Perbincangan bersama Shahnaz Haque
Awal April 2009, menantu tokoh sastra Indonesia, Ramadhan KH ini, dihubungi Al-Madinah, untuk diminta menjadi pengasuh rubrik yang bernama serupa dengan namanya, Shahnaz Berbagi. Hanya dalam hitungan menit, adik Marissa dan Soraya Haque ini mengiyakan, berwawancara, membalas e-mail dan memberikan foto-fotonya. Hal ini membuktikan, dedikasi Shahnaz Natasya Haque terhadap pendidikan anak-anak Indonesia, sangat tinggi. Hebatnya lagi, dia enggan dibayar sepeser pun untuk pengasuhannya ini.
Untuk mengetahui, apa dan bagaimana pandangan, sikap, dan solusi yang dikemukakan sarjana Teknik Sipil Universitas Indonesia ini terhadap persoalan pembinaan anak yatim, berikut kami sajikan hasil wawancara tertulis Al-Madinah dengan Shahnaz Haque:
Apa pandangan/pendapat Mbak tentang keberadaan anak yatim yang ditempatkan di asrama? Bagaimana perbandingan dengan anak yatim yang tetap diasuh keluarganya?Apa plus dan minusnya?
Anak yatim di negara kita, saya rasa belum terkelola dengan baik. Padahal mayoritas warga negaranya beragama Islam. Dan ini menjadi tantangan ke depan untuk semua orang yang merasa ingin mendapatkan tiket masuk surga dengan merawat anak yatim.
Perbedaan antara anak yang tinggal di asrama atau tetap di lingkungan sebuah keluarga, tentu berbeda secara psikologis. Jika mereka tinggal di asrama, mereka lebih mandiri, lebih punya empati, merasakan senasib sepenanggungan. Akan tetapi dari segi kesejahteraan, mungkin berbagi dengan orang banyak harus memiliki cara tersendiri. Tentu saja, sangat jauh berbeda soal kehangatan, bila anak diasuh dalam lingkungan keluarga. Karena bagaimana pun juga, seorang anak membutuhkan figur, belaian, dan kehangatan keluarga yang utuh.
Pola pengasuhan kepada anak yatim/miskin/fakir, tentu berbeda dengan mereka yang diasuh oleh ayah-ibunya secara langsung. Apa pendapat Mbak?bagaimana pola idealnya?
Pola yang ideal, apabila kita ingin mengasuh anak yatim/fakir/miskin, asuhlah layaknya mereka seperti anak kandung kita. Karena mereka juga sangat membutuhkan sebuah bimbingan layaknya anak kandung. Kalau pun mereka berbuat salah, memang harus ditegur. Manakala mereka benar, berilah pujian. Saran saya, eluslah mereka, agar harga diri mereka meningkat. Pacu kreativitas mereka, karena itu adalah kapasitas manusia mempertahankan hidup. Buat mereka bisa mengeluarkan ekspresi dalam bidang kesenian dan keterampilan sebagai sarananya.
Bagaimana sebaiknya pola pendidikan anak yatim yang ideal? Terutama bila dikaitkan dengan satu rumah/keluarga mapan membiayai seorang anak yatim?
Menyantuni anak yatim bagi keluarga mapan tentu bukan perkara susah, akan tetapi anak-anak ini perlu dibelai jiwanya dengan kasih sayang yang luar biasa. Baik oleh ayah-bunda dan anggota keluarga lainnya di keluarga mapan tersebut.
Kita harus membuat anak-anak ini selalu tersenyum walaupun pada hakekatnya mereka terluka.Cobalah terapi ini, tanamkan pola tersenyum yg dilakukan bukan hanya untuk diri mereka sendiri tapi juga untuk orang lain. Pada gilirannya, tanpa mereka sadari orang lain akan turut berbahagia melihat mereka tersenyum. Jadi senyum itu menyembuhkan diri mereka sendiri juga orang lain yang melihatnya.
Adakah program-program Unicef di Indonesia yang Mbak tangani, terkait dengan kepentingan/kebutuhan anak yatim?
Program Unicef merangkul banyak anak. Meliputi bagaimana meningkatkan kesejahteraan mereka, pelatihan untuk menjaga diri mereka sendiri. Menurut pendapat saya, kita tidak perlu untuk bergantung dengan sebuah organisasi. Tapi sebenarnya kita sebagai bangsa yang besar dengan mayoritas beragama Islam, mampu melakukan pemberdayaan terhadap anak-anak ini (salah satunya lewat Al-Madinah). Karena kita yang dekat dengan mereka, sehingga tahu apa yang dibutuhkan oleh anak-anak ini dan tahu bagaimana cara membuat mereka menjadi kuat.
Ada pameo yang seakan telah menjadi kebenaran bahwa mengasuh anak yatim membutuhkan kesabaran ekstra karena umumnya mereka nakal-nakal.
Bagaimana menurut Mbak? Bagaimana mencegah hal ini terjadi atau bahkan menolak hipotesa tersebut?
Menurut saya bukan soal anak yatim saja, bahkan untuk anak kandung sekali pun, sebagai orangtua kita tidak pernah tahu apakah anak menjadi hadiah atau cobaan. Bagaimana reaksi orangtua itu lah yang terpenting. Latih anak untuk belajar dan menjalani konsekuensi. Orangtua harus TTS (Tegas, Tegar, Sabar). Ingatkah, Allah mengajar dan mengasuh Nabi Adam AS juga dengan cara seperti itu. Terus menerus lah jadi cermin dan tidak terjebak dalam kubangan emosi.
Memampang/menerbitkan foto-foto anak yatim di majalah, untuk menarik simpati dermawan, apakah termasuk eksploitasi terhadap anak? Kira-kira bagaimana perasaan mereka? Lalu adakah solusi lain dengan risiko yang lebih rendah?
Memang susah, tapi perlu untuk mengingatkan bahwa kehidupan bagikan roda yang berputar terus, tidak selamanya hidup ada di atas. Foto-foto mereka baik untuk pengingat bagi yang lain. Tapi akan jahat kalau niat memasang foto mereka memang untuk mengeruk keuntungan pribadi atau golongan. Jika ingin berfikir lebih maju, carilah celah untuk membuat bagaimana anak-anak ini punya networking yang baik dengan orang-orang yang bisa membuat mereka kuat, dengan mendapat pelatihan.
Jadi jangan hanya memberi ikan, tapi kail. Membiasakan anak percaya akan 'suara dalam kepalanya' dengan melakukan pilihan terhadap alternatif, membuat keputusan, dan bertanggung jawab terhadap keputusannya itu.
Membina mental anak yatim untuk mandiri tentu memerlukan sistem dan metode tersendiri, bagaimana idealnya menurut Mbak Shahnaz?
Metode agar anak mandiri adalah terus menerus memberi kesempatan anak menjalani konsekuensi, membuat mereka sakit tapi di dalamnya ada pembelajaran. Yang dibutuhkan oleh anak kita adalah empati. Tunjukan bahwa kita juga sedih, dan berikan beberapa solusi agar ia bisa kembali ke kehidupan normal lagi. Anak belajar tentang nilai -bergelut dengan masalah, di sisi lain kita menjalin persahabatan dengannya, guna mengantarkan mereka menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Seiring perkembangan teknologi informasi, arifkah bila kita memperkenalkan ragam IT kepada anak yatim di asrama? Pasalnya secara umum mereka tidak mampu membeli, sehingga dikhawatirkan ada kesenjangan antara harapan untuk memiliki, dan kenyataan bahwa mereka menguasai teknik penggunaan alat-alat tersebut. Bagaimana menurut Mbak?
Jangan sampai anak-anak itu dijauhkan dari perkembangan IT, karena siapa tahu mereka akan menjadi salah satu ahli IT yang bisa dibanggakan oleh bangsa kita. Tapi ingatkan kepada mereka bahwa IT bagaikan dua sisi pada keping mata uang yang sama. Bisa jadi musuh atau kawan untuk perkembangan anak. Tapi ingatlah, di bawah 3 tahun tidak boleh sama sekali. Di atas 3 tahun; 30 menit/hari, dan itu pun dilihat dari segi emosi dan tingkat kecerdasannya. Nah, pada usia 5 tahun ke atas tidak boleh lebih dari 2 jam/hari karena dikhawatirkan mengganggu sensor penglihatan dan ketertarikan terhadap hal-hal yang lain.
Apakah pemberian insentif terus menerus kepada anak yatim tidak menimbulkan ketergantungan mereka terhadap donasi? Kapankah anak yatim bisa 'dilepas' dari donasi, secara mental dan fisik?
Umur 7 tahun, sebenarnya anak-anak bisa diajarkan berdagang, misalnya membuat es batu, es mambo, sulaman sederhana, dan keterampilan lainnya. Kalau pun tidak mau membuatnya, ajaklah mereka memilih barang, kemudian latih mereka untuk berjualan. Hal terbesar yang bisa kita hadiahkan kepada anak-anak bukanlah berapa donasi yang diberikan tetapi sejauh mana mereka bisa menengok dan bergantung pada pikiran dan dirinya sendiri dengan izin Allah, dalam menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan ujian dalam hidupnya nanti. Baik ketika kita sudah tiada sementara atau selamanya dari sisinya.
Menumbuhkan jiwa mandiri pada anak yatim, apa yang harus kita lakukan?
Jiwa mandiri akan muncul hanya pada anak-anak yang mengatakan pada dirinya: "Saya insya Allah akan bisa memecahkan atau mengatasi masalah ini sendiri.” Insya Allah akan menjadi survivor/ pemenang dalam persaingan hidup yang sudah sangat keras sekarang ini. Mereka yang terlibat dalam proses belajar, berhubungan dengan orang lain, dan merintis jalannya sendiri ke dunianya.
Pesan saya, bersama marilah kita asuh dan besarkan anak-anak ini dengan baik, benar, dan menyenangkan sehingga menghasilkan anak yang sehat, cerdas, tangguh, taqwa, berakhlak mulia, dan bahagia. Menyenangkan hati di dunia membahagiakan di akhirat, Amien.
Demikian pemikiran dan saran Shahnaz untuk edisi kali ini. Pada terbitan mendatang, kita akan membahas hal-hal teknis yang seringkali dianggap remeh, namun ternyata sangat berbekas pada jiwa dan masa depan anak-anak yatim di sekitar kita. Sampai jumpa.
(Siti Raudlatul Jannah)
Kepedulian terhadap pembinaan dan pengasuhan anak yatim, mendapat perhatian lebih dari istri drummer Gilang Ramadhan ini. Aneka kegiatan terkait anak sudah dijalani ibu dari Pruistin Aisha, Charlotte Fatima dan Mieke Namira ini. Termasuk di antaranya, menjadi Duta Unicef, salah satu badan PBB, guna kampanye menekan angka kematian anak akibat campak. Sebelumnya, Shahnaz juga dipercaya menjadi Ambassador for the Child Labour, ILO/IPEC, PBB tahun 2001-2003.
Awal April 2009, menantu tokoh sastra Indonesia, Ramadhan KH ini, dihubungi Al-Madinah, untuk diminta menjadi pengasuh rubrik yang bernama serupa dengan namanya, Shahnaz Berbagi. Hanya dalam hitungan menit, adik Marissa dan Soraya Haque ini mengiyakan, berwawancara, membalas e-mail dan memberikan foto-fotonya. Hal ini membuktikan, dedikasi Shahnaz Natasya Haque terhadap pendidikan anak-anak Indonesia, sangat tinggi. Hebatnya lagi, dia enggan dibayar sepeser pun untuk pengasuhannya ini.
Untuk mengetahui, apa dan bagaimana pandangan, sikap, dan solusi yang dikemukakan sarjana Teknik Sipil Universitas Indonesia ini terhadap persoalan pembinaan anak yatim, berikut kami sajikan hasil wawancara tertulis Al-Madinah dengan Shahnaz Haque:
Apa pandangan/pendapat Mbak tentang keberadaan anak yatim yang ditempatkan di asrama? Bagaimana perbandingan dengan anak yatim yang tetap diasuh keluarganya?Apa plus dan minusnya?
Anak yatim di negara kita, saya rasa belum terkelola dengan baik. Padahal mayoritas warga negaranya beragama Islam. Dan ini menjadi tantangan ke depan untuk semua orang yang merasa ingin mendapatkan tiket masuk surga dengan merawat anak yatim.
Perbedaan antara anak yang tinggal di asrama atau tetap di lingkungan sebuah keluarga, tentu berbeda secara psikologis. Jika mereka tinggal di asrama, mereka lebih mandiri, lebih punya empati, merasakan senasib sepenanggungan. Akan tetapi dari segi kesejahteraan, mungkin berbagi dengan orang banyak harus memiliki cara tersendiri. Tentu saja, sangat jauh berbeda soal kehangatan, bila anak diasuh dalam lingkungan keluarga. Karena bagaimana pun juga, seorang anak membutuhkan figur, belaian, dan kehangatan keluarga yang utuh.
Pola pengasuhan kepada anak yatim/miskin/fakir, tentu berbeda dengan mereka yang diasuh oleh ayah-ibunya secara langsung. Apa pendapat Mbak?bagaimana pola idealnya?
Pola yang ideal, apabila kita ingin mengasuh anak yatim/fakir/miskin, asuhlah layaknya mereka seperti anak kandung kita. Karena mereka juga sangat membutuhkan sebuah bimbingan layaknya anak kandung. Kalau pun mereka berbuat salah, memang harus ditegur. Manakala mereka benar, berilah pujian. Saran saya, eluslah mereka, agar harga diri mereka meningkat. Pacu kreativitas mereka, karena itu adalah kapasitas manusia mempertahankan hidup. Buat mereka bisa mengeluarkan ekspresi dalam bidang kesenian dan keterampilan sebagai sarananya.
Bagaimana sebaiknya pola pendidikan anak yatim yang ideal? Terutama bila dikaitkan dengan satu rumah/keluarga mapan membiayai seorang anak yatim?
Menyantuni anak yatim bagi keluarga mapan tentu bukan perkara susah, akan tetapi anak-anak ini perlu dibelai jiwanya dengan kasih sayang yang luar biasa. Baik oleh ayah-bunda dan anggota keluarga lainnya di keluarga mapan tersebut.
Kita harus membuat anak-anak ini selalu tersenyum walaupun pada hakekatnya mereka terluka.Cobalah terapi ini, tanamkan pola tersenyum yg dilakukan bukan hanya untuk diri mereka sendiri tapi juga untuk orang lain. Pada gilirannya, tanpa mereka sadari orang lain akan turut berbahagia melihat mereka tersenyum. Jadi senyum itu menyembuhkan diri mereka sendiri juga orang lain yang melihatnya.
Adakah program-program Unicef di Indonesia yang Mbak tangani, terkait dengan kepentingan/kebutuhan anak yatim?
Program Unicef merangkul banyak anak. Meliputi bagaimana meningkatkan kesejahteraan mereka, pelatihan untuk menjaga diri mereka sendiri. Menurut pendapat saya, kita tidak perlu untuk bergantung dengan sebuah organisasi. Tapi sebenarnya kita sebagai bangsa yang besar dengan mayoritas beragama Islam, mampu melakukan pemberdayaan terhadap anak-anak ini (salah satunya lewat Al-Madinah). Karena kita yang dekat dengan mereka, sehingga tahu apa yang dibutuhkan oleh anak-anak ini dan tahu bagaimana cara membuat mereka menjadi kuat.
Ada pameo yang seakan telah menjadi kebenaran bahwa mengasuh anak yatim membutuhkan kesabaran ekstra karena umumnya mereka nakal-nakal.
Bagaimana menurut Mbak? Bagaimana mencegah hal ini terjadi atau bahkan menolak hipotesa tersebut?
Menurut saya bukan soal anak yatim saja, bahkan untuk anak kandung sekali pun, sebagai orangtua kita tidak pernah tahu apakah anak menjadi hadiah atau cobaan. Bagaimana reaksi orangtua itu lah yang terpenting. Latih anak untuk belajar dan menjalani konsekuensi. Orangtua harus TTS (Tegas, Tegar, Sabar). Ingatkah, Allah mengajar dan mengasuh Nabi Adam AS juga dengan cara seperti itu. Terus menerus lah jadi cermin dan tidak terjebak dalam kubangan emosi.
Memampang/menerbitkan foto-foto anak yatim di majalah, untuk menarik simpati dermawan, apakah termasuk eksploitasi terhadap anak? Kira-kira bagaimana perasaan mereka? Lalu adakah solusi lain dengan risiko yang lebih rendah?
Memang susah, tapi perlu untuk mengingatkan bahwa kehidupan bagikan roda yang berputar terus, tidak selamanya hidup ada di atas. Foto-foto mereka baik untuk pengingat bagi yang lain. Tapi akan jahat kalau niat memasang foto mereka memang untuk mengeruk keuntungan pribadi atau golongan. Jika ingin berfikir lebih maju, carilah celah untuk membuat bagaimana anak-anak ini punya networking yang baik dengan orang-orang yang bisa membuat mereka kuat, dengan mendapat pelatihan.
Jadi jangan hanya memberi ikan, tapi kail. Membiasakan anak percaya akan 'suara dalam kepalanya' dengan melakukan pilihan terhadap alternatif, membuat keputusan, dan bertanggung jawab terhadap keputusannya itu.
Membina mental anak yatim untuk mandiri tentu memerlukan sistem dan metode tersendiri, bagaimana idealnya menurut Mbak Shahnaz?
Metode agar anak mandiri adalah terus menerus memberi kesempatan anak menjalani konsekuensi, membuat mereka sakit tapi di dalamnya ada pembelajaran. Yang dibutuhkan oleh anak kita adalah empati. Tunjukan bahwa kita juga sedih, dan berikan beberapa solusi agar ia bisa kembali ke kehidupan normal lagi. Anak belajar tentang nilai -bergelut dengan masalah, di sisi lain kita menjalin persahabatan dengannya, guna mengantarkan mereka menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Seiring perkembangan teknologi informasi, arifkah bila kita memperkenalkan ragam IT kepada anak yatim di asrama? Pasalnya secara umum mereka tidak mampu membeli, sehingga dikhawatirkan ada kesenjangan antara harapan untuk memiliki, dan kenyataan bahwa mereka menguasai teknik penggunaan alat-alat tersebut. Bagaimana menurut Mbak?
Jangan sampai anak-anak itu dijauhkan dari perkembangan IT, karena siapa tahu mereka akan menjadi salah satu ahli IT yang bisa dibanggakan oleh bangsa kita. Tapi ingatkan kepada mereka bahwa IT bagaikan dua sisi pada keping mata uang yang sama. Bisa jadi musuh atau kawan untuk perkembangan anak. Tapi ingatlah, di bawah 3 tahun tidak boleh sama sekali. Di atas 3 tahun; 30 menit/hari, dan itu pun dilihat dari segi emosi dan tingkat kecerdasannya. Nah, pada usia 5 tahun ke atas tidak boleh lebih dari 2 jam/hari karena dikhawatirkan mengganggu sensor penglihatan dan ketertarikan terhadap hal-hal yang lain.
Apakah pemberian insentif terus menerus kepada anak yatim tidak menimbulkan ketergantungan mereka terhadap donasi? Kapankah anak yatim bisa 'dilepas' dari donasi, secara mental dan fisik?
Umur 7 tahun, sebenarnya anak-anak bisa diajarkan berdagang, misalnya membuat es batu, es mambo, sulaman sederhana, dan keterampilan lainnya. Kalau pun tidak mau membuatnya, ajaklah mereka memilih barang, kemudian latih mereka untuk berjualan. Hal terbesar yang bisa kita hadiahkan kepada anak-anak bukanlah berapa donasi yang diberikan tetapi sejauh mana mereka bisa menengok dan bergantung pada pikiran dan dirinya sendiri dengan izin Allah, dalam menghadapi berbagai masalah, tantangan, dan ujian dalam hidupnya nanti. Baik ketika kita sudah tiada sementara atau selamanya dari sisinya.
Menumbuhkan jiwa mandiri pada anak yatim, apa yang harus kita lakukan?
Jiwa mandiri akan muncul hanya pada anak-anak yang mengatakan pada dirinya: "Saya insya Allah akan bisa memecahkan atau mengatasi masalah ini sendiri.” Insya Allah akan menjadi survivor/ pemenang dalam persaingan hidup yang sudah sangat keras sekarang ini. Mereka yang terlibat dalam proses belajar, berhubungan dengan orang lain, dan merintis jalannya sendiri ke dunianya.
Pesan saya, bersama marilah kita asuh dan besarkan anak-anak ini dengan baik, benar, dan menyenangkan sehingga menghasilkan anak yang sehat, cerdas, tangguh, taqwa, berakhlak mulia, dan bahagia. Menyenangkan hati di dunia membahagiakan di akhirat, Amien.
Demikian pemikiran dan saran Shahnaz untuk edisi kali ini. Pada terbitan mendatang, kita akan membahas hal-hal teknis yang seringkali dianggap remeh, namun ternyata sangat berbekas pada jiwa dan masa depan anak-anak yatim di sekitar kita. Sampai jumpa.
(Siti Raudlatul Jannah)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih