Memberdayakan ≠ Memanjakan Yatim

Seorang pengusaha pom bensim bertemu dengan salah seorang pengasuh panti asuhan besar di Surabaya. Ia bilang, dirinya membutuhkan operator pengisian. Sembari berniat memberdayakan anak-anak yatim, pengusaha itu meminta dikirimi tiga anak yatim asuhannya yang sudah lulus SMA.

Sayangnya di lembaga yang ia kelola belum ada anak seusia itu. Ia pun menawarkan kepada lembaga lain, dan gayung pun bersambut. Dikirimlah tiga anak purnaasuh menjumpai pemilik pom bensin itu. Apa lacur, empat hari berikutnya mereka kembali ke panti asuhan. Oleh pengasuh ditanya, “Kenapa pulang Nak?” jawabannya enteng, “Kerjanya terlalu berat.”


Sahutan ringan tersebut sesungguhnya menyuratkan dan meninggalkan tugas berat bagi para pengasuh dan pengurus panti asuhan. Ternyata setelah singgah sekian lama di panti, menerima fasilitas ini dan itu, mengakibatkan lemahnya etos kerja dan kemandirian anak.

“Keinginan kita untuk memuliakan anak yatim dan dhuafa bisa menjadi bumerang, jika tidak disertai program pemberdayaan yang tepat. Ini PR berat bagi kita,” tukas Molik, pengasuh Asrama Anak Sholeh Surabaya.

Suryanto, dosen psikologi Unair berpendapat, seharusnya anak yatim memang tidak perlu dibantu terlalu banyak. Hal terpenting ialah mereka diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri. “Karena kalau dibantu, orang menjadi ketergantungan. Apalagi jika dia distigma sebagai yatim, dan dibantu dengan terang-terangan, jelas akan memengaruhi konsep dirinya yang bisa berdampak negatif,” tandasnya.

Yayasan Yatim Mandiri Surabaya menanggulangi problem di atas dengan mengadakan pendidikan keterampilan selama setahun bagi anak-anak yatim purnasuh (lulus SMA). “Mereka ditampung 24 jam. Harapannya, keterampilan, mental, dan wawasannya terasah. Setelah itu kita carikan pekerjaan, agar mereka tidak menggandol lagi kepada orang,” ujar Moch. Hasyim, Direktur Mandiri Entrepeneurship Center (MEC), lembaga penyelenggara program.

Cara lain yang dikemukakan Hasyim adalah menyatukan panti dengan pesantren. Pondok pesantren terbuka untuk umum, namun juga menerima yatim. Khusus anak yatim dibebaskan dari segala biaya dengan sistem subsidi silang. Hal itu diamati pria berkaca mata itu dari sebuah lembaga pendidikan nonformal di Surabaya.

“Dalam perjalanan pendidikan, anak-anak yatim berkembang bagus. Karena di situ terpacu untuk berkompetisi belajar. Karena anak berangkat ke pesantren pasti tujuannya belajar. Maka semangat belajar anak yatim jadi lebih tinggi, karena bisa mengikuti program pendidikan tanpa ada pembedaan dengan anak-anak umumnya,” jelas Hasyim.

Ya, memberdayakan yatim memang tidak sama dengan memanjakannya!

Comments :

0 komentar to “Memberdayakan ≠ Memanjakan Yatim”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com