“Ya nggak kuat, mas. Setiap hari saya harus jalan beberapa kilometer bawa barang hasil memulung. Lagian kondisi sekarang ini kan panas. Makanya saya putuskan nggak puasa. Sebenarnya sih ingin puasa, tapi gimana lagi, wong kondisinya seperti ini."
Ucapan jujur itu meluncur dari Sulikah, wanita yang memutuskan beralih profesi sebagai pemulung setelah sempat bekerja di pabrik permen. Ia penduduk asli Kota Pahlawan, karena terlahir dan besar di kota ini. Namun lantaran tak menemukan pekerjaan yang cocok, ia memutuskan untuk menjalani profesi sebagai pengais limbah.
Siapa pun pasti tahu bagaimana beratnya pekerjaan pemulung. Mereka harus keluar rumah di pagi hari agar dapat mengail lebih banyak sampah yang masih bisa didaur ulang. Dari kampung ke kampung mereka susuri dengan berjalan kaki. Biasanya, pada siang hari yang menyengat mereka baru berjalan kembali menuju persinggahannya.
Alasan ini pula yang mendasari Heri Surianto, tetangga Sulikah yang berprofesi sama. Al Madinah menyambangi mereka pada awal Ramadhan. Tanpa tedeng aling-aling, Heri berujar, “Ramadhan buat aku memang ada perbedaan dengan bulan-bulan lain. Bekerjanya tidak terlalu berat. Tapi sampai hari ini saya tidak pernah puasa. Nggak kuat.”
Pekerjaan berat dan cuaca panas sebagai dalih kedua orang itu, tapi memang sangat logis. Keduanya mengaku beragama Islam, namun lantaran keadaan yang rumit, salah satu rukun agama harus mereka tinggalkan.
Tak beda dengan pemulung, Sofyan, pencari cacing merah, dan Munaji, pria tunawisma di yang biasa mangkal di kawasan pasar Pacarkeling, Surabaya dan bekerja serabutan, juga tidak menjalankan kewajiban puasa Ramadhan lantaran pekerjaannya.
Hampir setiap hari Sofyan menyelami sungai untuk menggali cacing-cacing yang bersembunyi di lumpur dasar sungai. Selama beberapa jam ia berendam dalam sungai, seraya terus berharap tangkapannya melimpah dan rupiah yang masuk ke kantong pun lebih banyak.
Sementara Munaji, tampak tidak terlalu menyesali pilihannya untuk tidak berpuasa. “Berat, mas. Saya kerja serabutan. Kalau puasa tentu badan jadi loyo. Kalau saya tidak bekerja, terus siapa yang mau kasih saya makan,” cetus pria asli Tulungagung itu. Saat ditanya, “Sudah pernah mencoba puasa, Pak?” secara lugas ia menyahut, “Belum pernah, mas.”
Ketika Al Madinah mengejar dengan pertanyaan, “Tidak takut dosa, Pak? Munaji denngan enteng menjawab, “Orang seperti saya ini sudah tidak pada tempatnya untuk bicara dosa atau pahala. Yang penting tidak mencuri, itu sudah cukup. Urusan dosa atau pahala, biar orang-orang berpangkat yang membicarakan.”
Ada Kesadaran, Siapa Mau Memicunya?
Berkebalikan dengan Munaji yang tampak sudah sedemikian cuek, Sofyan, Sulikah, dan Heru merasa malu. Sofyan misalnya, ia mengakui dirinya banyak melakukan dosa, jarang melakukan shalat dan puasa. Kendati demikian ia berharap agar putra-putrinya tak mengikuti jejaknya.
Lain halnya dengan Sulikah. Ia tetap berharap dirinya menjadi pemeluk Islam yang baik. “Kalau saya diberi kesempatan sebagai orang berkecukupan mungkin saya puasa. Sekarang untuk cari nafkah saja pusing, apalagi saya harus menghidupi ibu dan anak-anak,” tandas ibu dari empat anak itu.
Sekian abad silam, Nabi Muhammad Saw sudah menegaskan bahwa kemiskinan mendekatkan orang pada kekufuran atau dosa besar (HR. Abu Naim dari Anas). Terlepas kesahihan hadis ini dipertanyakan, tentu sabda tersebut bukan vonis kepada mereka yang miskin namun peringatan kepada kelompok mampu.
Apa pasal, bukankah mencegah manusia dari terjerumus kemaksiatan adalah tugas semua umat beragama? Maka, adalah tugas kalangan mampu, baik itu organisasi maupun individu, untuk membantu negara mencegah warga terjerumus pada dosa karena kemiskinannya. Caranya? Dakwah solutif; tak hanya asupan spiritual seputar aturan agama yang diberikan, tetapi mereka juga harus dibantu memenuhi kebutuhan dasarnya.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih