Mereka Punya Idealisme

Lima orang ditemui Al Madinah pada awal Ramadhan lalu. Dua orang berprofesi sebagai pemulung yakni, satu orang pencari cacing merah yang tinggal di kolong jembatan, satu orang tunawisma yang bekerja serabutan, dan seorang anak yang sering mengamen di terminal Joyoboyo. Mereka semua hidup di Surabaya, salah satu kota metropolis di Indonesia.

Dari lima orang tersebut, hanya Munaji, tunawisma yang biasa mangkal di pasar Pacarkeling Surabaya yang bukan kelahiran kota Pahlawan, tapi Tulungagung. Lainnya, lahir dan besar di kota ini. Hanya lantaran nasib, mereka harus menekuni profesi yang bagi sebagian kalangan dianggap hina. Silakan tilik, di hampir semua pintu gerbang komplek perumahan terpatri aturan, “Pemulung dan pengemis dilarang masuk.”

Padahal, menurut penuturan para narasumber Al Madinah, mereka melakoni pekerjaan itu demi mencari rezeki yang halal tanpa harus merepotkan orang lain. Heri Surianto misalnya, pemulung yang sehari-hari tinggal di kampung pemulung Upajiwa III, Kalibokor, Surabaya. "Semua sampah seperti plastik, kardus, botol, sekiranya bisa dijual ya saya ambil. Pokoknya tidak mencuri lho, mas," terang Heri seputar kerjaannya.

Heri dan tetangganya, Sulikah, yang juga berprofesi sama, dalam sehari bisa mendapat uang Rp. 15.000 saat hasilnya banyak. Namun kerap juga hanya bisa membawa pulang Rp. 5.000, lantaran hanya membawa sedikit barang ke tengkulak.

”Ya sekarang pemulung kan tambah banyak, jadi ya dapatnya sedikit, Padahal, saya berangkat dari rumah sekitar pukul 05.00 WIB atau setelah subuh dan pulang sekitar pukul 10.00 WIB,” ujar Sulikah, single parent bagi kempat anaknya sejak cerai dari suami pada tahun 2007.

Saat memeroleh Rp. 15.000, keduanya bisa menyisihkan uang untuk ditabung. Pasalnya dalam sehari mereka mengeluarkan uang Rp. 10.000 untuk belanja kebutuhannya. Sulikah bisa menabung untuk mengirimkan hasil jerih payahnya kepada empat anaknya yang tinggal bersama sang bibi di lereng Gunung Semeru Malang.

Heri yang tinggal bersama istrinya, Sa’diyah, mengaku bahwa pendapatan sebagai pemulung tidak sebanding dengan keperluannya. “Tapi gimana lagi mas, mau jadi tukang becak ya nggak berani, sehari bisa nggak dapat duit sama sekali,” ujar Heri yang memiliki becak karena memang pernah menjadi penarik angkutan tradisional ini.

Tekad untuk terus bertahan hidup tanpa harus meminta belas kasih orang lain juga tampak pada sosok Sofyan (33 tahun), pencari cacing merah yang tinggal di kolong jembatan BAT jalan Ngagel Surabaya.

Tentu tidak semua sungai di Surabaya ada cacing merahnya. Karena itu, suami dari Binti Nur Alifah ini harus menyelami dulu setiap sungai yang akan menjadi lahan kerjanya. Sama dengan pemulung, ketika Sofyan bisa menangkap banyak cacing, ia bisa menggondol uang hingga Rp. 25.000 dalam sehari. Namun tak jarang ia pulang ke rumah dengan tangan hampa.

“Dengan penghasilan segitu, apakah cukup untuk keperluan keluarga, Pak?” tanya Al Madinah kepada Bapak dari empat anak itu. Segera ia menjawab, “Ya jelas kurang, mas. Tak jarang saya ngutang ke teman-teman.”

“Coba sampeyan hitung, pagi, saya harus ngasih uang saku pada dua anak Rp 8.000 untuk sekolah. Sorenya tambah lagi Rp 4.000 untuk uang saku mengaji di mushala. Belum untuk makan sehari-hari. Kalau pas dapat Rp 25.000 ya bisa cukup. Tapi kalau cuma dapat Rp 3.000, terpaksa ngutang, mas,” terang Sofyan.

Sejak tahun 1994 hingga 1997, Lelaki yang tidak tamat SD ini bekerja pabrik roti. Namun saat krisis moneter menerpa, pabrik yang menunginya bangkrut. Jadilah ia pengangguran. Saat menikah pada tahun 1998, ia memutuskan untuk ikut jualan es kream. Lantaran keuntungan yang diperoleh amat minim ia banting setir menjadi pencari cacing hingga kini.

Sebelum menetap di kolong jembatan, Sofyan bersama keluaraga tinggal di stren Kali Mas. Namun karena digusur oleh pemerintah kota, ia memutuskan untuk pulang ke rumah mertuanya di Nganjuk. Setelah tiga bulan, ia merasa tidak kerasan, hingga akhirnya saya memutuskan untuk kembali mengadu nasib di kota Surabaya.

“Saya sebenarnya sedih dengan kondisi saat ini. Tapi bagaimana lagi, beginilah kehidupan kami. Tapi saya tetap akan berusaha untuk menghidupi anak-anak saya dari penghasilan yang halal. Karena semua ini nanti kan menjadi daging buat anak-anak,” tekad Sofyan.

Spirit kemandirian sebenarnya tertancap kuat di benak Heri, Sofyan, dan Sulikah. Namun kurangnya peluang dan faktor-faktor lain yang bersilang sengkarut, membuat mereka harus menekuni pekerjaan-pekerjaan yang di mata sebagian orang, rendah. Padahal mereka tak mau menengedahkan tangannya kepada kelompok yang memandang mereka hina itu.


Anak Sebagai Harapan

Apa pun situasi yang kini membelit, Heri, Sulikah, dan Sofyan masih terus berharap suatu saat akan ada perbaikan nasib. Jika asa itu tak terwujud, ketiganya berdoa agar anak-anaknya tidak meneiri orang tuanya.

“Semoga anak-anak kelak menjadi anak sholihah. Perjalanan hidupnya tidak seperti orangtuanya yang susah. Bisa mengenyam pendidikan tinggi tidak seperti orang tuanya yang SD saja tidak lulus, dan tekun beribadah, tidak seperti saya." Doa itu terlantun mulus dari mulut Sulikah.

(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Mereka Punya Idealisme”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com