Ramadhan oleh banyak orang disebut sebagai bulan kesalihan, baik individual ataupun sosial. Ribuan karya ilmiah, dari zaman klasik hingga modern menegaskan itu. Pada bulan ini, masjid dan musalla amat riuh dengan kegiatan. Seiring itu, muncul keinginan umat menjadi khusyuk, bahkan juga dermawan, karena puasa melahirkan kepekaan sosial.
Argumentasinya jelas, lapar dan dahaga yang dirasakan pelaku akan memicunya untuk berempati kepada sauadaranya yang tersisih, yang kerap lapar dan harus “berpuasa” di luar Ramadan. Maka tak heran, orang-orang kaya lantas sering mengundang kaum dhuafa berbuka puasa di rumahnya atau banyak mengeluarkan sedekah.
Semuanya menuju cita mulia; kembali fitrah (idul fitri). Bahwa secara kodrati, manusia adalah makhluq beriman. Namun kemudian, pendidikan dan lingkungan yang akan sangat memengaruhi model keberagamaan dan tingkat keimanannya.
Selain kesalihan, Ramadhan juga melahirkan tradisi konsumtif. Yakni belanja berlebihan dan berpenampilan semenarik mungkin untuk merayakan puasa dan lebaran. Sadar bulan suci, baju koko dan mukena, misalnya, harus baru dan sedikit mahal. Tak ada yang salah dengan tradisi ini.
Namun saat Ramadhan segera berakhir dan banyak orang sibuk bersiap menghadapi momentum lebaran, tak ada salahnya pula jika kita sejenak menoleh mereka yang tersungkur dan tersisih dari pusaran arus sosial.
Jika Anda penghuni komplek perumahan elit yang steril dari kemiskinan, cobalah melangkah keluar pagar, dan lihatlah mereka yang tinggal di komplek pemukiman kumuh. Jika Anda tinggal di perkampungan yang tingkat ekonominya beragam, tentu banyak tetangga Anda yang rumahnya reot alias tak pantas huni.
Beruntunglah orang yang telah memiliki kehidupan duniawi yang melimpah dan serbacukup. Bisa tenang menjalankan ibadah puasa dan merayakan, setidaknya dalam kasat mata sekilas.
Al Madinah edisi ini menghadirkan secuil kisah hidup saudara-saudara kita yang terpinggirkan dari hiruk pikuk kehidupan metropolis Surabaya yang gemerlap. Seputar bagaimana mereka merayakan dan memaknai puasa dan lebaran. Bukan soal siapa mereka, warga asli atau pendatang? yang terang, mereka mengadu nasib di ibukota propinsi Jatim ini.
Boleh jadi,di mata sebagian kalangan, saudara-saudara kita ini adalah “sampah” yang mengganggu keindahan kota. Karenanya, layak untuk dibersihkan. Sebuah vonis serampangan, tanpa solusi, dan tak menuntaskan persoalan.
Memang, di Republik ini telah ada ribuan bahkan jutaan ulasan tentang problem kemiskinan dan solusi pengentasannya. Namun bersamaan dengan itu, tumbuh pula jutaan warga miskin, tunawisma, dan hidup di bawah ambang batas kelayakan. Pendek kata, perbincangan seputar kemiskinan tak pernah berhasil memberantas kemiskinan pada dataran nyata.
Terlepas dari itu, bulan Ramadhan diyakini sebagai bulan penuh hikmah. Maka alangkah baiknya jika kita juga belajar dari lika-liku kehidupan para pengais limbah dan penghuni kolong jembatan. Sebab ternyata mereka teguh memegang idealisme.
Selain dari masjid dan musalla, makna puasa dan lebaran tentu akan lebih kaya jika kita mau menggalinya dari kolong jembatan dan gubuk-gubuk reot. Maka mari kita sapa mereka.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih