Pendidikan: Memandirikan Anak Bukan Mem-priyayi-kan

“Mau tahu tahu mentalitas angkatan kerja Indonesia saat ini? Tidak perlu repot-repot melakukan tes psikologi. Sodorkan saja sebuah pacul dan sempritan, lalu minta mereka untuk memilih salah satu di antaranya sebagai bekal mencari nafkah. Saya yakin sebagian besar di antara mereka akan memilih sempritan."
Memilih pacul berarti siap-siap membanting tulang di bawah terik matahari. Hasilnya baru dipetik dalam hitungan bulan dan tahun, itu pun kalau tidak ada hama dan harga panen tidak anjlok. Memilih sempritan, berarti tidak perlu membanting tulang. Cukup dengan meniup benda kecil itu seraya menggerakkan tangan di antara kepadatan lalu lintas, hasilnya sudah bisa dipetik.

Statemen di atas keluar dari Sartono Mukadis, Psikolog Senior Universitas Indonesia yang dimuat di Harian Kompas, Sabtu 04/12/2004 untuk meng-gojloki rendahnya mentalitas generasi muda bangsa ini.. Tilik saja setiap pembukaan lowongan pegawai negeri sipil (PNS) setiap tahunnya. Satu kursi bisa diperebutkan oleh 30-an pendaftar yang mayoritas lulusan perguruan tinggi.

Jaminan gaji reguler dan tunjangan tetap pascapensiun memang menggiurkan. Porsi kerja yang relatif ringan juga menjadi daya pikat khusus. Kerja ringan maupun kerja berat hasilnya tetap sama. Dengan balutan seragam PNS, mereka tampak begitu gagah dan wibawa. Ancaman pemecatan ataupun pemutusan hubungan kerja (PHK) juga sangat tipis. Kendati Republik ini sedang diterpa krisis ekonomi sekali pun, negara pasti akan menunaikan kewajibannya kepada aparat-aparatnya itu.

Apakah ini wujud mentalitas priyayi yang khas masyarakat korban kolonial? Diakui atau tidak sistem pendidikan kita memang bermasalah karena mewarisi sistem pendidikan kolonial. Semua orang tahu bahwa pemerintah kolonial membuka lembaga-lembaga pendidikan formal sebagai padepokan untuk memproduksi aparat dan pegawai pemerintahan kolonial. Bukan dididik untuk membangun industri atau unit usaha swasta secara mandiri.

Ir. Daniel Muhammad Rasyid, Ph.D, mantan Pembantu Rektor IV Institut Tekonologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, ketika di wawancarai Al Madinah di rumahnya di Perumahan ITS Sukolilo pada 19/02/2009, mengamini pandangan di atas. Daniel menyontohkan perguruan Muhammadiyah prakemerdekaan. “Waktu itu sekolah Muhammadiyah adalah sekolah alternatif, sekolah pemberontak. Sebab waktu itu orang-orang Muhammadiyah adalah pengusaha batik, kain, mebel, dan sebagainya. Tetapi Muhammadiyah sekarang terlalu dekat dengan kekuasaan, sehingga banyak alumni perguruan Muhammadiyah memilih menjadi PNS,” terang Daniel.

Dengan mengajukan contoh kasus lebih mutakhir, Prof. Dr. Anita Lie, penulis buku 101 Cara Menumbuhkan Kemandirian dan Tanggung Jawab Anak, mengungkapkan pandangan senada dengan Daniel. “Ya kalau sarjana lulusan terbaik dia ingin masuk di perusahaan-perusahaan bergengsi, bank-bank asing, Badan Usaha Milik Negara, itu kan prestise. Bahkan dia juga mendapat fasilitas tertentu. Ada orang yang memang kebutuhannya seperti itu.. Ala priyayi gitu lah,” ujarnya meyakinkan.

Selain persoalan mentalitas priyayi yang menjangkiti lulusan sekolah, khususnya perguruan tinggi, pola pikir orang tua dan masyarakat juga sangat memengaruhi anak. Primatia Yogi Wulandari, Psikolog anak dari Unair, merasakan betul akan hal itu. Alumnus S1 Psikologi UGM itu bercerita, “Banyak orang tua lebih bangga anaknya menjadi pegawai bank, PNS, daripada misalnya menjadi seorang musisi, penulis, ataupun pedagang. Ketika anakanya bilang, Bu, aku ingin menjadi pengusaha batik, ibunya mungkin menjawab, lha kamu sekolah tinggi-tinggi kok cuma jadi penjual batik..”

Kenyataan seperti itu diceritakan pula oleh Mas’ud Chasan. “Saya mempunyai teman pengusaha sukses. Ia menyekolahkan anaknya ke luar negeri, padahal di sana harga kosnya sebulan lima juta rupiah. Namun ketika anaknya lulus, bukannya dilatih untuk meneruskan usahanya yang prospektif, malah disuruh melamar kerja sebagai pegawai bank swasta. Ini gimana?” kata Direktur Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta itu bersemangat.

Primatia Yogi Wulandari,
Psikolog Anak dari UNAIR


Maka menurut Ibu Mima, demikian Primatia biasa disapa, mindset seperti itu perlu diubah. “Anak mungkin bisa menyontohkan Bill Gates yang berani meninggalkan kuliah tetapi berhasil menjadi salah satu orang terkaya di dunia,” imbuhnya.

Seluruh tokoh yang ditemui Al Madinah sepakat bahwa potensi kewirausahaan harus ditumbuhkan dan digalakkan di lembaga-lembaga pendidikan formal maupun informal. Bagi Daniel, anak secara alamiah berjiwa entrepreunership tetapi sistem pendidikan kita malah membunuhnya. “A child borned artist, anak-anak dilahirkan sebagai seniman yang merdeka, sayangnya bakat itu dibunuh pendidikan kita. Coba lihat, anak-anak kecil kan tidak punya rasa takut. Dia serba ingin tahu, bergerak ke sana kemari, ingin bereksplorasi, mencari sesuatu yang baru. Nah sekolah kita justru mengungkung dan mematikan kemerdekaan itu. Buktinya, semakin tinggi pendidikan malah semakin penakut,” tukas mantan anggota dewan pakar propinsi Jawa Timur ini.

Pandangan ini ditimpali Primatia. Peraih master science bidang psikologi perkembangan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta itu berpendapat bahwa sebenarnya jiwa entrepreneurship adalah kombinasi dua faktor yaitu bakat alam atau bawaan lahir dan hasil pendidikan. Ketika anak dididik dengan cara tepat maka dia akan punya kesempatan yang sama untuk jadi pewirausaha. “Namun ketika sistem pendidikan yang tidak memandirikan berlaku terus menerus dari lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai mahasiwa tentu itu mematikan kreatifitas individu,” tegasnya.

Sedikit berbeda dengan keduanya, Prof. Anita, melihat ini akibat pola pendidikan di Indonesia yang tidak applicable, terjebak di menara gading, sangat kurang memiliki relevansi dengan dunia nyata. Ibu satu anak ini menyontohkan pengalamannya sendiri ketika harus mengajar mata pelajaran kewirausahaan, padahal pengalaman entrepreneurship dirinya sangat minim. Maka ia hanya belajar teori dari buku. Jadi sangat teoretis. Untuk menutupi kekurangannya, Anita mengundang koleganya yang berprofesi sebagai pengusaha untuk mengajar di kelasnya.

Pendidikan kemandirian, itulah kata kunci yang ditekankan Daniel Rasyid untuk menanggulangi fenomena ini. “Salah satunya dengan pendidikan kewirausahaan itu,” ucap pria kelahiran Klaten empat puluh delapan tahun silam ini. Bagi Daniel, pendidikan adalah proses memaknai pengalaman. Maka semestinya pengalaman anak sehari-hari dalam membantu orang tua jualan, melaut, berternak, dan sebagainya bisa dibawa ke ruang kelas dan didiskusikan dan dirujukkan pada buku-buku tertentu. Sehingga anak bisa menjadi pakar di bidang yang ia geluti sehari-hari di lingkungannya.

“Nah sekarang ini pendidikan ditekankan untuk mengejar nilai di Ujian Nasional dan berhasil menggaet ijazah. Seolah dengan ijazah anak bisa meraih segala sesuatu yang ia cita-citakan. Itu pandangan konyol,” tegas Doktor lulusan University of Newcastle Upontyne, UK, Inggris.

Untuk memunculkan anak didik yang bermental merdeka, demikian Daniel, salah satu syarat mutlaknya ialah guru tidak boleh bermental pegawai. “Kalau ingin memandirikan muridnya, dia sendiri harus berjiwa merdeka. Kalau guru bermental pegawai dia sulit mengembangkan body language (bahasa tubuh: red) yang menginspirasikan kemerdekaan,” pungkas bapak empat anak itu.

Secara umum Anita Lie, merekomendasikan agar sistem pendidikan kita mampu menciptakan generasi yang bermental die hard (pantang menyerah) dan “bermuka tebal”. Karena dua modal itu adalah kunci sukses untuk memulai usaha menuju kemandirian. Pendidikan jangan sampai memunculkan generasi priyayi yang pemalu, mudah tersinggung, dan selalu ingin dijunjung atau dihormati.
(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Pendidikan: Memandirikan Anak Bukan Mem-priyayi-kan”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com