Perempuan di Lampu Merah

Oleh: Imey Ayatullah

(Cerpenis Muda, Tinggal di Surabaya)


Sehari seusai penggusuran, jalur jalan raya sepanjang Kali Bambu sontak macet total Arus kendaraan hilir mudik di setiap jalanan tikus di antara kepadatan rumah.

Di antara sekian reruntuhan, mataku tertuju pada satu lokasi. Rumah mungil di pojok utara, berdinding batu bata, berukuran 4x4 meter. Setahuku, di situlah Mak Amah, perempuan paruh baya, 40-an tahun, berdiam.

Ia biasa menggelar tikar di pingggiran jalan, sebelah timur lampu merah. Tiap minggu aku menungguinya di perempatan itu. Ya, dia salah satu dari sekian penjual koran di kota ini. Orangnya cukup banyak bicara, tapi ramah pada setiap pembelinya.

Anehnya, Mak Amah paling sulit menahan bila bicara tentang suaminya. Bagai air bah, keluarlah semua sumpah serapah. Suaminya yang kerap menyerobot hasil koran anak asuhannya. Padahal, hasil membecak tak pernah dikasih padanya.

Bak seorang bos, Mak menguasai 10 anak jalanan belasan tahun yang tersebar di beberapa sudut kota, menjaja koran. Meski perempuan, dia cerdik mengorganisir anak-anak jalanan kota. Eksploitasi anak. Ya, bagiku ini bentuk eksploitasi anak, memanfaatkan si kecil demi kepentingan duit.

Mak Amah keras. Ia seringkali memarahi, kalau perlu membentak anak asuhnya jika diperlukan. Sangat tidak peka pada jiwa anak. Tetapi, namanya aktor eksploitasi, semuanya begitu. “Kalau dibiarkan malas-malasan,” ucap Mak Amah suatu ketika, “Mana dapat penghasilan? Jualan koran kalo nggak serius, ya bangkrut dik!”

Aku meringis, merintih, tapi hanya di lubuk hati. Sedini itu, anak-anak sudah dibesarkan sekeras itu. Tetapi inilah sisi kelam kota, menikam jantung manusia dengan hiruk-pikuk perut. Apa saja dilakukan demi bertahan hidup.

*****

Mak Amah menyeka keringat. Wajah tuanya makin tampak. Matanya tercenung, menerawang lokasi bekas rumahnya yang kini tak berbekas, kecuali gundukan-gundukan kayu dan batu tak beraturan. “Kok secepat ini. Padahal, saya baru pulang kampung...” katanya.

Mak Amah lama terdiam. Terang saja, baru di hari ketiga ini Mak Amah terlihat.. Rupanya baru naik gunung. Wajar, jika ia tak tahu saat-saat penggusuran. Dan entah, sosok Mak terasa fenomenal ketimbang lainnya, bagiku.

“Kasihan anak-anak itu,” tukasnya. Kata-kata yang bagiku tak wajar. Pelaku eksploitasi, bisa-bisanya berucap demikian bijak? “Entah bagaimana mereka nanti. Siapa yang akan ngurus mereka kalau saya pulang kampung??”

“Lho, bukannya malah asyik to Mak?” timpalku dari belakang. “Kan sudah dapat dana ganti rugi? Bisa pulang, dan bikin usaha di desa??”

Mak mendelik membalikkan badan. Kaget juga, belum pernah ia menampakkan perilaku seperti itu.

“Sampeyan enak, sudah punya kerja!” Ucapnya ketus sambil menuding. Sejenak, kembali ia memutar badan, menerawang bekas-bekas rumah warga yang menyisakan puing. “Sampeyan bersyukurlah!” Meski dengan posisi tubuh membelakangi, suaranya jelas.

“Lahir dari keluarga berkecukupan, bisa sekolah tinggi. “Lha, mereka tumbuh di jalanan. Bahkan, ada yang saya nggak tahu siapa orang tuanya. Mereka-mereka itu, seperti anak bagi saya. Saya asuh bertahun-tahun lamanya.”

Aku terdiam. Sulit menerka apa yang dipikirkan Mak Amah. Ia menghela napas, kemudian duduk di batu seukuran bola di depannya.

“Karena itulah, saya serius ajari mereka bekerja dan kedisiplinan. Biar tahu, kerasnya hidup ini. Tidak boleh berpangku tangan menunggu uluran tangan. Harus terlatih mandiri.”

“Kok nggak disekolahkan?” timpalku. Mak menghembuskan napas dan menggeser batu.

“Yang penting mereka bisa baca tulis. Itu sudah cukup. Buat apa sekolah? Biaya dari mana? Berapa sih hasil koran? Yang penting, mereka punya kesempatan baca koran tiap hari. Yang penting mereka bisa nabung. Jika besok saya mati bisa ngurus diri mereka sendiri, dan tidak banyak mengeluhkan nasib.“

Lagi-lagi, kalimat Mak Amah, membuatku tercenung.

*****

Deretan rumah di pinggir kali ini memang kumuh. Entah kumuh dalam arti apa. Aku sendiri sukar mendefinisikan. Konotasinya selalu merujuk pada ketidakrapian, keserampangan membangun. Kurasa kurang proporsional. Sebab, orang kaya sama saja.

Bedanya, orang kaya lebih pintar mengibuli kekumuhannya dengan megahnya bangunan. Apik permukaan saja. Jika menengok ke dalam, pastilah kau mengerti, kekumuhan orang-orang berduit lebih mengerikan. Tak adil rasanya. Mengkambinghitamkan rakyat kecil, penyebab kotor dan tercermarnya kali.

Bandingkan, dampak limbah kimia yang mengentalkan warna kali. Yang membuat ikan-ikan jadi pandir. Bukan hanya pengusaha yang membeli tanah-tanah dari pemiliknya, yang menjadikan penduduk bukan tuan di tanahnya. Bahkan salah satu institusi pendidikan, jungkir balik lari dari tanggung jawab kesehatan air kali. Itu yang tampak, karena ulah media. Dengarlah jeritan para jelata itu, kenapa hanya mereka yang tergusur.

“Kenapa nggak sekalian dibawa ke kampung mak?” tanyaku sesaat setelah hanyut alam renungan.“Kan lumayan nggak susah-susah cari koki?”

Mak Amah menyeka keringat yang membasahi muka. Wajah yang tangguh. Meski tak mengenal teori emansipasi, perempuan ini memunculkan gairah tanpa batas. Mak Amah tertegun, lantas tertawa terbahak, kedua bahunya terguncang. Kemudian ia geleng-geleng kepala.

“Bawa ke kampung? Kampung itu bukan kota Dik. Pembelinya siapa? Wong mereka masak sendiri. Jangan-jangan malah habis buat makan 10 pegawai itu?”

Kembali tubuhnya terguncang karena terbahak. Tetapi, lagi-lagi, Mak terdiam. Tanpa sengaja kutatap wajahnya. Tak kuduga, kedua matanya sembab. “Ah, tetapi kau benar. Di kampung, apa-apa serba ada. Masih banyak tanah untuk ditanam di setiap musim. Mau lauk pauk, tinggal nyerobot depan rumah. Atau bagi yang malas nanam, tinggal ngibrit ke pasar,” tukas Mak.

“Kasihan mereka,” katanya lirih. Ia mengusap air matanya. Aku terenyuh. Aku jadi risih bila terngiang slogan-slogan aduhai nan semlohai di setiap kali menjelang pilkada, pileg, maupun pilpres. Slogan yang ngeri lantaran bualan jualan kampanye.

”Siapa yang mau mengasuh mereka di jalanan? Siapa yang akan menjaga mereka nanti?” Mak Amah sesenggukan.

Wajah yang tadinya tertawa lepas, kini terlihat garis-garis keriput di wajahnya yang bermendung tebal. Benar-benar membuatku merinding bulu roma. Di balik kesangarannya, ternyata ia ibu yang pengayom, dan welas asih meski dengan caranya.

Mereka yang dianggap sampah kota adalah realitas yang sengaja diabu-abukan. Mereka pekerja keras yang tangguh dan tahan banting terpinggirkan oleh ketidakuletan negara yang gagal memberikan solusi kerja. Kau tahu, mereka sudah menikmati aliran listrik, pertanda kehadirannya diamini? Repot bicara keadilan.

Kota memang aneh, tak bisa dilihat serba hitam-putih. Ada banyak lorong temaram yang sering diabaikan. Lalu, kemana mereka semua hendak pergi?

Comments :

0 komentar to “Perempuan di Lampu Merah”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com