Ketika berbicara di depan forum musyawarah panti asuhan Islam, H.M Molik, Ketua BKSPAIS (Badan Koordinasi Panti Asuhan Islam) Surabaya, ditanya oleh salah satu peserta, “Lho pak, kalau semua kita laporkan, nanti ketika donatur tahu dana kita besar, bisa-bisa mereka enggan menyumbang.”
Akuntabilitas itulah salah satu kunci menarik simpati masyarakat terhadap lembaga pengumpul bantuan sosial. Sangat wajar bila penyumbang ingin tahu ke mana infaknya disalurkan, dan memastikan bahwa donasinya benar-benar tepat sasaran, karena itu bernilai ibadah baginya.
Mendapati pertanyaan di atas, jawaban Molik sangat menenarik. Dalam hematnya, sudah bukan zamannya orang menyumbang karena belas kasihan. Mereka menjadi donatur karena lembaganya amanah. “Ini kan problem mind set. Selama ini mereka menganggap, orang menyumbang lantaran prihatin. Padahal tidak,” tegas pria kelahiran Madura itu.
Persoalan amanah, akuntabilitas, dan kredibilitas lembaga menjadi penekanan Bagong Suyanto, pakar sosiologi Surabaya. Baginya, titik krusial dari gerakan filantropi semacam “satu rumah satu yatim” terletak pada institusi yang menggagas dan menjalankan program.
“Apakah memiliki reputasi dan kredibilitas yang baik di mata publik? Masyarakat mau terlibat aktif dalam aksi-aksi filantropi, hanya saja lembaga harus memberi jaminan dan kepercayan pada mereka. Ini zaman serbakontraktual,” tandas Bagong. “Sebagai langkah awal meyakinkan masyarakat, salah satu caranya ialah melibatkan figur-figur publik,” imbuh dosen Fisip Unair itu mengusulkan,
Dalam pengamatan Suryanto, pakar psikologi sosial, sebenarnya dana sosial seperti zakat, infak, dan sedekah, jika mampu dikumpulkan dan dikelola secara baik, berpotensi menuntaskan problem kemiskinan karena nominalnya yang sangat besar. Agama apa pun pasti mengajarkan pemeluknya untuk menyantuni fakir miskin dan anak-anak terlantar. Jika visi misi itu disatukan tentu berdampak luar biasa.
“Tetapi persoalannya, siapa yang hendak menyalurkan? Harusnya negara sebab punya legalisasi. Cuma memang negara seringkali tidak efisien dan efektif karena terlalu banyak level. Sehingga donatur khawatir, bantuannya banyak tersedot untuk biaya pengelolaan, dan sebagainya,” ungkap mantan psikolog tim Persebaya itu.
Dalam Islam, ‘amil (pengelola dan penyalur) memang berhak memperoleh bagian atas dana sosial tersebut lantaran jerih payahnya. Tetapi itu pun sekadar sebagai uang pengganti lelah, dan tidak boleh melebihi jatah penerima yang lain. Secara spesifik mungkin untuk biaya transportasi dan akomodasi selama proses penyaluran bantuan.
Meminimalisasi biaya pengelolaan dan penyaluran menjadi kewajiban pengurus lembaga sosial. Namun menurut Molik, “Seseorang dimintai tanggungjawab kan harus ada reward buat dia. Jangan sampai ironis, orang dituntut memikirkan bagaimana menyejahterakan umat, sementara dia dan keluarganya belum berdaya.” Persoalan besarnya, ketika komitmen itu diusung, bagaimana menyejahterakan para ‘amil tanpa mengambil dana infak yang diamanatkan kepada lembaga?
“Untuk itu lembaga yang kami kelola mendirikan unit usaha untuk menyejahterakan karyawan dan menutup biaya operasional yayasan. Dengan demikian, baik anak yatim dan dhuafa, karyawan, serta donatur tidak ada yang terzalimi,” ujar Molik, ketua Yayasan Nurul Hayat.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih