Lantas apakah pemulung, pencari cacing merah, dan tunawisma serabutan juga merayakan idul fitri sebagaimana umat Islam pada umumnya? Munaji yang berasal dari Tulungagung sudah puluhan tahun tak menemui saudaranya di kampung halaman.
“Saudara sudah pisah semua, paling tinggal saudara jauh. Mereka juga tidak mencari saya karena memang tidak tahu di mana saya,” ujarnya. Maka pada hari lebaran sekalipun, pria ini tetap setia nongkrong di pasar.
Hal sama juga dilakukan pengamen kecil seperti Aprianti. Gadis sembilan tahun yang biasa beroperasi di terminal Joyoboyo ini justru memanfaatkan momentum idul fitri sebagai ajang mencari belas kasih dari para jamaah shalat idul fitri.
Tak jauh beda dengan kedua orang tersebut, Heri dan Sulikah juga tidak memanfaatkan hari raya sebagai momentum liburan. Keduanya tetap memulung. Kalaupun bersilaturahmi, hanya dengan tetangga sekitar.
“Ya maklum mas, mau bertemu anak saya juga tidak mudah. Untuk sampai ke lereng gunung Semeru itu kan harus naik-turun angkutan umum sebanyak enam kali. Medannya juga susah,” ujar Sulikah yang tinggal di Surabaya bersama ibunya, Mira.
Hanya Sofyan yang masih rutin berkunjung ke rumah keluarga istrinya di Nganjuk. Namun berhubung istrinya sekarang sedang hamil tua, maka pada tahun ini ia hanya merayakan lebaran di sekitar kolong jembatan.
Bagi mereka, tak beda antara hari raya dan hari biasa.
(Syafiq)
Dapat Zakat, Untuk Apa?
Sebagai fakir miskin, tentu mereka berhak memeroleh zakat (mustahiq). Namun lantaran tradisi pemberian zakat di negeri ini yang masih menganut pola pemberian langsung tanpa pengelolaan, maka, selain zakat yang diterima para mustahiq tak seberapa, juga cepat habis untuk konsumsi, bahkan ada yang dijual.
Silakan simak pengkuan mereka:
Tahun lalu dapat zakat. Dari orang kampung dan pedagang pasar Pacarkeling. Ada beras juga duit. Berasnya langsung saya jual, mas. Ha..ha..ha… (sambil tertawa). Kalau ditotal, ya dapat sekitar Rp. 50.000 setiap idul fitri.
Sekarang ini jarang orang yang datang ke sini. Tapi kalau lebaran pasti ada yang memberi. Kalau tidak ngasih sembako ya uang. Itupun tidak banyak, paling Rp. 20.000. Ada juga yang memberi beras atau supermi. Habis untuk makan, mas.
Nggak pasti dapat berapa. Kadang ada taksi atau sepeda motor tiba-tiba berhenti di sini dan ngasih uang. Kadang juga dapat beras. Itupun sedikit. Biasanya uang zakat untuk tambahan kebutuhan sehari-hari. Kalau lebih, ya disimpan.
Kadang diberi beras oleh orang lewat, meski tidak seberapa saya tetap bersyukur. Selain untuk dikonsumsi, mungkin kalau lebih, saya pakai buat beli pakaian anak-anak.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih