Kewirausahaan Untuk Anak, Mengapa Tidak?

Laporan Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di Indonesia tahun 2008 dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) menunjukkan, pada Februari 2008, dari 9.427.600 orang pengangguran terbuka, sebanyak 4.516.100 atau 4,5 juta orang masuk kategori pengangguran terdidik. Mereka adalah lulusan SMA, SMK, dan Universitas (Program Diploma, S1, S2, dan S3). Disinyalir hal ini akibat rendahnya daya adaptasi lulusan pendidikan formal dalam memenuhi tuntutan pasar kerja (Kompas, 22/08/2008).
Hasil survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2007 mencatat, terdapat 10.547.900 (9,75 %) penganggur terbuka. Sementara pengangguran intelektual tercatat 740.206 orang atau 7,02 %. Hasil survei serupa pada Februari 2008, total pengangguran sebanyak 9.427.610 orang atau menurun 1,2 % dibanding Februari 2007. Sementara pengangguran intelektual mencapai 1.461.000 orang (15,5 %) atau meningkat 1,02 % dari tahun 2007 (Aan Rohanah: 2008).

Itulah potret dunia kerja di Indonesia. Ribuan lulusan lembaga pendidikan formal kebingungan mencari aktifitas pascapendidikan untuk sekadar menyambung perjalanan hidup ataupun demi meniti karir masa depan. Mereka sibuk mondar-mandir menawarkan selembar ijazah dan skill –biasanya pas-pasan— yang diperolehnya ketika duduk di bangku pendidikan.

Sebagian orang barangkali akan bertanya? Mengapa mereka tidak berminat untuk bertarung di pasar bebas melalui aktifitas jual beli langsung atau mencoba merintis usaha sendiri. Menurut Martaja (Suara Karya, 16/04/2008), inilah perwujudan mental priyayi sebagai konsekuensi dari birokrasi minded (pola pikir yang menganggap bahwa birokrasi pemerintahan adalah sektor pekerjaan terbaik). Lihat saja ketika pendaftaran calon pegawai negeri sipil (CPNS) dibuka, jutaan orang rela berjubel untuk memenuhi dan memasukkan persyaratan demi memerebutkan lowongan itu.

Terlalu banyak lulusan perguruan tinggi yang bermental priyayi, sehingga tidak bersedia merintis usaha kecil. Martaja kemudian merekomendasikan siapa pun agar membangun jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) sejak anak usia dini. Baginya, hal ini merupakan salah satu ikhtiar penyadaran generasi muda bangsa bahwa kemandirian dan kemerdekaan individu adalah keharusan.

Pandangan Martaja diamini oleh Prof. Dr. Anite Lie, Guru Besar ilmu pendidikan Universitas Katolik (Unika) Widya Mandala, Surabaya yang ditemui Al Madinah pada Jumat, 20/02/2009. Menurut Anita, entrepreneurship perlu dikembangkan sejak dini agar generasi muda tidak berpikir mencari pekerjaan. “Lulus saya mau kerja di mana, tapi belajar menciptakan lapangan pekerjaan. Ini penting terutama dalam krisis ekonomi seperti sekarang,” ujar peraih gelar Doktor dari Baylor University Amerika Serikat ini.


Prof. Dr. Anita Lie, Guru Besar Ilmu Pendidikan Unika Widya Mandala Surabaya


Secara umum menurut Ir. Daniel M. Rasyid, Ph.D, Mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, tujuan kewirausahaan ialah memandirikan dan memerdekakan anak. “Dari sudut pandang agama, manusia hanya boleh menuhankan Allah, tidak menuhankan diri dan alam semesta. Itu sebenarnya tujuan pokok pendidikan wirausaha. Maka jangan sampai semakin tinggi pendidikan anak malah semakin jadi penakut dan tidak mandiri,” urainya panjang lebar.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wirausaha disamakan dengan wiraswasta yang bermakna; orang yg pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Artinya, tidak semua kegiatan bisa disebut sebagai wirausaha.

Menurut Mas’ud Hasan, Direktur Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta, bahwa tidak setiap bisnis baru, kecil, dan milik sendiri, dapat disebut kewirausahaan. Untuk disebut pewirausaha, pemilik harus menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda, dengan mengubah atau mengganti nilai. “Suami istri yang membuka warung tegal di di dekat kampus, tidak bisa disebut wirausaha, karena tidak menciptakan kepuasan baru atau permintaan konsumen yang baru,” paparnya melalui wawancara via telepon.

Tidak terlalu penting kiranya memerdebatkan definisi wirausaha. Satu hal penting dari pendidikan kewirausahaan bagi anak ialah pembentukan mentalitas wirausaha. Karena dalam pendidikan wirausaha tidak sekadar mengajarkan anak tentang cara berbisnis. Lebih dari itu di situ anak dilatih untuk memiliki mental dan karakter diri yang kokoh. Anak diajari untuk mengenali diri sendiri, mengendalikan emosi dan stres, mengelola waktu, komunikatif dan luwes dengan pelbagai situasi, serta mampu memilih dan membuat keputusan.

Tentunya karakter-karakter tersebut harus dibentuk sejak dini melalui pendidikan wirausaha secara teoretis maupun praktis, serta contoh kongkrit, lantaran pembentukan mental memerlukan waktu dan proses panjang.

Bagi Primatia Yogi Wulandari, S.Psi, Psi, M.Si, Dosen Psikologi Perkembangan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, jiwa kewirausahaan perlu ditumbuhkan sejak dini bukan hanya dalam dataran pembentukan kognitif dengan memberitahu anak tentang definisi kewirausahaan, manfaatnya, dan caranya. Ia juga kurang setuju dengan pendidikan kewirausahaan yang sifatnya momental belaka, seperti one entrepreneurship day atau one bussines day, karena kurang efektif.

Ibu Mima, demikian Primatia akrab disapa, mengusulkan agar kewirausahaan diintegrasikan dalam mata pelajaran melalui kurikulum tersembunyi. “Ya tidak perlu tertera materi kewirausahaan tetapi guru harus secara kreatif memasukkannya dalam mata pelajaran,“ ucapnya.

Pandangan senada datang dari Drs. M. Sulthon, M.M, pemilik Pramita Utama Diagnostic Center Surabaya. Sebagai praktisi ia menyadari pentingnya menanamkan jiwa wirausaha sejak dini bagi anak-anak. Ia bercerita mengenai istrinya yang menanamkan bisnis pada anak melalui praktik dagang. “Anak-anak saya oleh ibunya diajari untuk jual beli permen meski semampunya. Karena dengan praktik jual beli anak akan menemukan banyak pengalaman seperti berhadapan dengan konsumen, mengetahui tipologi dan perilakunya, mencari peluang, dan yang terpenting keberanian untuk memulai,” tukas bapak lima anak ini.

Dalam dataran praktis inilah kewirausahaan untuk anak menuai dilema. Mengingat Undang Undang (UU) perlindungan Anak No. 22 tahun 2003 secara tegas melarang segala bentuk eksploitasi ekonomi terhadap anak, termasuk menyuruh anak berdagang. Namun karena tidak ada tafsir yang rigid, UU ini lantas menjadi multitafsir. Maka siapa pun bisa menafsirkannya. Tentu jika niatnya untuk pembelajaran kewirausahan –yang tidak cuma berkutat pada urusan jual beli dan meraih untung tetapi juga penempaan mental anak— tidak akan tersandung UU ini.
(Syafiq)

Comments :

0 komentar to “Kewirausahaan Untuk Anak, Mengapa Tidak?”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com