Ide Satu Rumah Satu Yatim; Tawaran Solutif

Anak yatim adalah problem sekaligus berkah. Problem, karena bertambahlah tanggungjawab negara dan masyarakat untuk menjamin segala hajat hidup anak bangsa yang ditinggalkan orang tuanya itu hingga mampu mandiri. Berkah, karena bisa menjadi ladang amal bagi setiap insan yang berkenan menyantuninya.

Definisi yatim kiranya tidak perlu diperdebatkan. Semua orang sepakat, anak yang ditinggalkan mati oleh orang tuanya dan belum mencapai usia akil baligh, itulah yatim. Sebagian orang berpandangan bahwa status yatim tetap disandang anak hingga ia mampu mandiri, mencari nafkah dan mengelola hartanya sendiri.

Pengertian kedua lebih berada dalam koridor etis, sedangkan makna pertama yang jamak digunakan adalah sebagai patokan hukum. Namun memang standar etika kerap melampaui cara pandang hukum yang baku dan kaku. Dan dalam hal penanganan anak yatim, takaran etis inilah yang kiranya harus dipakai.

Mengasuh yatim adalah mengantarkannya menuju kemandirian bukan sekadar untuk mencapai usia biologis akil baligh (untuk putra kira-kira umur 13-14 tahun. Sedangkan putri usia 10-11 tahun). Buat apa mengasuh yatim sejak kecil tetapi melepaskannya pada saat usianya yang masih sangat belia dan belum sanggup berkarya? Orang Jawa akan bilang ”nanggung banget!”

Untuk itulah Yayasan Al Madinah mengusulkan ide satu rumah satu yatim kepada publik untuk melahirkan generasi yatim yang mampu berdikari dengan pengasuhan yang tuntas oleh satu keluarga kaya. Menurut Syarif Thayib, M.Si, Ketua Yayasan Al Madinah, ide ”Satu rumah satu yatim” bukan berarti satu keluarga mampu (kaya) harus menampung satu yatim.

Jika itu mampu dilakukan silakan. Namun jika tidak sanggup, maka cukuplah, seluruh hajat dasar satu anak yatim, meliputi kebutuhan sandang, pangan, dan pendidikan ditanggung oleh satu keluarga mampu. ”Adapun pengasuhan hariannya, pasrahkan kepada lembaga sosial yang merawatnya, atau kepada keluarganya jika si anak masih tinggal di rumahnya,” terang Syarif, ayah lima anak itu.


Menuai Respon Positif

Ide ini ternyata memeroleh sambutan positif dari pelbagai kalangan, baik praktisi mapun akademisi. Dedik Sosialista misalnya. Dalam pandangan Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Kota Surabaya itu, kalau ide satu rumah satu yatim bisa berjalan baik, barangkali tidak ada lagi permasalahan sosial tentang anak di Surabaya. Apalagi jika pengasuhan tidak harus dilakukan di panti asuhan.

Sebab, berdasarkan pengalaman Dedik, sebagian anak enggan tinggal di asrama. “Bukan cuma anaknya yang tidak mau, ibunya atau keluarganya juga tidak tega jika si kecil harus tinggal di panti bersama banyak anak. Karena itu tawaran pengasuhan nonpanti mungkin lebih mudah menarik simpati masyarakat miskin,” tukasnya.

Pandangan senada datang dari Moch. Hasyim, Ketua Yayasan Yatim Mandiri saat ditemui Al Madinah pada 08/05/2009. Ia melihat bahwa anak yang tinggal di panti mayoritas menyandang tiga problem yaitu ekonomi, sosial, dan psikologi. “Kalau kaya tidak mungkin anak dimasukkan ke panti. Secara sosial, semua orang tahu bahwa dia yatim. Sedangkan secara psikologis, dia kehilangan kasih sayang dari ayahnya atau bahkan keduanya. Nah panti harus bisa mengatasi tiga permasalahan itu secara baik, jika tidak sanggup maka lebih baik anak tetap bersama keluarga aslinya atau rumah tangga yang bisa mencurahkan pembinaan sebagaimana keluarga,” tutur bapak tiga anak itu panjang lebar.

Hasyim menyontohkan sistem pengasuhan yang dilakukan oleh salah satu yayasan sosial di Surabaya yang pernah ia kunjungi, ”Di situ anak-anak yatim tingkat SD ditampung di rumah pengasuh, pembina, dan pengurusnya. Ketika jam belajar mereka masuk ke pondok pesantren.” Dalam hematnya, hal itu dilakukan untuk memberikan rasa kekeluargaan. Anak bisa beraktivitas dan berkomunikasi seolah dengan keluarganya.

Nyaris senada dengan Hasyim, H. Muhammad Molik, Ketua Yayasan Nurul Hayat yang menaungi Asrama Anak Sholeh yang diperuntukkan bagi anak yatim dan Dhuafa, menggarisbawahi bahwa kebutuhan yatim bukan sekadar fisik. Lebih dari itu ada kebutuhan kasih sayang orang tua untuk membangun karakter diri agar menjadi orang-orang tangguh dan percaya diri. “Di sinilah kelebihan ide ini karena bisa merekatkan tali silaturahmi antara anak dengan orang tua asuh, selain bilangannya yang terukur” ujar pria empat puluh satu tahun itu.

Pengajar di STIE Perbanas Surabaya itu menambahkan, pola satu rumah satu yatim harus dibarengi dengan peningkatan kualitas layanan kepada anak-anak dan program pemberdayaan lain. Misalnya, pelatihan keterampilan kepada seribu anak yatim yang didukung oleh seribu keluarga.

Untuk menggali pandangan dari akademisi, Al Madinah menemui Prof. Dr. Suryanto, guru besar psikologi sosial Unair Surabaya. Ia tampak sangat antusias atas ide ini. Namun ia mempersoalkan masih rendahnya tingkat kepedulian sosial masyarakat. Pria yang ditinggalkan ayahnya sejak usia tujuh tahun itu membagi masyarakat dalam tiga tipologi yaitu;

Warga yang sosiabilitasnya tinggi dan mengerti ke mana ia menyalurkan hasrat berbaginya, kedua, warga yang kepedulian sosialnya bagus namun tidak tahu bagaimana cara menyalurkannya, dan ketiga warga yang sama sekali acuh tak acuh atas kondisi sosial. “Nah untuk tipe pertama dan kedua bisa menjadi sasaran atas ide ini. Sedangkan tipe ketiga menjadi obyek penyadaran,” terang Suryanto.

Di lain pihak, Dr. Bagong Suyanto memandang bahwa secara substansial gagasan ini bukanlah ide baru. “Program anak asuh kan sudah lama dicanangkan. Kelebihan ide satu rumah satu yatim ialah spesifikasi kelompok sasarannya yaitu anak yatim. Semua orang sepakat lah kalau yatim memang lemah secara psikologi maupun sosial” kata Sosiolog Unair itu. Bagong lebih mempersoalkan bagaimana lembaga yang menjalankannya mampu meraih simpati masyarakat. “Tujuan baik kalau tidak dilakukan oleh reputasi lembaga yang kredibel dan terpercaya tentu hasilnya negatif,” imbuhnya.

Salah satu keistimewaan ide “satu rumah satu yatim” adalah keluwesannya. Anak yatim bisa diasuh di rumah penyantun, asrama, atau juga rumah aslinya. Karena itulah patut dicoba.

(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Ide Satu Rumah Satu Yatim; Tawaran Solutif”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com