Buah Cintamu Bukan Miniaturmu

Anak adalah harapan masa depan. Setiap orang tua pasti mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses dalam hidupnya. Digantungkanlah asa setinggi langit di pundak sang buah hati. Demi mencapai cita-cita yang diinginkan oleh orang tua –tapi belum tentu diinginkan si anak, segala kebutuhannya dicukupi. Materi berlimpah, fasilitas belajar dipenuhi, namun orang tua biasanya mematok satu syarat, “Kamu harus menuruti segala atuaran dan perintah Ayah/Ibu.”


Lantaran ingin anaknya mencapai prestasi akademis tertinggi dan mengoptimalkan potensi anak pada titik puncak, terkadang orang tua lupa bahwa anak berkemampuan fisik dan emosi yang terbatas. Anak terus-menerus disuruh belajar tanpa memerhatikan kondisi fisik dan kejiwaan anak.

Tekanan orang tua tersebut bisa jadi tidak memberikan banyak ruang kepada anak untuk mengaktualisasikan diri. Sebagian anak mungkin terfasilitasi untuk belajar lebih keras, namun bukankah mereka membutuhkan waktu senggang untuk bersantai dan bermain demi mengepkspresikan daya khayal mereka? Ada beban psikologis besar yang mesti ditanggung anak. Harapan orang tua yang terlampau tinggi terhadap anak tidak disadari kera memerkosa hak anak, maka hal ini pun masuk dalam kategori eksploitasi.

Prof. Dr. Muhari, peraih doktor bidang psikologi pendidikan dari UGM Yogyakarta, mensinyalir, sebagian siswa bahkan mahasiswa tidak memilih konsentrasi pendidikannya secara mandiri, tetapi diarahkan penuh oleh orang tuanya. Menurut pria enam puluh lima tahun itu, banyak orang tua kurang memahami dunia anak, tetapi dia memiliki keinginan yang mesti dicapai oleh anak.

“Contoh, orang tua dulunya bercita-cita menjadi insinyur, tetapi belum kesampaian. Nah dia ingin anaknya yang akan mewujudkan itu. Maka si anak diarahkan dan dipaksa ke sana. Padahal anak belum tentu berminat dan berkemampuan di bidang itu, ya disitu anak sudah dieksploitasi” papar Muhari. Ia berpendapat, eksploitasi adalah segala keinginan yang dipaksakan kepada seseorang agar dilaksanakan, meski tidak disukai.

Fenomena lain yang cukup kontroversial adalah mulai menjamurnya sekolah yang menganut pola full day (sehari penuh). Di kota Surabaya misalnya, dari 42 Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri , ada 7 SMPN yang mampu menerapkan fullday school. Sementara untuk SMP swasta ada 2 nama yang cukup terkenal yakni Al Hikmah dan Al Falah. Sekolah full day biasanya mewajibkan anak didiknya mengikuti kegiatan belajar mengajar sejak pukul 07.00 pagi hingga 16.30 sore. Sementara untuk tingkat Taman Kanak-kanak (TK) adalah pukul 07.00-13.00.

Mengapa kontroversial? Beberapa kalangan memandang bahwa sekolah sehari penuh tersebut pasti mematok biaya pendidikan jauh lebih mahal daripada sekolah lain. Karena itu yang menjadi sasaran adalah anak-anak kelas menengah ke atas. Menurut Dewi Suminar, Dosen psikologi Unair, orang tua yang menyekolahkan anaknya di full day school hampir pasti pekerja sibuk yang tidak sempat mencurahkan waktunya untuk mendidik dan membimbing si anak.

“Di situ ada unsur neglect (penelentaran). Sebab sekolah diminta sejenak menggantikan fungsi orang tua lantaran dia tidak sanggup mengasuh anaknya secara full time. Itu yang sering terjadi. Belum lagi ketika anak disuruh mengikuti bermacam-macam les tambahan di malam harinya. Itu bentuk dari menidakan keinginan anak,” papar Dewi Suminar yang sedang menempuh jenjang doktoral psikologi di UGM Yogyakarta itu.

Analisis berbeda diajukan oleh Prof. Muhari. Ia mempertanyakan apakah di beberapa sekolah yang mahal dan full kegiatan itu, anak didik bisa mendapatkan kesempatan bermain sebagaimana kebutuhannya yang alamiah? “Menurut saya kehidupan yang riil, hidup berbaur dengan masyarakat sehingga mendapatkan pengalaman dari banyak situasi dan kondisi kehidupan, itu lebih kaya daripada terkungkung dalam lingkungan tertentu,” tutur Muhari.

Selain full day school, Muhari yang dikukuhkan sebagai guru besar oleh Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa pada tahun 2003, menyoroti adanya TK yang sudah mengembangkan kurikulum baca, tulis, dan hitung (calistung) dan komputer bagi peserta didiknya. Menurutnya, hal itu tidak efektif karena tidak mengindahkan kondisi anak. “Kalau sudah diajarkan di TK, lalu di SD (sekolah dasar) diajarkan apa?” ucap Muhari penuh tanya. Dalam hemat ayah dua putera ini, anak TK mestinya diarahkan pada permainan dan bersosial, sebab sedang berada pada tahap pengenalan diri dan sosial, sehingga cukup matang saat menginjak bangku sekolah dasar. ”Tapi TK ini banyak didatangi orang tua. Tampak ada semacam pemaksaan di luar kemampuan anak,” imbuhnya.

Secara obyektif, baik Dewi maupun Muhari tidak melihat bahwa pendidikan ala full day mengandung unsur eksploitasi, tetapi perlu dikaji mendalam sebab berkaitan erat dengan kondisi kejiwaan anak ke depannya.

Memaksimalkan Potensi Tanpa Eksploitasi

Isu kontroversial lain menyangkut hak anak adalah reality show kontes bakat anak semacam Idola Cilik, Pildacil, dan semacamnya yang ditampilkan beberapa televis swasta. Anak-anak kecil selama menjalani karantina untuk melatih skil mereka agar mampu tampil di layar kaca sesuai selera produser tentu harus meninggalkan sekolah dan sanak kerabatnya. Jam istirahat mereka sangat besar kemungkinan terpangkas.

UU Perlindungan Anak No. 23 th 2002 Pasal 11 secara tegas menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan kawan sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Sedangkan dalam Pasal 8 termaktub “setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”

Pertanyaannya, apakah kontes bakat tersebut mampu memenuhi bukan hanya kebutuhan fisik yang bersifat material namun juga kebutuhan mental, spiritual, dan sosial ketika mereka “dipaksa” untuk tampil seoptimal mungkin menghibur penonton, dengan jam aktivitas di luar kebiasaannya, dan masa karantina yang mengharuskan mereka untuk meninggalkan komunitas sosial aslinya?

Dewi Retno Suminar, memandang, acara itu tidak bisa di-hantam kromo sebagai sesuatu yang negatif. Sebab apabila anak secara sadar senang melakukan itu, maka justru berdampak positif. Ia tidak sepakat dengan kekhawatiran sebagian orang bahwa acara itu akan mengubah mind set anak menjadi materialistis. “Semua orang tua pasti mengarahkan anaknya ke sana. Contoh, ‘kamu sekolah, nanti kalau besar bisa gampang cari uang.’ Itu kan sudah materialistis, cetus alumnus Magister psikologi UGM Yogyakarta tersebut.

Dalam psikologi perkembangan, demikian Dewi menerangkan, ada teori rubber band (gelang karet). Jika anak memiliki potensi yang bagus di bidang tertentu, anak bisa dikembangkan dengan sangat cepat sejak usia dini. “Nah kalau anak punya bakat di bidang olah suara maupun agama, mengikuti Idola Cilik dan Pildacil bukan dieksploitasi, wong bahannya bagus. Tapi kalau karet gelangnya jelek dan dia dipaksa itu pemerkosaan. Pada prinsipnya, ketika anak melakukan dengan senang hati, dan dia berhak untuk mengatakan tidak, maka tidak ada masalah,” urai Dewi panjang lebar.

Komunikasi antara orang tua (atau orang dewasa terdekat) dengan si buah cinta merupakan faktor kunci mendidik anak. Si kecil harus dihargai sebagai teman yang memiliki perasaan, keinginan, dan kebutuhan, sehingga orang tua dan dewasa di sekitarnya tidak semena-mena meminta anak melakukan apa saja. Sebab anak adalah subyek aktif bukan obyek pasif.

(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Buah Cintamu Bukan Miniaturmu”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com