Dra. Dwi Sarwindah S.,MS.
(Dosen Fak. Psikologi UNTAG Surabaya)
Banyak cara yang dilakukan oleh orang dewasa untuk mengeksploitasi anak. Ada yang dilakukan secara halus sehingga anak-anak tidak merasa bahwa dia sedang dipaksa untuk bekerja mendapatkan uang. Kebanyakan orang dewasa berdalih untuk menyalurkan bakat dan kreativitas anak dengan cara mereka. Misalnya dengan mengajak anak-anak unjuk bakat lewat acara-acara di televisi yang sebenarnya untuk mengkomersialisasi anak untuk mengeruk banyak keuntungan.
Eksploitasi terhadap anak-anak dapat dilihat melalui perspektif relasi kuasa (power relationship) yang melingkupi kehidupan anak-anak. Anak-anak dalam konteks ini menghadapi tiga pihak yang berpotensi melakukan eksploitasi, baik secara langsung atau tidak. Ketiga pihak tersebut adalah (1) orang tua, (2) masyarakat setempat (3) Negara. Kalau kita melihat dari kacamata perlindungan hak asasi anak, seharusnya ketiga pihak inilah yang mewujudkan lingkungan nyaman bagi anak. Tetapi kenyataannya, ketiga pihak inilah pelaku eksploitasi tehadap anak melalui kekuasaan yang melekat. Keluarga yang seharusnya memberikan tempat berlindung paling aman, kemudian masyarakat yang juga mesti memberikan banyak kesempatan pada anak untuk leluasa mengekspresikan apa yang diinginkan oleh anak, dan Negara yang idealnya melindungi secara maksimal sesuai dengan hak anak-anak, malah menjadi lingkungan yang mengancam kehidupan anak.
Secara sosiologis setiap manusia termasuk anak-anak membutuhkan ruang hidup, dari lingkungan terdekat yaitu keluarga, lingkungan masyarakat setempat, dan yang paling luas adalah Negara tempat semua masyarakat bernaung. Dilihat dari konteks perlindungan anak baik secara fisik maupun mental, anak membutuhkan intervensi dengan kadar yang berbeda dari masing-masing lingkungan tadi. Tanggung jawab dalam melindungi anak terutama ada pada orang tua/keluarga, kemudian masyarakat, dan Negara, tetapi semua pelaksanaannya berpulang pada sejauh mana ketiga unsure itu mampu melindungi anak. Kalau orang tua/keluarga dan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan maka tanggung jawab secara yuridis berada di bawah Negara.
Namun ternyata semakin berkembangnya suatu Negara semakin banyak terdapat kasus eksploitasi anak, mulai dari perdagangan bayi dan anak, anak-anak yang berada di jalanan sebagai pengemis, pengamen, penjual koran atau makanan, sampai yang lebih komersial adalah anak-anak yang terlibat pembuatan iklan, sinetron dan unjuk bakat yang semua lebih mengarah pada komersialisasi semata. Orang tua memang akan bangga ketika anaknya bisa tampil di televisi dan menjadi idola, baik sebagai model iklan, pemain sinetron dan film, serta adu bakat untuk menjadi idola.
Eksploitasi bayi dan anak-anak jalanan untuk kegiatan mengemis dilakukan oleh orang dewasa bahkan orang tua sendiri merupakan pemandangan yang tidak asing bagi kita. Semua dilakukan demi uang dan kepuasan orang dewasa dan orang tuanya.
Menampilkan anak dalam iklan di mana anak sebagai penyampai pesan langsung atau figuran, untuk mengajak pemirsa mengonsumsi sebuah produk, akhirnya menimbulkan pertanyaan “Benarkah anak merupakan daya tarik?” Di sini nyata bahwa anak masih dominan menjadi daya tarik yang akhirnya dianggap sebagai “pengatrol” angka penjualan.
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah kondisi psikologis anak sebagai penyampai pesan akan memunculkan budaya “bohong” kepada masyarakat. Anak dilatih dan dipaksa mengakui kelebihan suatu produk, padahal anak sama sekali tidak mengetahuinya. Yang lebih menyedihkan adalah dukungan dan sikap orang tua, dengan alasan mengembangkan bakat anaknya. Hal ini akan memperkenalkan anak pada dunia imajiner, yang sangat berbeda dengan daya khayal mereka yang bersifat alami. Secara psikologis, anak akan terancam dalam kemunafikan.
Baru-baru ini kita sering melihat tayangan iklan kampanye di televisi yang menampilkan anak-anak di dalamnya. Hal itu sebenarnya melanggar hukum karena menampilkan anak dalam kampanye Parpol adalah bentuk eksploitasi anak dan bisa dijerat hukum pidana. Ini adalah pernyataan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Demikian juga dengan kontes bakat anak. Hal ini dikemukakan oleh Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Menurutnya, pelaku industri televisi dan orang tua sering tidak menyadari telah melakukan eksploitasi terhadap anak lewat dunia hiburan. “Kalau hal itu sudah ada unsur instruksi dan tekanan psikologis, itu disebut eksploitasi dan penyalahgunaan hak anak.” Seto memberi contoh kontes bakat menyanyi dan sinetron yang marak di sejumlah stasiun televisi saat ini. Anak-anak tampil dengan dandanan mencolok dan berpakaian mirip orang dewasa, jam siaran yang melebihi tiga jam, serta menyanyikan lagu-lagu dewasa yang ditentukan oleh produser.
Apa yang dilakukan itu semua demi kepentingan televisi dan orang tua, bukan keinginan anak-anak. Padahal menurut Seto anak-anak berhak untuk bermain dengan gembira tanpa tekanan atau paksaan di mana mereka harus melakukan ini dan itu.
Kalau kita mau jujur, keinginan untuk tampil di televisi bukan sepenuhnya keinginan anak. Ambisi dan keinginan orang tua lah yang lebih dominan dalam mendorong anak-anaknya tampil dalam kontes menyanyi atau sinetron di televisi. Anak-anak yang tampil dalam kontes bakat akan kehilangan keceriaan khas anak yang polos dan wajar. Mereka terlihat lebih dewasa dari usia sesuangguhnya karena riasan, kostum, dan lagu-lagu yang dibawakannya.
Dampak psikologis yang ada bukan hanya pada pelakunya tetapi juga pada semua anak-anak yang menontonnya, hal itu bisa dilihat dari intensitas anak-anak menonton, hingga akhirnya dijadikan pembelajaran tentang banyak hal dari proses imitasi atas apa yang mereka lihat. Riasannya, pakaian yang tidak sesuai, ungkapan-ungkapan (kata-kata) yang tidak semestinya diucapkan oleh anak, menyanyi lagu-lagu orang dewasa, semuanya akan ditiru oleh anak-anak yang menonton di rumah. Lantaran seringnya menonton, akhirnya anak menduga bahwa semua itu merupakan tren masa kini, dan wajib di tiru kalau tidak mau dikatakan “kuper”
Masih mengutip ungkapan Seto, bagi anak-anak yang menjadi bintang televisi atau idola baru, akan menimbulkan dampak buruk. Hal baru yang datang tiba-tiba belum tentu bisa diantisipasi dengan baik oleh orang dewasa, apalagi anak. Popularitas yang luar biasa itu belum cukup mampu dipikul oleh anak-anak”. Dengan demikian mereka rentan mengalami “cultural shock” atau kejutan budaya. Kehidupan mereka yang sebelumnya biasa saja, berubah dengan adanya soroton kamera infotainment, permintaan wawancara dari wartawan, atau dikerubuti penggemar. Mereka juga harus menjalani hidup yang serba diatur, harus selalu tersenyum, dan tidak boleh terlihat lelah di depan kamera dan penggemarnya. Padahal sebagai anak mereka punya kebebasan.
Ternyata kasus eksploitasi anak begitu banyak terjadi di sekitar kita, baik yang dilakukan dengan sadar maupun yang tidak disadari oleh orang tua/keluarga, masyarakat sekitar, maupun Negara. Oleh karena itu orang tua harusnya menyadari bahwa anak-anak memiliki hak bermain dan belajar seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kalau sudah terjadi eksploitasi, maka itu termasuk tindakan pidana. Sekarang yang penting adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat, meskipun tidak mudah. Ini semua demi anak-anak kita ke depannya.
Secara sosiologis setiap manusia termasuk anak-anak membutuhkan ruang hidup, dari lingkungan terdekat yaitu keluarga, lingkungan masyarakat setempat, dan yang paling luas adalah Negara tempat semua masyarakat bernaung. Dilihat dari konteks perlindungan anak baik secara fisik maupun mental, anak membutuhkan intervensi dengan kadar yang berbeda dari masing-masing lingkungan tadi. Tanggung jawab dalam melindungi anak terutama ada pada orang tua/keluarga, kemudian masyarakat, dan Negara, tetapi semua pelaksanaannya berpulang pada sejauh mana ketiga unsure itu mampu melindungi anak. Kalau orang tua/keluarga dan masyarakat berada di bawah garis kemiskinan maka tanggung jawab secara yuridis berada di bawah Negara.
Namun ternyata semakin berkembangnya suatu Negara semakin banyak terdapat kasus eksploitasi anak, mulai dari perdagangan bayi dan anak, anak-anak yang berada di jalanan sebagai pengemis, pengamen, penjual koran atau makanan, sampai yang lebih komersial adalah anak-anak yang terlibat pembuatan iklan, sinetron dan unjuk bakat yang semua lebih mengarah pada komersialisasi semata. Orang tua memang akan bangga ketika anaknya bisa tampil di televisi dan menjadi idola, baik sebagai model iklan, pemain sinetron dan film, serta adu bakat untuk menjadi idola.
Eksploitasi bayi dan anak-anak jalanan untuk kegiatan mengemis dilakukan oleh orang dewasa bahkan orang tua sendiri merupakan pemandangan yang tidak asing bagi kita. Semua dilakukan demi uang dan kepuasan orang dewasa dan orang tuanya.
Menampilkan anak dalam iklan di mana anak sebagai penyampai pesan langsung atau figuran, untuk mengajak pemirsa mengonsumsi sebuah produk, akhirnya menimbulkan pertanyaan “Benarkah anak merupakan daya tarik?” Di sini nyata bahwa anak masih dominan menjadi daya tarik yang akhirnya dianggap sebagai “pengatrol” angka penjualan.
Satu hal yang perlu diwaspadai adalah kondisi psikologis anak sebagai penyampai pesan akan memunculkan budaya “bohong” kepada masyarakat. Anak dilatih dan dipaksa mengakui kelebihan suatu produk, padahal anak sama sekali tidak mengetahuinya. Yang lebih menyedihkan adalah dukungan dan sikap orang tua, dengan alasan mengembangkan bakat anaknya. Hal ini akan memperkenalkan anak pada dunia imajiner, yang sangat berbeda dengan daya khayal mereka yang bersifat alami. Secara psikologis, anak akan terancam dalam kemunafikan.
Baru-baru ini kita sering melihat tayangan iklan kampanye di televisi yang menampilkan anak-anak di dalamnya. Hal itu sebenarnya melanggar hukum karena menampilkan anak dalam kampanye Parpol adalah bentuk eksploitasi anak dan bisa dijerat hukum pidana. Ini adalah pernyataan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Demikian juga dengan kontes bakat anak. Hal ini dikemukakan oleh Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi. Menurutnya, pelaku industri televisi dan orang tua sering tidak menyadari telah melakukan eksploitasi terhadap anak lewat dunia hiburan. “Kalau hal itu sudah ada unsur instruksi dan tekanan psikologis, itu disebut eksploitasi dan penyalahgunaan hak anak.” Seto memberi contoh kontes bakat menyanyi dan sinetron yang marak di sejumlah stasiun televisi saat ini. Anak-anak tampil dengan dandanan mencolok dan berpakaian mirip orang dewasa, jam siaran yang melebihi tiga jam, serta menyanyikan lagu-lagu dewasa yang ditentukan oleh produser.
Apa yang dilakukan itu semua demi kepentingan televisi dan orang tua, bukan keinginan anak-anak. Padahal menurut Seto anak-anak berhak untuk bermain dengan gembira tanpa tekanan atau paksaan di mana mereka harus melakukan ini dan itu.
Kalau kita mau jujur, keinginan untuk tampil di televisi bukan sepenuhnya keinginan anak. Ambisi dan keinginan orang tua lah yang lebih dominan dalam mendorong anak-anaknya tampil dalam kontes menyanyi atau sinetron di televisi. Anak-anak yang tampil dalam kontes bakat akan kehilangan keceriaan khas anak yang polos dan wajar. Mereka terlihat lebih dewasa dari usia sesuangguhnya karena riasan, kostum, dan lagu-lagu yang dibawakannya.
Dampak psikologis yang ada bukan hanya pada pelakunya tetapi juga pada semua anak-anak yang menontonnya, hal itu bisa dilihat dari intensitas anak-anak menonton, hingga akhirnya dijadikan pembelajaran tentang banyak hal dari proses imitasi atas apa yang mereka lihat. Riasannya, pakaian yang tidak sesuai, ungkapan-ungkapan (kata-kata) yang tidak semestinya diucapkan oleh anak, menyanyi lagu-lagu orang dewasa, semuanya akan ditiru oleh anak-anak yang menonton di rumah. Lantaran seringnya menonton, akhirnya anak menduga bahwa semua itu merupakan tren masa kini, dan wajib di tiru kalau tidak mau dikatakan “kuper”
Masih mengutip ungkapan Seto, bagi anak-anak yang menjadi bintang televisi atau idola baru, akan menimbulkan dampak buruk. Hal baru yang datang tiba-tiba belum tentu bisa diantisipasi dengan baik oleh orang dewasa, apalagi anak. Popularitas yang luar biasa itu belum cukup mampu dipikul oleh anak-anak”. Dengan demikian mereka rentan mengalami “cultural shock” atau kejutan budaya. Kehidupan mereka yang sebelumnya biasa saja, berubah dengan adanya soroton kamera infotainment, permintaan wawancara dari wartawan, atau dikerubuti penggemar. Mereka juga harus menjalani hidup yang serba diatur, harus selalu tersenyum, dan tidak boleh terlihat lelah di depan kamera dan penggemarnya. Padahal sebagai anak mereka punya kebebasan.
Ternyata kasus eksploitasi anak begitu banyak terjadi di sekitar kita, baik yang dilakukan dengan sadar maupun yang tidak disadari oleh orang tua/keluarga, masyarakat sekitar, maupun Negara. Oleh karena itu orang tua harusnya menyadari bahwa anak-anak memiliki hak bermain dan belajar seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kalau sudah terjadi eksploitasi, maka itu termasuk tindakan pidana. Sekarang yang penting adalah bagaimana membangun kesadaran masyarakat, meskipun tidak mudah. Ini semua demi anak-anak kita ke depannya.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih