“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” demikian bunyi pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu pasal yang sama sekali tidak pernah terjamah oleh amandemen, dan memang haram diotak-atik. Pada ranah praktis, mungkin aturan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Tilik saja betapa banyak warga di negeri ini yang gagal memenuhi hajat dasar hidupnya meliputi pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Ada sekian anak negeri menderita busung lapar, ribuan putra-putri bangsa tak kuasa menuntaskan pendidikan dasarnya, penggusuran hunian liar di kota-kota besar, dan kasus-kasus lain yang memiriskan hati jika dimaktubkan.
Namun sebagai konstitusi, aturan ini harus tetap dijaga apik. Setidaknya sebagai bahan pengingat terhadap para pengurus negara. Kemiskinan (ekonomi) adalah akar masalah utama pelbagai problem di atas. “Kefakiran itu cenderung pada kekufuran,” demikian sabda Nabi Muhammad Saw. Bukan hanya orang miskin yang rawan menjadi “kafir” tetapi juga orang kaya dan aparat pemerintah. Kasus kematian Siti Khoiyaroh (4 Tahun) menunjukkannya.
Balita itu terjatuh saat bersama orang tuanya melarikan diri dari kejaran aparat Satpol Pamong Praja yang melakukan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Boulevard WTC, Surabaya pada 11/5/2009. Naas, gerobak bakso yang didorong ibunya terguling dan kuah panasnya mengguyur sekujur tubuh Khoiyaroh. Setelah dirawat selama tujuh hari, jiwanya tidak tertolong. Ya, kemiskinan mengakibatkan aparat negara melakukan dosa besar. Karena kecerobohan dan arogansinya, satu nyawa generasi bangsa hilang.
Membincangkan persoalan kemiskinan (ekonomi) memang rumit, alih-alih memberantas kemiskinan, seperti banyak digaungkan oleh para politisi. Ilmu sosial mengajukan tiga faktor utama penyebab kemiskinan yaitu tatanan sosial yang tidak adil dan menindas, mentalitas individu yang lemah, dan kombinasi antara dua faktor itu.
Kemiskinan sesungguhnya bukan hanya ekonomi, namun juga mental dan spiritual. Orang yang secara mental dan spiritual miskin maka berpola hidup malas dan pesimistis, tak heran bila selamanya akan miskin. Atau juga, orang yang secara ekonomi kaya tapi bermental miskin, sepanjang hidupnya terus merasa kurang. Lantaran malas, maka digunakanlah cara-cara pintas memupuk kekayaannya melalui jalur korupsi. Terlepas dari itu, kemiskinan ekonomi memang menjadi problem akut bangsa yang tak kunjung terselesaikan.
Kemiskinan Orang Tua, Keremangan Masa Depan Anak
Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasioanl) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk memertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Hasil survei sosial ekonomi nasional tahun 2008 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional terhadap 68.000 rumah tangga sebagai sampel, menyimpulkan bahwa 35.000.000 penduduk Indoensia adalah miskin. Rumah tangga dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal yaitu konsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang setiap hari dan kebutuhan perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jika dinominalkan, untuk memenuhi kebutuhan itu, setiap orang harus mengeluarkan Rp 182.636 per bulan (www.bbc.co.uk). Artinya bila di bawah angka itu, maka individu dikategorikan sebagai warga miskin.
Itu angka nasional. Mari kita tilik konteks lebih sempit yakni Surabaya sebagai salah satu kota metropolis di Indonesia. Menurut buku “Surabaya Dalam Angka 2008” tercatat pada tahun 2007 ada 125.871 rumah tangga/keluarga miskin penerima subsidi langsung tunai. Semampir adalah kecamatan dengan penduduk miskin terbanyak. Lihat Grafis di bawah.
Lima Kecamatan di Kota Surabaya dengan jumlah penduduk miskin terbanyak
Kecamatan Jumlah RT Penerima Jumlah Total Penduduk
Semampir 16.606 188.779 Jiwa
Tambaksari 10.130 219.146 Jiwa
Simokerto 8.697 104.140 Jiwa
Sawahan 7.690 219.465 Jiwa
Dikutip dan diolah dari Surabaya Dalam Angka 2008, BPS Kota Surabaya 2008
Data lain diperoleh Al Madinah dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Keluarga Berencana (Bapemas KB). Pada tahun 2007, di kota Surabaya terdapat 121.134 keluarga yang tercatat sebagai penerima program Raskin (beras miskin). Sedangkan pengguna jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) sebanyak 458.662 jiwa.
Mengomentari fenomena kemiskinan di kota (urban poor) tersebut, Drs. Eko Haryanto, M.M, Kepala Bapemas KB, menilai bahwa faktor penyebab utamanya adalah rendahnya pendidikan masyarakat. “Di kota kompetisinya sangat ketat, siapa yang tidak memiliki keterampilan, dia tidak akan bisa bisa survive. Jadilah dia gelandangan, tinggal di pemukiman liar. Karena itu aktif pendidikan harus dimulai sejak dini.”
Menurut sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Negeri Jember itu, sebenarnya pemerintah kota sudah berusaha optimal. “Silakan Anda lihat, sarana dan prasarana publik di setiap wilayah tersedia. Di setiap instansi pemerintahan pasti ada program pro poor (pro kemiskinan: red). Adapun yang dilakukan Bapemas adalah memberikan pelatihan untuk orang-orang miskin. Untuk ibu rumah tangga misalnya, dibina agar bisa membantu suaminya berwirausaha,“ urai pria lima puluh dua tahun itu saat ditemui Al Madinah pada 13/05/2009.
Kemiskinan orang tua tak pelak berpengaruh besar terhadap masa depan anaknya. Program pendidikan dasar gratis sembilan tahun baru akan berjalan secara masif pada tahun 2009. Dan kalau boleh jujur, dengan persaingan kerja yang ketat dan lapangan pekerjaan yang tidak cukup luas, sekian juta anak bangsa tidak semuanya terwadahi. Pasti perusahaan membutuhkan lulusan yang memiliki skil dan keterampilan baik.
Nah apakah skil dan keterampilan itu sudah diberikan saat siswa menduduki bangku sekolah menengah pertama (SMP)? Apakah di tingkat SMP, anak didik sudah dibekali kemampuan untuk membangun kemandirian? Silakan Anda tilik kurikulum SMP. Karena itu, kiranya program pendidikan gratis sembilan tahun perlu dipikirkan ulang. Alangkah mulianya jika negara mampu menjamin pendidikan gratis hingga tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), terutama bagi anak-anak tidak mampu.
Dengan diberlakukannya program Biaya Operasional Sekolah (BOS) saja, di kota besar seperti Surabaya, pada tahun 2007 terdapat sekian banyak anak usia sekolah yang harus drop out atau bahkan tidak mengenyam bangku sekolah. Simak tabel di bawah.
Kelompok Usia Tidak/Belum Pernah Sekolah Putus Sekolah
7-12 Tahun 0,45 %. 0,45 %
13-15 Tahun 1,01 % 8,13 %
16-18 Tahun 0,63 % 12,44 %
Persentase tersebut dihitung dari total penduduk usia 5-19 tahun adalah 23,99 % dari keseluruhan penduduk Kota Surabaya yang berjumlah 2.829.486 jiwa.
Selain itu Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya mencatat, pada tahun 2008 ada 693 anak terlantar dan 397 Balita terlantar. Drs. Dedik Sosialista, M.Si (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial) secara jujur menyatakan bahwa kondisi riil di lapangan mungkin lebih banyak dari angka itu “Jadi dulu sasaran survei adalah kelurahan dan RT/RW. Maka yang dihitung cuma anak-anak yatim dan fakir di lingkup rumah tangga. Sementara anak-anak yang diasuh di panti tidak didaftar,” ujar Dedik.
Sebagai penanggungjawab problem anak-anak terlantar, alumnus Magister Administrasi Publik Untag Surabaya itu menuturkan bahwa yang bisa dilakukan oleh Dinsos ialah pembinaan perilaku dan pelatihan kesejahteraan sosial. “Untuk tahun 2009 ini dikhususkan pada pembinaan mental dan pelatihan keterampilan dasar. Mereka ditumbuhkan motivasinya dan dirangsang agar jangan bermental tempe sehingga punya jatidiri,” tandasnya.
Namun menurut Dedik, pelatihan keterampilan tersebut tidak mengarahkan anak untuk menjadi profesional. Ia menerangkan, “Jika anak sudah masuk usia kerja yaitu 18 tahun akan dikoordinasikan dengan Dinas Ketenagakerjaan untuk diberi pelatihan keterampilan profesional.”
Masih tingginya jumlah anak terlantar di tengah menjamurnya panti asuhan di kota Surabaya menurut pandangan praktisi pengasuhan anak yatim dan dhuafa, Drs. HM. Molik, disebabkan oleh tiga faktor yaitu keterbatasan kapasitas panti, kemauan anak atau orang tua untuk tinggal di panti, dan ketiga kepedulian sosial masyarakat yang masih kurang.
Apa pun penyebabnya, si kecil generasi bangsa adalah tanggungjawab semua komponen masyarakat bukan hanya negara. Karena di tangan mereka lah, tongkat estafet pembangunan bangsa diwariskan. Orang tua yang miskin tidak boleh melahirkan generasi miskin sebab mendekatkan pada dosa besar. Masa depan anak haram suram, dan kelompok mampu lah yang berkewajiban mencerahkannya.
(Syafiq)
Menatap Nasib Generasi Bangsa
Salam, Rabu, 24 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih