(Pahlawan Indonesia 2009 versi Kick Andy Metro TV Kategori Pahlawan Luar Sekolah, Ketua Yayasan Alang-alang )
Pemerintah menganggap mereka sebagai “rumput liar” yang mengganggu keindahan kota, maka secepatnya harus dihilangkan. Mereka ditangkap, dibina, kemudian dikembalikan ke kampung halamannya. Namun dari dulu hingga kini, toh kota tak pernah bersih dari mereka yang oleh banyak orang dicap “anak jalanan”, sebuah penamaan yang sangat eksploitatif karena berdampak negatif bagi jiwa anak-anak. Mereka distempel dengan sebutan yang berkonotasi rendah hingga seolah sepanjang hidupnya bakal susah menaikkan harkat martabatnya.
Mereka bak ilalang yang kian dibasmi semakin tumbuh sabar. Dan karena mereka manusia, bukan tumbuhan, tentu tidak boleh diberantas, tetapi dikembangkan agar menjadi “pohon besar” yang kuat berdiri di atas akarnya, dan “berdaun rimbun” untuk mengayomi saudara-saudara mereka. Namun siapa yang mau merawat mereka?
H. Didit Hari Purnomo, atau yang akrab disapa Om Didit, itulah orangnya. Tahun 1999 adalah awal kali Didit bersama istrinya menyelenggarakan sekolah malam bagi para pengamen, pedagang asongan, bahkan pelacur, yang semuanya masih di usia pendidikan dasar. Terminal Joyoboyo menjadi lokasinya.
Om Didit memandang, razia dan pemulangan hanyalah strategi instan untuk membersihkan jalanan kota dari anak-anak terlantar dan gelandangan. Pemberian ilmu pengetahuan dan skil praktis adalah cara paling tepat. Tetapi, kesabaran, kegigihan, dan keikhlasan merupakan keniscayaan dalam melakukan itu. Butuh waktu panjang untuk mengentaskan para kader penerus bangsa itu dari jejaring kemiskinan dan jalanan kota.
Dan kini, hampir genap sepuluh tahun Didit melakoni pekerjaan itu secara kontinyu. Ratusan anak-anak bangsa korban eksploitasi terselamatkan. Rabu 02/04/2009, Al Madinah bertandang ke kediaman Didit di komplek perumahan TVRI Jawa Timur. Hampir dua jam, saya, Suud Fuadi (Redpel Al Madinah), dan Didit terlibat obrolan panjang seputar penanganan masalah anak terlantar perkotaan. Demikian petikan perbincangan tersebut.
Bagaimana komentar Anda atas pengananan masalah anak di perkotaan?
Anak-anak dirazi
a oleh pemerintah, dari situ anak mestinya belajar norma hukum. Karena mengemis dan menggelandang di tempat umum menyalahi KUHP Pasal 604
dan 605. Tetapi cara menangkapnya tidak boleh kasar, harus persuasif. Anak-anak itu kemudian dibina dan diarahkan, jangan cuma dijaring, diberi makan beberapa hari setelah itu dilepas. Kalau perlu orang tuanya dipanggil untuk disadarkan bahwa anak adalah titipan Allah, tidak boleh diperlakukan seenaknya. Adapun si anak, oleh pemerintah dibiayai dan disekolahkan. Urutannya gitu. Memang sulit sesempurna itu, tapi kita harus berusaha
Apa langkah Anda menyikapi fenomena tingginya anak-anak yang turun di jalan untuk mengais rezeki?
Karena negara kita belum sanggup merawat fakir miskin dan anak terlantar secara sabar, ya aku buat negeri sendiri, negeri Alang-alang. Itu bukan negeri dongeng apalagi khayalan, tetapi negeri yang terletak di lubuk hati terdalam, dari kenyataan hidup dekat kita. Mereka bukan anak jalanan, tetapi anak negeri. Mereka lebih bangga disebut sebagai anak negeri.
Di Alang-Alang saya mengarahkan mereka pada target normatif yaitu etika, estetika, dan agama. Mereka harus sopan santun dan bersih. Alhamdulillah sekarang terlihat hasilnya, anak-anak terlihat bersih dan selalu mengucapkan salam saat datang dan pergi. (Al Madinah mengamati betapa anak-anak didikan Alang-Alang jauh dari image kumuh. Mereka rapi dan santun). Tapi mengubah perilaku itu tak semudah membalikkan tangan, kita harus concern dan istiqamah. Untuk itu saya mewajibkan anak-anak untuk bersalaman jika ketemu aku. Assalamualaikum atau selamat pagi, terus cium tangan, aku peluk mereka. Ya meniru tradisi pesantren, tapi aku ambil esensinya. Itu untuk mengecek sisi estetikanya. Kalau wangi berarti mereka sudah mandi, dan mereka juga tahu tanganku bersih dan wangi.
Bagaimana strategi Anda mengentaskan anak-anak dari jalanan?
Yang masih anak-anak aku motivasi dari segi norma. Mengemis itu tidak disukai oleh agama, mengemis itu dilarang. Karena manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluq sempurna. Kalau kamu mengemis sama saja menjatuhkan martabatmu bahkan menghina Allah. Pengemis itu sejelek-jeleknya manusia karena malas dan tidak kreatif. Orang tuamu boleh pengemis, tetapi kamu jangan. Selain itu mereka juga saya beri skil bermusik. Setelah itu anak-anak bercerita, “Om, tadi ada yang ngasih 1000 rupiah.” Di situ saya ngomong, “kalau berusaha keras nak, kamu bisa dapat rezeki lebih dari Allah. Nanti kamu tidak mengamen di bis atau di jalan, tetapi di hotel dan restoran.
Mulai 16 tahun anak Alang-Alang harus belajar life skill, karena di usia 18 mereka harus keluar. Namun wisudanya, kalau mereka sudah mentas dari jalanan. Alhamdulillah, sekarang ada yang bekerja sebagai penambal ban, sopir, permak jeans, cleaning service, bahkan jadi wartawan di JTV.
Kendala apa yang Anda hadapi selama merawat anak-anak di Alang-Alang?
Awal mengajar tempatnya di terminal Joyoboyo. Tetapi karena dianggap mengganggu ketertiban, aku diajak musyawarah secara baik-baik oleh kepala terminal agar memindahkan lokasi kegiatan. Akhirnya pindah ke stasiun trem di parkir depan Joyoboyo. Di situ persoalan muncul. Baru saja mulai belajar mengaji Al Quran, di depanku tiba “dhaar!”, botol bir dilempar. Ban mobilku digembosi. Kaca mobil ditempeli koran, ditulisi, “kalau nggak ingin mampus jangan ke sini.” Nyampe di rumah jam 2-3 ada telepon, aku angkat tapi nggak ada suara. Di situlah kesabaranku diuji, aku mulai bepikir untuk membubarkan. Kalau diteruskan aku harus berhadapan denagn preman. Tapi apa mungkin aku akan merobohkan rumah yang aku bangun sendiri. Akhirnya dapat tempat lain di pinggir kali. Dan alhamdulillah sekarang bias mengontrak rumah di sebelah barat terminal Joyoboyo.
*****
Di zaman yang serbapragmatis, di mana segala tindakan kerap diukur dengan untung rugi finansial, apa yang dilakukan oleh Didit Hape bagi sebagian orang mungkin sesuatu yang bodoh bahkan gila. Tidak ada yang mewajibkannya melakukan itu. Alih-alih digaji, Didit dan keluarga rela mengorbankan waktu, energi, pikiran, dan uang untuk menghidupi Alang-Alang (kendati ia berkeyakinan bahwa Allah lah yang mencukupi semua kebutuhan itu, dan dirinya sekadar perantara rezeki). Toh kini puluhan penghargaan telah ia raih.
Gelar pahlawan Indonesia telah tersemat padanya. Namun itu tidak membuatnya bangga. Karena bukan itu yang ia harapkan. Ia bahkan menangis saat berkumpul dengan para peraih penghargaan pahlawan Indonesia versi Kick Andy Metro TV. Ia merasa belum ada apa-apanya dibandingkan mereka. Ia bercerita, “Saya lihat ada orang tua selama 60 tahun merawat orang-orang gila di rumahnya. Ada lagi suster apung yang merawat orang sakit, orang hamil, dari pulau ke pulau dengan biaya pribadi. Seorang ibu keturunan jerman, yang mulai remaja hingga tua merawat para penderita kusta di Papua. Dari situ aku seolah mendapat bisikan, “Kamu belum ada apa-apanya dibandingkan orang-orang ini, teruskan langkahmu!”
Apa harapan pribadi Anda sekarang?
Alhamdulillah sekarang Alang-alang bisa berkembang begini, semua karena Allah. Aku berharap, ini yang bisa aku persembahkan kepada Allah. Aku dan keluargaku sudah cukup dengan rumah ini, sekarang aku ingin mewakafkan sisa hidup untuk mengasihi anak-anak fakir dan terlantar. Karena inilah ibadah paling mudah, cuma butuh kasih sayang berbekal Bismilahirrohamirahim. Ya semoga ini menjadi sajadahku ke akhirat. Wajar dong kalau aku mengharapkan surga.
Ribuan bahkan jutaan anak kecil negeri ini terbiasa menghabiskan waktunya di jalanan kota. Beragam profesi mereka tekuni. Pengamen, pengemis, pengelap mobil, dan penjual koran, mungkin yang terbanyak. Razia aparat Kesatuan Polisi Pamong Praja menjadi “santapan” mingguan mereka, apalagi pelecehan dan kekerasan fisik dari preman-preman. Namun semua itu tidak menciutkan nyali mereka. Faktor ekonomi menjadi alasan utama. Itulah eksploitasi.
Pemerintah menganggap mereka sebagai “rumput liar” yang mengganggu keindahan kota, maka secepatnya harus dihilangkan. Mereka ditangkap, dibina, kemudian dikembalikan ke kampung halamannya. Namun dari dulu hingga kini, toh kota tak pernah bersih dari mereka yang oleh banyak orang dicap “anak jalanan”, sebuah penamaan yang sangat eksploitatif karena berdampak negatif bagi jiwa anak-anak. Mereka distempel dengan sebutan yang berkonotasi rendah hingga seolah sepanjang hidupnya bakal susah menaikkan harkat martabatnya.
Mereka bak ilalang yang kian dibasmi semakin tumbuh sabar. Dan karena mereka manusia, bukan tumbuhan, tentu tidak boleh diberantas, tetapi dikembangkan agar menjadi “pohon besar” yang kuat berdiri di atas akarnya, dan “berdaun rimbun” untuk mengayomi saudara-saudara mereka. Namun siapa yang mau merawat mereka?
H. Didit Hari Purnomo, atau yang akrab disapa Om Didit, itulah orangnya. Tahun 1999 adalah awal kali Didit bersama istrinya menyelenggarakan sekolah malam bagi para pengamen, pedagang asongan, bahkan pelacur, yang semuanya masih di usia pendidikan dasar. Terminal Joyoboyo menjadi lokasinya.
Om Didit memandang, razia dan pemulangan hanyalah strategi instan untuk membersihkan jalanan kota dari anak-anak terlantar dan gelandangan. Pemberian ilmu pengetahuan dan skil praktis adalah cara paling tepat. Tetapi, kesabaran, kegigihan, dan keikhlasan merupakan keniscayaan dalam melakukan itu. Butuh waktu panjang untuk mengentaskan para kader penerus bangsa itu dari jejaring kemiskinan dan jalanan kota.
Dan kini, hampir genap sepuluh tahun Didit melakoni pekerjaan itu secara kontinyu. Ratusan anak-anak bangsa korban eksploitasi terselamatkan. Rabu 02/04/2009, Al Madinah bertandang ke kediaman Didit di komplek perumahan TVRI Jawa Timur. Hampir dua jam, saya, Suud Fuadi (Redpel Al Madinah), dan Didit terlibat obrolan panjang seputar penanganan masalah anak terlantar perkotaan. Demikian petikan perbincangan tersebut.
Bagaimana komentar Anda atas pengananan masalah anak di perkotaan?
Anak-anak dirazi
a oleh pemerintah, dari situ anak mestinya belajar norma hukum. Karena mengemis dan menggelandang di tempat umum menyalahi KUHP Pasal 604
dan 605. Tetapi cara menangkapnya tidak boleh kasar, harus persuasif. Anak-anak itu kemudian dibina dan diarahkan, jangan cuma dijaring, diberi makan beberapa hari setelah itu dilepas. Kalau perlu orang tuanya dipanggil untuk disadarkan bahwa anak adalah titipan Allah, tidak boleh diperlakukan seenaknya. Adapun si anak, oleh pemerintah dibiayai dan disekolahkan. Urutannya gitu. Memang sulit sesempurna itu, tapi kita harus berusaha
Apa langkah Anda menyikapi fenomena tingginya anak-anak yang turun di jalan untuk mengais rezeki?
Karena negara kita belum sanggup merawat fakir miskin dan anak terlantar secara sabar, ya aku buat negeri sendiri, negeri Alang-alang. Itu bukan negeri dongeng apalagi khayalan, tetapi negeri yang terletak di lubuk hati terdalam, dari kenyataan hidup dekat kita. Mereka bukan anak jalanan, tetapi anak negeri. Mereka lebih bangga disebut sebagai anak negeri.
Di Alang-Alang saya mengarahkan mereka pada target normatif yaitu etika, estetika, dan agama. Mereka harus sopan santun dan bersih. Alhamdulillah sekarang terlihat hasilnya, anak-anak terlihat bersih dan selalu mengucapkan salam saat datang dan pergi. (Al Madinah mengamati betapa anak-anak didikan Alang-Alang jauh dari image kumuh. Mereka rapi dan santun). Tapi mengubah perilaku itu tak semudah membalikkan tangan, kita harus concern dan istiqamah. Untuk itu saya mewajibkan anak-anak untuk bersalaman jika ketemu aku. Assalamualaikum atau selamat pagi, terus cium tangan, aku peluk mereka. Ya meniru tradisi pesantren, tapi aku ambil esensinya. Itu untuk mengecek sisi estetikanya. Kalau wangi berarti mereka sudah mandi, dan mereka juga tahu tanganku bersih dan wangi.
Bagaimana strategi Anda mengentaskan anak-anak dari jalanan?
Yang masih anak-anak aku motivasi dari segi norma. Mengemis itu tidak disukai oleh agama, mengemis itu dilarang. Karena manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluq sempurna. Kalau kamu mengemis sama saja menjatuhkan martabatmu bahkan menghina Allah. Pengemis itu sejelek-jeleknya manusia karena malas dan tidak kreatif. Orang tuamu boleh pengemis, tetapi kamu jangan. Selain itu mereka juga saya beri skil bermusik. Setelah itu anak-anak bercerita, “Om, tadi ada yang ngasih 1000 rupiah.” Di situ saya ngomong, “kalau berusaha keras nak, kamu bisa dapat rezeki lebih dari Allah. Nanti kamu tidak mengamen di bis atau di jalan, tetapi di hotel dan restoran.
Mulai 16 tahun anak Alang-Alang harus belajar life skill, karena di usia 18 mereka harus keluar. Namun wisudanya, kalau mereka sudah mentas dari jalanan. Alhamdulillah, sekarang ada yang bekerja sebagai penambal ban, sopir, permak jeans, cleaning service, bahkan jadi wartawan di JTV.
Kendala apa yang Anda hadapi selama merawat anak-anak di Alang-Alang?
Awal mengajar tempatnya di terminal Joyoboyo. Tetapi karena dianggap mengganggu ketertiban, aku diajak musyawarah secara baik-baik oleh kepala terminal agar memindahkan lokasi kegiatan. Akhirnya pindah ke stasiun trem di parkir depan Joyoboyo. Di situ persoalan muncul. Baru saja mulai belajar mengaji Al Quran, di depanku tiba “dhaar!”, botol bir dilempar. Ban mobilku digembosi. Kaca mobil ditempeli koran, ditulisi, “kalau nggak ingin mampus jangan ke sini.” Nyampe di rumah jam 2-3 ada telepon, aku angkat tapi nggak ada suara. Di situlah kesabaranku diuji, aku mulai bepikir untuk membubarkan. Kalau diteruskan aku harus berhadapan denagn preman. Tapi apa mungkin aku akan merobohkan rumah yang aku bangun sendiri. Akhirnya dapat tempat lain di pinggir kali. Dan alhamdulillah sekarang bias mengontrak rumah di sebelah barat terminal Joyoboyo.
*****
Di zaman yang serbapragmatis, di mana segala tindakan kerap diukur dengan untung rugi finansial, apa yang dilakukan oleh Didit Hape bagi sebagian orang mungkin sesuatu yang bodoh bahkan gila. Tidak ada yang mewajibkannya melakukan itu. Alih-alih digaji, Didit dan keluarga rela mengorbankan waktu, energi, pikiran, dan uang untuk menghidupi Alang-Alang (kendati ia berkeyakinan bahwa Allah lah yang mencukupi semua kebutuhan itu, dan dirinya sekadar perantara rezeki). Toh kini puluhan penghargaan telah ia raih.
Gelar pahlawan Indonesia telah tersemat padanya. Namun itu tidak membuatnya bangga. Karena bukan itu yang ia harapkan. Ia bahkan menangis saat berkumpul dengan para peraih penghargaan pahlawan Indonesia versi Kick Andy Metro TV. Ia merasa belum ada apa-apanya dibandingkan mereka. Ia bercerita, “Saya lihat ada orang tua selama 60 tahun merawat orang-orang gila di rumahnya. Ada lagi suster apung yang merawat orang sakit, orang hamil, dari pulau ke pulau dengan biaya pribadi. Seorang ibu keturunan jerman, yang mulai remaja hingga tua merawat para penderita kusta di Papua. Dari situ aku seolah mendapat bisikan, “Kamu belum ada apa-apanya dibandingkan orang-orang ini, teruskan langkahmu!”
Apa harapan pribadi Anda sekarang?
Alhamdulillah sekarang Alang-alang bisa berkembang begini, semua karena Allah. Aku berharap, ini yang bisa aku persembahkan kepada Allah. Aku dan keluargaku sudah cukup dengan rumah ini, sekarang aku ingin mewakafkan sisa hidup untuk mengasihi anak-anak fakir dan terlantar. Karena inilah ibadah paling mudah, cuma butuh kasih sayang berbekal Bismilahirrohamirahim. Ya semoga ini menjadi sajadahku ke akhirat. Wajar dong kalau aku mengharapkan surga.
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih