Anak BMI Dan Yatim


Oleh: Robiah Al Adhawiyah

Ibu Rumah Tangga, Anggota Dewan Pembina Yayasan Al Madinah


Juni 2008 lalu, saya diajak suami pergi ke Hongkong dan Macao China untuk memenuhi undangan Prima Diamond Enterprise, sebuah organisasi BMI (Buruh Migran Indonesia) di Hongkong. Selama lima hari di sana aktivitas saya luar biasa padat, hampir setiap jam menerima dan membalas telepon dan sms berisi curhat dari ratusan anggota BMI perempuan. Saya menjadi konselor dadakan.



Mayoritas keluhan mereka adalah ketidaksetiaan suami dan kenakalan anak-anaknya yang tinggal di Indonesia. Selain itu, persoalan hubungan dengan majikan mereka, seperti gaji yang tidak dibayar, perlakuan kasar, pelecehan seksual, disuruh masak babi tiap hari, dan seterusnya.

Hongkong sekilas memang tampak lebih maju dibandingkan negeri kita, setidaknya terlihat dari kebersihan dan kerapian kota, kenyamanan kereta bawah tanah, dan semangat kerjanya yang tinggi di atas rata-rata orang Indonesia.

Meski begitu, mayoritas anggota BMI tetap gelisah lantaran terpisah dari keluarga dengan keterpaksaan. Sebenarnya mereka berharap bisa segera berkumpul keluarga, tanpa harus bersusah payah mengais dolar Hongkong atau mencari gaji 4 juta rupiah tiap bulan.

Kunjungan tersebut sudah berlangsung 15 bulan lalu. Namun hingga sekarang terkadang saya masih menerima sms dari mereka tentang perkembangan pekerjaan dan hubungannya dengan suami serta anak-anak mereka.

Saya jadi teringat tingkah polah anak-anak yatim di panti asuhan yang nakalnya di atas rata-rata anak bukan yatim. Saya bisa maklum, sebab mereka kehilangan kasih sayang seorang bapak, sehingga terus berusaha mencari perhatian orang di sekitarnya.

Anak-anak BMI juga demikian. Mereka kebanyakan sudah tidak memiliki figur bapak yang sebelum ibunya menjadi BMI sudah menikah dengan wanita lain. Atau kalaupun masih di rumah, kebanyakan perhatiannya sudah terbagi dengan pacar barunya, dan seterusnya.

Anak-anak BMI secara materi sangat terpenuhi. Tetapi hidup tanpa kasih sayang orangtua mengakibatkan mereka krisis figur, tak ada panutan yang menjadi tempat curhat mereka. Teman-teman sebaya menjadi pengganti figur bapak dan ibu mereka. Sayangnya tidak sedikit dari mereka terjerat kasus kenakalan remaja, seks bebas, dan Narkoba karena salah pilih teman.

Peran orangtua sebagai figur panutan sulit digantikan orang lain, bahkan guru sekolah sekali pun, apalagi teman sebaya. Guru di sekolah selalu menegaskan bahwa kecerdasan intelektual dan sosial anak diperoleh dari sekolah, juga rumah! Peran orangtua sangat menentukan perkembangan karakter, tinggi rendahnya prestasi, dan baik buruknya akhlak mereka.


Ayah: Figur Dominan

Pertanyaannya, siapakah figur dominan yang mewarnai kehidupan anak di rumah? bapak ataukah ibu?

Menurut saya Bapak, karena identitas terdefinisikan dari figur bapak.. “Sesungguhnya anak terlahir seperti kertas suci/ bersih, kedua orangtuanya (bapak)-lah yang menjadikan anak-anak itu yahudi, majusi, maupun nasrani (kullu mauludin yuuladu ‘ala al fitrah, fa abawahu yuhawwidanuhu, aw yumajjisanuhu, aw yunassiranuhu.

Kata abawahu merupakan bentuk ganda dari kata Abun (bapak). Ini sengaja dipilih karena figur bapak memang sangat berpengaruh pada pilihan identitas pribadi anak.

Anak yatim ataupun yang sejak kecil kehilangan bapaknya akan mencari identitas diri dengan meniru, mencari teladan pengganti bapak yang bisa mengayomi dan membimbingnya untuk menemukan jati diri.

Dalam proses ini, figur guru sangat menentukan, ketika guru yang diikutinya tepat, si anak bisa menjadi orang besar dan berpengaruh, sebut saja Bung Hatta (ayahnya meninggal saat Hatta berusia delapan bulan), Gus Dur (sang ayah meninggal karena kecelakaan kala Gus Dur berusia 13 tahun), Jalaluddin Rakhmat (ditinggal pergi ayahnya sejak masih usia dua tahun), atau founder SEFT, Ahmad Faiz Zainuddin yang menjadi yatim sejak usia 10 tahun.

Keempat figur yang saya sebutkan di atas mampu melewati masa-masa sulit tanpa bapak dengan belajar dan bekerja keras. Fondasi karakter mereka sangat kokoh, sebelum baligh mereka dididik dan didampingi oleh orang yang tepat, sehingga pada saat dewasa awal, mereka bisa menentukan pilihan identitas yang pas.

Dalam psikologi perkembangan disebutkan bahwa usia kritis anak untuk menentukan pilihan ideologi dan penemuan identitas diri terjadi pada usia pascabaligh (15-18 tahun). Sehingga pantas kalau Jalaluddin Rakhmat mendirikan sekolah Al Muthahhari di Bandung diawali dari tingkat SMA, sebelum mendirikan TK, SD, maupun SMP.

Adanya figur bapak kandung tentu bukan jaminan proses pencarian identitas diri berjalan mulus. Anak tentu akan melakukan perlawanan jika mengetahui figur bapak kandungnya bertentangan dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.

Konon salah satu pelaku bom bunuh diri Agustus lalu adalah seorang pemuda pendiam dan taat, tetapi setelah bapaknya ketahuan ghasab sandal di masjid, sang anak merasa malu, kemudian lepas kendali, menjadi liar, dan aktif di organisasi yang mudah mengkafirkan orang.

Bagaimana dengan figur ibu? Sebagai seorang ibu dari lima orang anak, saya setuju sekali bahwa ibu punya pengaruh kuat pada dimensi afeksi anak. Menyayangi, peduli, empati dan lain sebagainya adalah sifat yang mudah ditiru anak dari sosok ibu.

Maka Al Quran menganjurkan seorang ibu bisa menyusui bayinya diri selama 2 tahun, agar nilai-nilai kasih, sayang, dan kesabaran melekat sejak dini (QS. Al Baqarah 233).

Pertumbuhan anak selanjutnya dikembangkan pada saat Balita, sebelum mereka lebih jauh mengenal pendidikan di sekolah dan pergaulan masyarakat sekitarnya. Sedangkan kondisi negara, ekonomi, maupun situasi politiknya mewarnai mereka setelah dewasa. Pengaruh dari luar itu memiliki bobot yang relatif kecil dibandingkan realitas yang ditemukan anak pada usia Balita sampai baligh.

Konsep pemberdayaan yatim di Grha Aitam Yayasan Al Madinah yang membatasi penghuninya sampai dengan baligh (SD-SMP) saja sangat tepat untuk pembentukan karakter anak. Sehingga dalam proses pencarian identitas diri di tempat berikutnya, baik di pesantren, boarding school, dan lain semacamnya, mereka sudah dibekali karakter diri yang kuat.

Comments :

0 komentar to “Anak BMI Dan Yatim”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com