Oleh: M. Syafiq Syeirozi
(Pemred Al Madinah)
Gegap gempita pemilihan umum (pemilu) legislatif telah berlalu. 9 April 2009 telah tertoreh dalam catatan sejarah republik ini sebagai waktu perayaan pesta demokrasi prosedural ketiga pascakeruntuhan rezim orde baru. Prosesi perhelatannya kini telah mencapai titik akhir yakni penghitungan suara. Layaknya sebuah pertandingan, tentu ada yang kalah dan kecewa, namun ada yang menang dan bersuka ria.
Satu dua partai politik (Parpol) yang sementara ini meraih suara tinggi tentu sedang berbunga-bunga lantaran jerih payahnya menuai hasil menggembirakan. Namun lebih banyak parpol yang kecewa, marah, dan menuding pemilu kali ini sarat kecurangan lantaran perolehan suaranya merosot drastis dari kalkulasi awal. Sebagai rakyat jelata, kita memaklumi semua ekses tersebut. Bagi saya, yang penting seluruh kejengkelan dan suka cita tersebut tidak menambah kesusahan warga Indonesia. Sudah terlalu banyak uang rakyat tersedot untuk penyelenggaraan even yang tidak memberikan garansi perbaikan nasib bangsa itu.
Satu hal yang menjadi refleksi saya sebagai penggembira Pemilu adalah absennya isu anak yatim dan fakir dalam keriuhan kampanye politik. Sependek pengetahuan saya, nyaris tidak ada calon legislatif (caleg) yang meneriakkan nasib generasi bangsa yang –lantaran takdir— ditinggalkan atau dilepaskan orang tuanya pada masa kanak-kanak.
Tak terdengar dan terbaca visi misi caleg yang merumuskan program khusus pengembangan potensi kader-kader yang kurang beruntung itu. Memang di masa kampanye, di salah satu ruas jalan kota Surabaya terdapat baliho raksasa seorang caleg yang berjanji menafkahkan 20 % gajinya untuk anak-anak yatim. Tetapi bagi pegiat anak, ikrar itu jauh dari memuaskan. Sebagai calon aktor yang hendak aktif memproduksi kebijakan negara, seharusnya mereka menawarkan program jaminan sosial untuk anak-anak yatim dan terlantar.
Menyitir Ignas Kleden (Kompas, 10/04/2009), para calon legislator harus memiliki kesanggupan membumi dan mengudara sekaligus. Artinya, mereka harus turun gunung untuk bergaul langsung hingga mengerti benar keinginan konstituen. Tak berhenti di situ, calon wakil rakyat yang terhormat, jika terpilih, kelak wajib menyuarakan dan memerjuangkan aspirasi itu hingga terumuskan regulasi yang maslahat untuk umat.
Perikemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sila penting dalam dasar negara RI, maka politisi-politisi mesti menerjemahkannya dalam pengalaman kongret kehidupan rakyat jelata sehari-hari. Boleh saja pergaulan mereka sehari-hari dalam lingkup kelompok jetset alias kelas menengah baik secara finansial maupun intelektual. Tetapi cakrawala pemikiran mereka harus dapat menyelami relung pikiran dan hati masyarakat akar rumput.
Cita di atas bisa jadi akan menjadi bayangan belaka menilik latarbelakang beberapa caleg (mungkin kini terpilih) yang ternyata miskin kemampuan komunikasi massa. Suatu ketika seorang sopir angkot yang saya tumpangi mengeluh, “Mas, saya kemarin tidak ikut mencontreng. Selain tidak sempat lantaran membantu tetangga yang kecelakaan ke rumah sakit sehingga kehabisan waktu ke TPS, juga tidak minat dengan seorang caleg di daerah saya. Dia dah banyak membual. Wong dulunya juga preman kampung, sekolahnya sampai SMA tok. Cuma memang dia anak orang kaya sehingga berani nyalon.”
Ya, bagaimana caleg sanggup memahami kehendak warga yang baru dikenalnya saat bersosialisasi menghadapi pemilu, jika sekadar bermodalkan selembar ijazah pendidikan fomal dan segepok uang? Bukan hanya tidak berpengalaman dalam percaturan politik praktis, berorganisasi sosial saja tidak pernah. Tetapi fakta ini tentu tidak bisa di-gebyah uyah atau digeneralisasi. Kita masih berharap pada sebagian politisi yang pernah dan terus bergumul langsung dengan rakyat jelata, serta selalu belajar dari teori dan praktik pendampingan dan pelayanan rakyat.
Menerjemahkan “Kemanusiaan” Bagi Anak
Menerjemahkan bukan hanya secara teoretis dalam konsep namun dalam praktik kebijakan publik. Politisi yang peka akan melihat bahwa prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab telah membumi dalam masalah anak-anak yang melewati hidupnya di jalan-jalan tanpa jaminan masa depan. Mereka makan dari recehan-recehan belas kasihan pengguna jalan. Mengaisnya di tengah panas terik matahari dan hujan lebat Dan kemudian tidur di kolong jembatan layang kota yang kokoh tanpa perlindungan dari hempasan angin malam dan kekerasan preman..
Dan sekali lagi, sependek pengamatan saya, hampir tidak ada caleg dan parpol yang mengangkat fakta tersebut sebagai isu penting dalam kampanye lalu. Hampir tak ada caleg yang berkoar-koar perihal banyaknya anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun psikis dan dikebiri hak-haknya karena bergumul dengan kerasnya jalanan metropolis. Tidak ada caleg yang melakukan kontrak politik dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak ataupun LSM anak untuk menggarap bersama isu anak di parlemen nanti. Silakan Anda cross check kesimpulan ini.
Boleh jadi caleg malas mengangkat isu anak karena tidak memiliki hak suara sehingga tidak memengaruhi kans keterpilihan mereka. Atau, sebab anak-anak yang hidup di jalan-jalan kota besar itu mayoritas pendatang yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Daerah Pemilihan (Dapil) pencalonan mereka. Intinya tidak menguntungkan bagi pribadi caleg.
Ya, sah-sah saja para caleg mengajukan argumentasi pragmatis itu. Jika memang anak-anak yatim dan terlantar disebut sebagai “barang” impor daerah lain, toh mereka kini sudah datang dan memenuhi kota yang disinggahi para caleg.
Bukankah fakta tersebut telah menjadi permasalahan sosial yang haram didiamkan dan dibiarkan melainkan harus diangkat, dihadapi, dan diselesaikan. Dalam kaidah fikih terdapat adagium “al waqfu fi al hajati la yajuzu (mendiamkan persoalan yang menyangkut hajat publik adalah terlarang). Adapun metode solusinya, tidak berhenti dengan mendermakan sebagian gajinya untuk membiayai anak-anak yatim dan terlantar, lebih dari itu dalam wujud policy yang melindungi anak bangsa itu dari pelecehan kemanusian, dan terpenuhinya hak mereka.
Ada banyak tema publik menyangkut anak-anak yatim dan terlantar. Program pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka belum terealisasi penuh dan merata. Jaminan biaya hidup dan pemberian skil praktis kiranya juga belum terlaksana. Bagaimana pun mereka memiliki cita-cita yang sama dengan anak-anak seusianya yang beruntung karena dilahirkan oleh orang tua yang kaya atau setidaknya bertanggungjawab penuh atas kehidupannya.
Boleh lah isu anak absen dalam kampanye politik kemarin. Tetapi perbincangan menyangkut hak anak yatim dan terlantar, harus menjadi salah satu tema utama di seluruh gedung Dewan Perwakilan Rakyat republik ini nantinya. Ingat isi pasal 34 UUD 1945 yang hingga kini tidak tersentuh (dan memang haram) amandemen “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara!”
Satu hal yang menjadi refleksi saya sebagai penggembira Pemilu adalah absennya isu anak yatim dan fakir dalam keriuhan kampanye politik. Sependek pengetahuan saya, nyaris tidak ada calon legislatif (caleg) yang meneriakkan nasib generasi bangsa yang –lantaran takdir— ditinggalkan atau dilepaskan orang tuanya pada masa kanak-kanak.
Tak terdengar dan terbaca visi misi caleg yang merumuskan program khusus pengembangan potensi kader-kader yang kurang beruntung itu. Memang di masa kampanye, di salah satu ruas jalan kota Surabaya terdapat baliho raksasa seorang caleg yang berjanji menafkahkan 20 % gajinya untuk anak-anak yatim. Tetapi bagi pegiat anak, ikrar itu jauh dari memuaskan. Sebagai calon aktor yang hendak aktif memproduksi kebijakan negara, seharusnya mereka menawarkan program jaminan sosial untuk anak-anak yatim dan terlantar.
Menyitir Ignas Kleden (Kompas, 10/04/2009), para calon legislator harus memiliki kesanggupan membumi dan mengudara sekaligus. Artinya, mereka harus turun gunung untuk bergaul langsung hingga mengerti benar keinginan konstituen. Tak berhenti di situ, calon wakil rakyat yang terhormat, jika terpilih, kelak wajib menyuarakan dan memerjuangkan aspirasi itu hingga terumuskan regulasi yang maslahat untuk umat.
Perikemanusiaan yang adil dan beradab merupakan sila penting dalam dasar negara RI, maka politisi-politisi mesti menerjemahkannya dalam pengalaman kongret kehidupan rakyat jelata sehari-hari. Boleh saja pergaulan mereka sehari-hari dalam lingkup kelompok jetset alias kelas menengah baik secara finansial maupun intelektual. Tetapi cakrawala pemikiran mereka harus dapat menyelami relung pikiran dan hati masyarakat akar rumput.
Cita di atas bisa jadi akan menjadi bayangan belaka menilik latarbelakang beberapa caleg (mungkin kini terpilih) yang ternyata miskin kemampuan komunikasi massa. Suatu ketika seorang sopir angkot yang saya tumpangi mengeluh, “Mas, saya kemarin tidak ikut mencontreng. Selain tidak sempat lantaran membantu tetangga yang kecelakaan ke rumah sakit sehingga kehabisan waktu ke TPS, juga tidak minat dengan seorang caleg di daerah saya. Dia dah banyak membual. Wong dulunya juga preman kampung, sekolahnya sampai SMA tok. Cuma memang dia anak orang kaya sehingga berani nyalon.”
Ya, bagaimana caleg sanggup memahami kehendak warga yang baru dikenalnya saat bersosialisasi menghadapi pemilu, jika sekadar bermodalkan selembar ijazah pendidikan fomal dan segepok uang? Bukan hanya tidak berpengalaman dalam percaturan politik praktis, berorganisasi sosial saja tidak pernah. Tetapi fakta ini tentu tidak bisa di-gebyah uyah atau digeneralisasi. Kita masih berharap pada sebagian politisi yang pernah dan terus bergumul langsung dengan rakyat jelata, serta selalu belajar dari teori dan praktik pendampingan dan pelayanan rakyat.
Menerjemahkan “Kemanusiaan” Bagi Anak
Menerjemahkan bukan hanya secara teoretis dalam konsep namun dalam praktik kebijakan publik. Politisi yang peka akan melihat bahwa prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab telah membumi dalam masalah anak-anak yang melewati hidupnya di jalan-jalan tanpa jaminan masa depan. Mereka makan dari recehan-recehan belas kasihan pengguna jalan. Mengaisnya di tengah panas terik matahari dan hujan lebat Dan kemudian tidur di kolong jembatan layang kota yang kokoh tanpa perlindungan dari hempasan angin malam dan kekerasan preman..
Dan sekali lagi, sependek pengamatan saya, hampir tidak ada caleg dan parpol yang mengangkat fakta tersebut sebagai isu penting dalam kampanye lalu. Hampir tak ada caleg yang berkoar-koar perihal banyaknya anak-anak yang dieksploitasi secara fisik maupun psikis dan dikebiri hak-haknya karena bergumul dengan kerasnya jalanan metropolis. Tidak ada caleg yang melakukan kontrak politik dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak ataupun LSM anak untuk menggarap bersama isu anak di parlemen nanti. Silakan Anda cross check kesimpulan ini.
Boleh jadi caleg malas mengangkat isu anak karena tidak memiliki hak suara sehingga tidak memengaruhi kans keterpilihan mereka. Atau, sebab anak-anak yang hidup di jalan-jalan kota besar itu mayoritas pendatang yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Daerah Pemilihan (Dapil) pencalonan mereka. Intinya tidak menguntungkan bagi pribadi caleg.
Ya, sah-sah saja para caleg mengajukan argumentasi pragmatis itu. Jika memang anak-anak yatim dan terlantar disebut sebagai “barang” impor daerah lain, toh mereka kini sudah datang dan memenuhi kota yang disinggahi para caleg.
Bukankah fakta tersebut telah menjadi permasalahan sosial yang haram didiamkan dan dibiarkan melainkan harus diangkat, dihadapi, dan diselesaikan. Dalam kaidah fikih terdapat adagium “al waqfu fi al hajati la yajuzu (mendiamkan persoalan yang menyangkut hajat publik adalah terlarang). Adapun metode solusinya, tidak berhenti dengan mendermakan sebagian gajinya untuk membiayai anak-anak yatim dan terlantar, lebih dari itu dalam wujud policy yang melindungi anak bangsa itu dari pelecehan kemanusian, dan terpenuhinya hak mereka.
Ada banyak tema publik menyangkut anak-anak yatim dan terlantar. Program pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan gratis bagi mereka belum terealisasi penuh dan merata. Jaminan biaya hidup dan pemberian skil praktis kiranya juga belum terlaksana. Bagaimana pun mereka memiliki cita-cita yang sama dengan anak-anak seusianya yang beruntung karena dilahirkan oleh orang tua yang kaya atau setidaknya bertanggungjawab penuh atas kehidupannya.
Boleh lah isu anak absen dalam kampanye politik kemarin. Tetapi perbincangan menyangkut hak anak yatim dan terlantar, harus menjadi salah satu tema utama di seluruh gedung Dewan Perwakilan Rakyat republik ini nantinya. Ingat isi pasal 34 UUD 1945 yang hingga kini tidak tersentuh (dan memang haram) amandemen “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara!”
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih