Antara Yatim dan Perkutut

Oleh: Syarif Thayib

Direktur LoGOS Institute Surabaya


Seorang teman kristiani awal Mei lalu memberi saya undangan VIP ANEC (Annual National Empowerment Congress), ajang pertemuan tahunan para Direktur dan Manajer perusahaan besar di Indonesia. Dua ribu lebih peserta yang hadir terkejut oleh atraksi salto Wakil Gubernur Jawa Timur, Syaifullah Yusuf, sebelum membuka acara.

Atraksi “raja” para pendekar Pagar Nusa itu mengilustrasikan bahwa hidup harus siap bangkit dari keterpurukan, kalau jatuh cepat bangun, jika kalah bersiaplah untuk menang di lain waktu, dan tetap semangat, demikian inti sambutannya.

Thema acara yang banyak memecahkan rekor MURI itu sangat provokatif, “Poor is Sin—Giving is Rich”, miskin itu dosa dan memberi itu (pangkal) kaya, berbeda dengan peribahasa lama, “hemat pangkal kaya boros pangkal miskin”. Kedua pepatah itu tidak bertentangan sebab hemat berbeda dengan kikir, dan bersedekah bukan boros. Terkadang orang tidak fair, berbagi kepada sesama dianggap boros, sementara berbelanja ini dan itu adalah tanda kekayaan.

Memberi harta atau apa saja yang bermanfaat untuk orang lain ditegaskan Allah Swt dan utusan-Nya Muhammad Saw akan memperlancar jalan rezeki (QS. 2: 261), menghindarkan dari bencana (HR. Thabrani), menenteramkan hati (QS. 2: 274), bahkan bisa menunda datangnya kematian (HR. Thabrani).

Pertanyaannya adalah kepada siapa kita harus berbagi agar manfaatnya bisa dirasakan langsung, tidak menunggu nanti di akhirat?

Yatim, ya serahkan saja harta itu kepada mereka sampai mandiri, kalau masih ada, serahkan lagi pada yatim lain, dan begitu seterusnya karena anak yatim adalah makhluk Tuhan yang kurang beruntung. Anak yang merasa sendiri di antara hiruk pikuk manusia di sekelilingnya, perasaan mereka sangat lembut dan sensitif karena hilangnya kasih sayang dari ayah (atau bahkan ibu), penopang ekonomi keluarga. Saat teman sebayanya bisa meminta apa pun kepada orang tuanya, si yatim tidak memiliki figur tempat bermanja. Karenanya, secara fisik dan psikis mereka sangat membutuhkan bantuan, perhatian, dan kasih sayang kita.

Banyak kisah nyata yang pernah saya baca tentang keajaiban menyantuni anak yatim, di antaranya kesaksian aktual Sofia dari Tangerang yang kehilangan uang hasil jual rumah warisan karena dirampok orang, tetapi dalam hitungan minggu ia sudah dapat ganti yang jumlahnya jauh lebih besar hanya lantaran niat akan menyumbangkan 10 % uang jual rumah itu untuk anak yatim.

Warga Tangerang lain, Syahrani Akbari Sadrie, pegawai negeri sipil golongan II bisa pergi haji setelah rajin memberi uang jajan bulanan untuk anak yatim. Bahkan pasangan Iyong Suptiah dan Mawardi Yusuf dari Pancoran-Jakarta memperoleh anak setelah penantian bertahun-tahun karena bernazar hendak menyantuni yatim jika harapannya terkabul (Nur, 2009).

Kesaksian seperti mereka pernah diteliti bahkan dipublikasikan oleh Richard Wiseman dari University of Hertfordshire London dalam buku Luck Factor, the Four Essential Principles (2003) dan Sucipto Ajisaka dalam Becoming a Magnet of Luck (2008), bahwa berbagi dapat meningkatkan keberuntungan finansial, kesehatan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Asal mau shodaqah setiap hari, maka salah satu indikator keberuntungan itu pasti bisa dirasakan sebelum tujuh minggu (Zainuddin, 2006).

Alasan rasional-ilmiah dan dalil-dalil teks Al Qur’an dan Sunnah di atas yang memotivasi saya untuk menerima ajakan Komisaris PT. LoGOS Institute agar net income perusahaan yang awalnya 20 %, sekarang 100 % diberikan kepada Yayasan Al Madinah yang mempunyai “tunggakan besar” untuk menyelesaikan Grha Aitam, istana anak yatim yang kelak (diharapkan) menjadi rujukan panti asuhan mana pun dalam sistem pemberdayaan anak asuh melalui konsep Holistic Person Empowerment System, tata organisasinya memenuhi International for Standardization Organization, sedangkan SDM pengelolanya memiliki semangat LoGOS (Loving God, Blessing Others, and Self Improvement).

Yatim di mata saya adalah jimat hidup setelah orang tua. Mereka adalah golongan orang yang tidak boleh disakiti apa pun kondisinya. Dengan memelihara yatim asal tidak menyekutukan Allah Swt bisa dipastikan masuk surga bersama Nabi Muhammad Saw (HR. Tirmidzi dari Ibnu Abbas). Sedangkan ridha dan benci orang tua adalah ridha dan benci Allah juga (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).

Kepedulian kita kepada anak yatim bisa dilakukan dengan mengasuhnya langsung atau menjadi donatur lembaga pengasuh/penyantun yatim. Tercatat ada 6.721 anak yang tinggal di panti asuhan Kota Surabaya yang berpenduduk lebih dari 4 juta jiwa (Dinsos Kota Surabaya, 2008).

Walau pun jumlah anak yang kehilangan bapak kurang dari 2% penduduk Surabaya, tetapi apakah anak-anak kekasih Rasulullah itu sudah tinggal dengan fasilitas yang layak? Bersih lingkungannya? Bergizi makan dan minumnya?

Bukankah masih ada panti asuhan sederhana yang dihuni lebih dari 300 anak? Banyak dari mereka terpaksa berhenti sekolah, dipekerjakan, dan seterusnya, padahal warga metropolis banyak yang kaya, jumlah mobil yang berplat L saja lebih dari 350 ribu, sedangkan sepeda motor ada 1,4 juta lebih (Surabaya Post, 23 April 2009).

Sebagai makhluk sosial, saya sangat prihatin jika ada satu rumah bisa mengeluarkan ratusan ribu sampai jutaan rupiah setiap bulan untuk sekadar perawatan kendaraan bermotornya, kecantikan dan kemolekan tubuhnya, bahkan untuk memelihara burung perkutut atau hewan piaraan lainnya, tetapi tidak satu pun anak yatim yang diasuh ataupun disantuni.

Kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Siapa pun pasti membutuhkan uluran tangan orang lain. Harta yang kita miliki toh tidak akan selamanya dalam genggaman diri kita ataupun anak turun kita. Jika kita kaya, apakah ada garansi bahwa anak cucu kita juga sejahtera seperti orang tuanya? Saat itulah mereka butuh bantuan orang lain. Maka di situlah budi baik sang orang tua akan menuai buahnya.

Lazimnya, setiap orang akan memperlakukan kita sebagaimana dia diperlakukan. Demikian pula anak-anak yatim. Jika mereka ditelantarkan maka jangan salahkan bila mereka bersikap acuh tak acuh atas lingkungannya. Sebaliknya, jika dirawat secara mulia nyaris sebagaimana kita merawat anak biologis kita, hampir pasti mereka akan membalasnya dengan kebaikan pula.

Maka dengan menyantuni yatim, berapapun nilainya, pasti memberi manfaat, bukan hanya bagi diri sendiri yaitu keberkahan rezeki dan kebahagiaan keluarga, lebih dari itu bagi bangsa negara ini. Dan alangkah eloknya, jika tindakan penyantunan yatim bisa tertata dan terkelola dalam “Gerakan Satu Rumah Satu Yatim”. Sebab, seperti dikatakan oleh Sahabat Ali bin Abu Thalib, “Al haqqu bi la nidhomin yaghlibuhu al bathilu binnidhomi (kebaikan yang tak terorganisir rentan dikalahkan oleh keburukan yang tertata rapi).

Comments :

0 komentar to “Antara Yatim dan Perkutut”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com