Televisi di Indonesia, seringkali diposisikan sebagai pendidik, penghibur, bahkan baby sitter bagi anak-anak Indonesia. Bahkan bagi anak yang ibunya bekerja di luar rumah, TV menjadi pengganti peran ibunya, pembuai di mana anak dihibur sampai tertidur di depan TV, pendongeng di mana anak betah sampai berjam-jam menonton
Tak heran bila anak-anak Indonesia bertumbuh dengan nilai-nilai dan pengetahuan yang didapatnya dari nilai televisi. Persoalan besar menghadang bangsa Indonesia bila masyarakatnya memakai pola ini dalam merawat anak-anaknya. Studi Dr. Jay Martin dari Universitas Southern California menghasilkan fakta memilukan. Dari hasil penelitiannya terhadap 732 anak selama beberapa tahun, anak yang menonton TV terpacu untuk berbuat kasar terhadap orangtuanya, berkelahi sesama anak, dan kejahatan remaja.
Temuan Jay ini membenarkan tudingan teori kultivasi yang dikemukakan oleh Prof. George Gerbner dari Universitas Pennsylvania Amerika Serikat (Nurudin, 2003) bahwa televisi menjadi media atau alat utama di mana para penontonnya belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Akibatnya, apa pun persepsi yang terbangun di benak penontonnya, terutama anak-anak, ditentukan oleh TV. Melalui kontak dengan televisi, anak belajar tentang dunia, aktornya, nilainya, serta adat kebiasannya. Televisi menjelma menjadi pembentuk pengetahuan, sikap, dan nilai.
Nah, dengan banyaknya tayangan kekerasan yang kini marak di televisi swasta Indonesia, sama saja dengan menyerahkan anak-anak penontonnya kepada kekejaman dan keberingasan. Mengapa? Pasalnya anak akan menganggap bahwa kekerasan itulah yang sedang terjadi di masyarakat. Jadi, anak-anak akan menganggap perilaku kekerasan yang dilakukannya adalah hal biasa saja.
Dalam ilmu psikologi, anak usia 9-10 tahun belum mampu membedakan antara kenyataan dengan fantasi. Akibat rangsangan tayangan TV, anak akan mengalami banyak benturan. Tak heran tayangan-tayangan amoral, bila diperkuat oleh realitas di lingkungan tempat anak tumbuh, bisa menjadi perilaku dan menanamkan pemahaman tentang apa yang ia lihat di televisi adalah benar.
Pada usia 14-15 tahun, anak masih punya kecenderungan perilaku yang tidak tetap. Setelah melewati proses meniru, mengidentifikasi, dan mengembangkan perilaku pada usia sebelumnya, pengaruh yang diterimanya sejak kecil lambat laun tertanam sedikit-sedikit. Televisi, sebagaimana yang pernah dicermati oleh Gerbner, dianggap sebagai pendominasi "lingkungan simbolik" kita. Sebagaimana McQual dan Windahl (1993) menyebutkannya, teori kultivasi menganggap bahwa televisi tidak hanya disebut sebagai jendela atau refleksi kejadian sehari-hari, tetapi dunia itu sendiri.
Peneliti lainnya, Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illionis, Amerika Serikat, beserta timnya pernah mengadakan kajian yang cukup panjang mengenai dampak kekerasan televisi terhadap perilaku anak-anak. Mereka menemukan bahwa saat anak berusia 8 tahun dan pernah menyaksikan tayangan tindak kekerasan melalui televisi, ketika mencapai usia dewasa, mereka cenderung tidak segan melakukan perbuatan jahat dan kejam.
Buktinya, di Amerika Serikat (AS) sendiri, penayangan tindakan kekerasan telah menyebabkan masyarakat negeri itu dilanda gelombang kejahatan dan ketidakamanan. Majalah mingguan Inggris Sunday Times menulis, "Meskipun AS memiliki 440 ribu polisi federal, setiap jam terjadi dua kali pembunuhan, 194 kali pencurian bersenjata, 10 kali pemerkosaan terhadap wanita dan anak-anak, dan 600 kali pencurian di rumah-rumah."
Dalam kondisi masyarakat seperti ini, Holywood bisa dianggap sebagai cikal bakal timbulnya kebudayaan kekerasan di AS. Bahkan Arnold Schwazeneger yang merupakan simbol kekerasan dalam film-film AS, malah berhasil terpilih sebagai Gubernur California, salah satu negara bagian terpenting di AS. Kondisi yang memprihatinkan ini juga membahayakan masyarakat dunia mengingat besarnya penyebaran film-film produksi AS di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia yang menjadi sasaran empuk peredaran film-film kekerasan Hollywood.
Berikut adalah beberapa akibat buruk tontonan kekerasan terhadap kondisi psikis anak.
Emosi Anak Terganggu
Masih mengacu kepada hasil penelitian Jay, anak yang sejak dini selama bertahun-tahun menonton tayangan mistis, akan tumbuh menjadi orang yang selalu ketakutan dan kelak ketika dewasa akan mengambil keputusan dengan emosinya saja. Menonton TV juga akan mengurangi kemampuannya untuk menyenangkan diri sendiri dan melumpuhkan kecakapannya mengemukakan pendapat secara logis dan sensitif.
Bagaimana tidak, kala menonton TV, tidak segan-segan untuk duduk di depan kotak ajaib tersebut selama berjam-jam. Hal ini cukup berbahaya bagi perkembangan karakter anak jika tidak terkontrol karena langsung masuk pada memori mereka dan memercayainya. Mereka akan lebih mudah merekam hal-hal yang menyenangkan dan berlangsung terus menerus. Hal ini terjadi karena mereka tidak punya pengalaman, dan dalam benak mereka belum ada program penyaring.
Melumpuhkan Kemampuan Berpikir Kritis
TV menjadikan otak pasif, melumpuhkan kemampuan berpikir kritis dan merusak kecerdasan spasial pada otak sebelah kanan, demikian hasil penelitian Dharma Singh. Tetapi bahaya yang paling besar dari TV ialah mengalihkan perhatian orang dari membaca. Efek TV lainnya yang menakutkan dan juga efek kesibukan kita ialah tidak punya waktu untuk membaca. Membaca, menurut peneliti neurologis sangat menguntungkan otak. Tentu saja banyak bahan bacaan yang memperkaya secara intelektual, tetapi semata-mata membaca saja, tidak jadi soal apa isinya, sangat bermanfaat. Membaca memerlukan keterlibatan aktif pikiran dan imajinasi.
Mengganggu Kognitif Anak
Meletakkan televisi sebagai baby-sitter bagi anak usia dini sangat berbahaya baik secara fisik maupun psikis. Apalagi dalam waktu yang panjang, lebih dari dua jam sehari. Bagi anak-anak di bawah 3 tahun, menonton TV terlalu dini bisa mengakibatkan proses wiring (penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak) menjadi tidak sempurna. Pada anak-anak yang lebih besar, berpengaruh pada kelambanan berbicara. Ini terjadi karena aktivitas menonton TV tidak menggugah anak untuk berpikir. Apa yang disajikan TV sudah lengkap dengan gambar dan suara.
Merusak Empati Remaja
Tidak hanya bagi anak-anak, bagi remaja, TV menyodorkan berbagai acara untuk menciptakan ketergantungan yang memaksanya menjadi orang lain di luar dirinya. Hal ini menjadikan remaja sebagai pribadi yang lentur, tidak mempunyai pengalaman empiris untuk meletakkan empati sosialnya. Kenyataan sosial di sekitarnya telah dikompres oleh media TV dengan memangkas kekayaan kemungkinan dan nilai yang terkandungnya. Demikian pula dalam pola pembentukan tipe idealitas, TV bisa menjadi pelaku atau sekedar agen perantara bagi munculnya konsep-konsep tertentu. Antara lain, perempuan cantik adalah yang berkulit putih dan berambut lurus. Bagi remaja yang merasa cantik, akan berusaha meniru idolanya dan semua sifat baik dan buruknya. Sementara bagi remaja yang tidak merasa cantik akan merasa minder. (bersambung)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih