Kendati tak lama, Nancy pernah berprofesi sebagai pengajar. Ia tahu betul bagaimana cara mengajari anak-anaknya secara baik. Karenanya, ketika si bungsu, Thomas Alva Edison, dikeluarkan dari sekolah saat baru tiga bulan menjejakkan kaki di lembaga pendidikan tersebut lantaran dinilai terlalu bodoh oleh gurunya hingga tak mampu menerima pelajaran apa pun, sang ibu dengan sabar mengajarinya membaca, menulis, dan berhitung.
Nancy Mathews Elliott adalah potret ibu yang dengan keyakinan kuat, tekun, dan cerdik berhasil mengantarkan Thomas sebagai pribadi unggul. Pernikahannya dengan Samuel Ogden membuahkan tujuh orang anak, salah satunya, Thomas yang ia lahirkan di Ohio Amerika Serikat pada 11 Pebruari 1847.
Al, begitu si bungsu biasa disapa, tak dapat bicara ketika usianya hampir 4 tahun. Namun setelah itu, ia mulai belajar dan meminta bantuan pada setiap orang dewasa yang ditemuinya. Bila mereka tidak tahu, maka Al kecewa dan bertanya “Why?” Tak berhenti di situ, saat berusia 7 tahun, Al kerap dimarahi gurunya karena banyak bertanya seputar hal-hal rumit.
Oleh gurunya, ia dianggap sebagai anak dungu dan stress. Pasalnya, ia tidak berpikir seperti anak-anak sebayanya Seandainya ilmu psikologi modern sudah tumbuh saat itu, Al mungkin dianggap sebagai korban Attention Deficit Syndrome (ADS) atau sindrom kurang perhatian.
Stigma buruk itu sama sekali tidak menyurutkan keyakinan Nancy bahwa Al adalah anak potensial. Betapa tidak, saat berusia 6 tahun, Al mampu mengerami telur ayam. Maka Nancy pun melakukan perlawanan atas keputusan sekolah. Bukan dengan cara unjuk rasa, namun memutuskan untuk menjadi guru pribadi bagi pendidikan Edison. Dengan latar belakang pendidikan formal yang cukup baik, ia menerapkan pengetahuannya pada anak-anak
Membangkitkan Kepercayaan Diri
Langkah awal yang ditempuh Nancy ialah memulihkan kepercayaan diri Al. Tekanan bertubi-tubi dari lingkungan sosialnya, tentu membuat kondisi mental si bungsu drop. Namun, ia tak sekali pun membiarkan situasi itu menjerat Al terus-menerus. Berkat sentuhan kasih orang tuanya Al sanggup menemukan jatidirinya. Ternyata anak ini cepat menyerap apa yang diajarkan ibu
Sang ayah, Samuel, memotivasi Al agar membaca buku-buku klasik yang bagus. Samuel memberinya hadiah 10 sen setiap kali selesai membaca satu buku. Saat berusia sebelas tahun, orang tua Al memperkenalkan dirinya pada perpustakaan setempat. Al lantas secara mandiri belajar di sana dan begitu keranjingan akan buku. Ia membaca buku-buku kuno yang terletak di rak paling bawah hingga rak tengah. Meski demikian, orang tua secara bijak mengarahkan Al agar lebih selektif terhadap buku bacaannya.
Setahun berikutnya, Al tidak saja telah melahap buku-buku sejarah dunia, buku-buku sastra, namun juga kamus lengkap dunia dan sejumlah buku praktek kimia. Sejak itu tersibaklah kegemaran dan bakat Al di bidang kimia dan elektronika. Nancy membelikan Al buku-buku seputar ilmu tersebut. Salah satu buku yang didalami Al menjelaskan bagaimana mempraktekkan percobaan kimia di rumah. Eksperimentasi yang mengantarnya pada penemuan spektakuler
Membebaskan Anak
Pada usia belasan, Thomas Alfa Edison terlihat layaknya orang dewasa. Kegemarannya pada buku sangat mempengaruhi kondisi mentalnya. Untuk menutupi kelemahan pada sisi sosialnya, sang orang tua memberi izin Al untuk berjualan koran, makanan ringan, dan permen di stasiun kereta api. Di lokasi lain Al berdagang buah-buahan dan sayuran.
Usia lima belas tahun menjadi titik balik Al. Setelah diterima bekerja sebagai operator telegraf dalam perang sipil Amerika, ia berkesempatan untuk memperbaiki kecepatan dan efisiensi sarana pengirim dan penerima kode morse. Ia pun mempraktekkan instrumen percobaannya yang didesain untuk memperbaiki alat tersebut.
Sampailah Al pada penemuan pertamanya yang disebut dengan pengulang otomatis (automatic repeater) yang mampu mengantarkan sinyal di antara stasiun yang kosong. Melalui alat itu, orang dengan mudah dan akurat menerjemahkan kode morse tanpa gangguan. Sayangnya ia tidak mematenkan kreasinya tersebut, sehingga terlangkahi oleh Alexander Graham Bell yang menemukan alat yang berfungsi sama dan mematenkan hak ciptanya
Al lantas melangkah pada eksperimentasi bola pijar listrik. Tahun 1880, ia dan teman sejawatnya menciptakan lebih dari tiga ribu teori untuk mengembangkan lampu pijar yang efisien. Lampu pijar bersinar lewat arus listrik dengan memanaskan bahan lempengan tebal yang disebut filament/kumparan kawat sampai cukup panas untuk membuat lampu itu bersinar.Percobaan itu berhasil mencatatkan namanya sebagai penemu lampu pijar elektrik.
Kini, anak yang pernah dicap sebagai “si dungu” oleh guru sekolahnya itu menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya bidang elektronika. Sentuhan kasih orang tua terbukti memancarkan kekuatan luar biasa, terutama dari pihak ibu.
Dalam salah satu buku biografi Thomas Alfa Edison, si penulis mencatat “Ibundanya merupakan guru yang lengkap dan melakukan yang terbaik bagi muridnya. Beliau membawa Edison ke panggung belajar bagi dirinya sendiri, panggung belajar yang membuat hatinya tertarik dan terhibur. Beliau memberi dorongan semangat agar terus berjalan di bidang itu. Satu hal terbaik yang beliau lakukan terhadap anak yang luar biasa.”
Al sendiri memberi kesan terhadap Ibundanya “Ibundaku telah membentuk diriku. Beliau memahamiku dan membiarkan aku mengikuti bakatku.” Sayangnya, Nancy tak dapat menyaksikan kesuksesan anaknya. Ia meninggal pada tahun 1871 saat Al berumur 24 tahun karena serangan penyakit.
Kesabaran, keuletan, dan kasih sayang orang tua, dipadu dengan kecerdikannya membaca potensi sang anak adalah bekal terbesar untuk mengantarkan anak menjadi sosok yang mampu “mengubah dunia”.
(Oleh Suud & Syafiq, diolah dari: http://www.rri-online.com dan http://www.nps.gov)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih