey Ayatullah

(Cerpenis Muda, Tinggal di Surabaya)


Sehari seusai penggusuran, jalur jalan raya sepanjang Kali Bambu sontak macet total Arus kendaraan hilir mudik di setiap jalanan tikus di antara kepadatan rumah.

Di antara sekian reruntuhan, mataku tertuju pada satu lokasi. Rumah mungil di pojok utara, berdinding batu bata, berukuran 4x4 meter. Setahuku, di situlah Mak Amah, perempuan paruh baya, 40-an tahun, berdiam.

Ia biasa menggelar tikar di pingggiran jalan, sebelah timur lampu merah. Tiap minggu aku menungguinya di perempatan itu. Ya, dia salah satu dari sekian penjual koran di kota ini. Orangnya cukup banyak bicara, tapi ramah pada setiap pembelinya.

Anehnya, Mak Amah paling sulit menahan bila bicara tentang suaminya. Bagai air bah, keluarlah semua sumpah serapah. Suaminya yang kerap menyerobot hasil koran anak asuhannya. Padahal, hasil membecak tak pernah dikasih padanya.

Bak seorang bos, Mak menguasai 10 anak jalanan belasan tahun yang tersebar di beberapa sudut kota, menjaja koran. Meski perempuan, dia cerdik mengorganisir anak-anak jalanan kota. Eksploitasi anak. Ya, bagiku ini bentuk eksploitasi anak, memanfaatkan si kecil demi kepentingan duit.

Mak Amah keras. Ia seringkali memarahi, kalau perlu membentak anak asuhnya jika diperlukan. Sangat tidak peka pada jiwa anak. Tetapi, namanya aktor eksploitasi, semuanya begitu. “Kalau dibiarkan malas-malasan,” ucap Mak Amah suatu ketika, “Mana dapat penghasilan? Jualan koran kalo nggak serius, ya bangkrut dik!”

Aku meringis, merintih, tapi hanya di lubuk hati. Sedini itu, anak-anak sudah dibesarkan sekeras itu. Tetapi inilah sisi kelam kota, menikam jantung manusia dengan hiruk-pikuk perut. Apa saja dilakukan demi bertahan hidup.

*****

Mak Amah menyeka keringat. Wajah tuanya makin tampak. Matanya tercenung, menerawang lokasi bekas rumahnya yang kini tak berbekas, kecuali gundukan-gundukan kayu dan batu tak beraturan. “Kok secepat ini. Padahal, saya baru pulang kampung...” katanya.

Mak Amah lama terdiam. Terang saja, baru di hari ketiga ini Mak Amah terlihat.. Rupanya baru naik gunung. Wajar, jika ia tak tahu saat-saat penggusuran. Dan entah, sosok Mak terasa fenomenal ketimbang lainnya, bagiku.

“Kasihan anak-anak itu,” tukasnya. Kata-kata yang bagiku tak wajar. Pelaku eksploitasi, bisa-bisanya berucap demikian bijak? “Entah bagaimana mereka nanti. Siapa yang akan ngurus mereka kalau saya pulang kampung??”

“Lho, bukannya malah asyik to Mak?” timpalku dari belakang. “Kan sudah dapat dana ganti rugi? Bisa pulang, dan bikin usaha di desa??”

Mak mendelik membalikkan badan. Kaget juga, belum pernah ia menampakkan perilaku seperti itu.

“Sampeyan enak, sudah punya kerja!” Ucapnya ketus sambil menuding. Sejenak, kembali ia memutar badan, menerawang bekas-bekas rumah warga yang menyisakan puing. “Sampeyan bersyukurlah!” Meski dengan posisi tubuh membelakangi, suaranya jelas.

“Lahir dari keluarga berkecukupan, bisa sekolah tinggi. “Lha, mereka tumbuh di jalanan. Bahkan, ada yang saya nggak tahu siapa orang tuanya. Mereka-mereka itu, seperti anak bagi saya. Saya asuh bertahun-tahun lamanya.”

Aku terdiam. Sulit menerka apa yang dipikirkan Mak Amah. Ia menghela napas, kemudian duduk di batu seukuran bola di depannya.

“Karena itulah, saya serius ajari mereka bekerja dan kedisiplinan. Biar tahu, kerasnya hidup ini. Tidak boleh berpangku tangan menunggu uluran tangan. Harus terlatih mandiri.”

“Kok nggak disekolahkan?” timpalku. Mak menghembuskan napas dan menggeser batu.

“Yang penting mereka bisa baca tulis. Itu sudah cukup. Buat apa sekolah? Biaya dari mana? Berapa sih hasil koran? Yang penting, mereka punya kesempatan baca koran tiap hari. Yang penting mereka bisa nabung. Jika besok saya mati bisa ngurus diri mereka sendiri, dan tidak banyak mengeluhkan nasib.“

Lagi-lagi, kalimat Mak Amah, membuatku tercenung.

*****

Deretan rumah di pinggir kali ini memang kumuh. Entah kumuh dalam arti apa. Aku sendiri sukar mendefinisikan. Konotasinya selalu merujuk pada ketidakrapian, keserampangan membangun. Kurasa kurang proporsional. Sebab, orang kaya sama saja.

Bedanya, orang kaya lebih pintar mengibuli kekumuhannya dengan megahnya bangunan. Apik permukaan saja. Jika menengok ke dalam, pastilah kau mengerti, kekumuhan orang-orang berduit lebih mengerikan. Tak adil rasanya. Mengkambinghitamkan rakyat kecil, penyebab kotor dan tercermarnya kali.

Bandingkan, dampak limbah kimia yang mengentalkan warna kali. Yang membuat ikan-ikan jadi pandir. Bukan hanya pengusaha yang membeli tanah-tanah dari pemiliknya, yang menjadikan penduduk bukan tuan di tanahnya. Bahkan salah satu institusi pendidikan, jungkir balik lari dari tanggung jawab kesehatan air kali. Itu yang tampak, karena ulah media. Dengarlah jeritan para jelata itu, kenapa hanya mereka yang tergusur.

“Kenapa nggak sekalian dibawa ke kampung mak?” tanyaku sesaat setelah hanyut alam renungan.“Kan lumayan nggak susah-susah cari koki?”

Mak Amah menyeka keringat yang membasahi muka. Wajah yang tangguh. Meski tak mengenal teori emansipasi, perempuan ini memunculkan gairah tanpa batas. Mak Amah tertegun, lantas tertawa terbahak, kedua bahunya terguncang. Kemudian ia geleng-geleng kepala.

“Bawa ke kampung? Kampung itu bukan kota Dik. Pembelinya siapa? Wong mereka masak sendiri. Jangan-jangan malah habis buat makan 10 pegawai itu?”

Kembali tubuhnya terguncang karena terbahak. Tetapi, lagi-lagi, Mak terdiam. Tanpa sengaja kutatap wajahnya. Tak kuduga, kedua matanya sembab. “Ah, tetapi kau benar. Di kampung, apa-apa serba ada. Masih banyak tanah untuk ditanam di setiap musim. Mau lauk pauk, tinggal nyerobot depan rumah. Atau bagi yang malas nanam, tinggal ngibrit ke pasar,” tukas Mak.

“Kasihan mereka,” katanya lirih. Ia mengusap air matanya. Aku terenyuh. Aku jadi risih bila terngiang slogan-slogan aduhai nan semlohai di setiap kali menjelang pilkada, pileg, maupun pilpres. Slogan yang ngeri lantaran bualan jualan kampanye.

”Siapa yang mau mengasuh mereka di jalanan? Siapa yang akan menjaga mereka nanti?” Mak Amah sesenggukan.

Wajah yang tadinya tertawa lepas, kini terlihat garis-garis keriput di wajahnya yang bermendung tebal. Benar-benar membuatku merinding bulu roma. Di balik kesangarannya, ternyata ia ibu yang pengayom, dan welas asih meski dengan caranya.

Mereka yang dianggap sampah kota adalah realitas yang sengaja diabu-abukan. Mereka pekerja keras yang tangguh dan tahan banting terpinggirkan oleh ketidakuletan negara yang gagal memberikan solusi kerja. Kau tahu, mereka sudah menikmati aliran listrik, pertanda kehadirannya diamini? Repot bicara keadilan.

Kota memang aneh, tak bisa dilihat serba hitam-putih. Ada banyak lorong temaram yang sering diabaikan. Lalu, kemana mereka semua hendak pergi?

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com