“Pelajarilah orang yang pernah meraih kesuksesan, kemudian pelajari riwayat hidupmu, jatuh bangunmu, penderitaanmu, kemalanganmu, singkatnya segala persoalan dirimu. Ketahuilah bahwa dalam hidup ini, jika ingin meraih sesuatu harus diperjuangkan. Setiap orang yang ingin berhasil dan mendapatkan gelar wirausaha hanya akan mencapainya jika ia telah lulus dari ‘Universitas Kegagalan’ dan ‘Fakultas Penderitaan dan Pantang Putus Asa’. Itu yang tidak diajarkan sekolah.” (Mas’ud Chasan, Owner Penerbit Pustaka Pelajar Yogyakarta dan Jaringan Toko Buku Sosial Agency Baru)
Selama ini kewirausahaan (entrepreneurship) kerap dipahami secara dangkal sebagai perdagangan an sich. Seolah mengajari anak berwirausaha cukup dengan mengajarinya berjualan tanpa perlu membekalinya dengan wawasan dan ilmu pengetahuan lain yang bisa memerluas cakarawala pikirannya. Betul bahwa pelajaran dasar berwirausaha adalah berdagang. Namun idealnya tidak berhenti di situ, karena pendidikan kewirausahaan berkaitan erat dengan penempaan mentalitas dan intelektualitas sekaligus.
Demikian secuil kesimpulan yang diperoleh Al Madinah dari perbincangan dengan beberapa pakar, baik pendidikan maupun psikologi, dan pengusaha. Primatia Wulandari misalnya, pengajar psikologi perkembangan Unair Surabaya ini memaknai konsep entrepreneurship lebih dalam. Ia memandang, dalam kata itu terkandung arti kerja keras, pengambilan resiko, penciptaan kesempatan, pengelolaan diri dan sosial. Baginya unsur itu jauh lebih penting dari sekadar makna berdagang.
Daniel M. Rasyid, P.h.D
Kreatifitas. Itulah kata kunci yang ditekankan Daniel Rasyid, P.h.D, mantan pengurus Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Jawa Timur. Karenanya Daniel lebih suka menyebut pendidikan kemandirian sebab lebih mendasar. Untuk memenuhi target itu, dalam hemat Daniel, sekolah harus menjadi ruang ekspresi anak. Pasalnya, melalui itu kemampuan kreasi, komunikasi, keberanian, dan tentunya kemandirian peserta didik akan teroptimalkan.
Daniel berujar, “Ekspresi tidak harus bisnis. Bisa ekspresi seni, olahraga, dan sebagainya. Anak-anak sejak dini harus ditemukan dan dikembangkan potensinya di bidang yang ia gemari asalkan setiap potensi anak bisa dieksplorasi secara maksimal. Hasilnya, anak jadi percaya diri, mandiri, dan tidak menyusahkan orang lain. Orang tua dan guru tidak perlu terobsesi dengan IPA dan Sains. Kalau orang tua dan sekolah memiliki persepektif seperti itu, masa depan anak Indonesia akan lebih lapang.”
Nyaris senada dengan Daniel, Primatia yang ditemui Al Madinah pada Kamis, 19/02/2009 di Fakultas Psikologi Unair, tidak setuju jika anak tiba-tiba dihadapkan, “ini produk, dijual”, tanpa melibatkan pemikiran dan keputusan anak sejak awal. Perempuan tiga puluh satu tahun yang ikut membantu di PAUD Unair ini menyarankan agar guru mengajak anak didiknya berdiskusi tentang bagaimana menciptakan produk.
“Bagaimana produk itu bisa dihasilkan. Tema tentang ayam misalnya. Anak diajak bereksplorasi apa yang berguna dari ayam. Bulunya dibuat apa? Telornya apa? Anak diajak bereksplorasi dan membayangkan apa yang bisa dibuat dari seekor hewan ayam. Perbincangan tentang itu memicu kreatifitas dan ide-ide inovatif berkaitan dengan ayam. Setelah itu, dipraktikkan ke dalam event tertentu, seperti bussines day atau pameran. Juga melalui kunjungan ke individu atau perusahaan sukses untuk berwawancara. Nah proses itu harus berjalan kontinyu,” terang perempuan kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur ini panjang lebar.
Ketika ditanyai apakah pelajaran “kreatifitas” seperti itu tidak akan membebani secara psikis pada anak didik, khususnya SD dan SMP? Psikolog yang menempuh pendidikan profesinya di UGM Yogyakarta ini menjawab, “justru anak malah suka”. Dengan metode diskusi kelompok misalnya, anak akan lebih berani bertanya dan mengungkapkan pendapat. “Jadi yang terpenting menurut saya ialah life skill untuk menjadi seorang entrepreneur,” tukas Mima lugas. Sambil berjalan anak juga bisa diajari teori dan praktik ringan tentang perencanaan bisnis dan investasi, seperti diusulkan Anita Lie.
Mas’ud Chasan, sebagai pengusaha yang memulai bisnisnya dari titik nol tampak setuju dengan pandangan itu. Menurutnya dalam pengajaran kewirausahaan terhadap anak, yang terpenting bukan menyuruh untuk bekerja secara penuh, tapi melatihnya untuk terus berkreasi dan kerja keras. Pria kelahiran 21 April 1957 itu menyontohkan, “Di sekolah anak disuruh bikin prakarya. Nah prakarya itu jangan lantas hanya disimpan almari guru. Tetapi guru harus mencari cara agar prakarya itu bisa dijual. Kalau seperti ini anak yang berbakat di bidang itu tertantang untuk membuat karyanya sebagus mungkin.”
Menyambung ide Mas’ud, Daniel Rasyid menyontohkan salah satu SMP swasta di Gresik yang sudah bisa menjual lukisan karya muridnya. Nah dengan demikian anak yang bakatnya berdagang juga bisa terwadahi potensinya di pameran itu sebagai marketing ataupun penjaga stand tanpa mesti melanggar aturan sekolah. Sebab seperti dipaparkan Anita Lie, ada sekolah yang tegas melarang siswanya berjualan karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar.
Padahal dalam pengamatan Al Madinah, ada beberapa sekolah yang melarang anak didiknya berjualan tetapi lembaga formal itu justru “berjualan” kepada muridnya dengan mewajibkan wali siswa membeli seragam setiap tahun di sekolah, juga sepatu, buku lembar kerja siswa setiap semester, dan sebagainya, dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran.
Anita Lie sendiri tidak setuju dengan aturan pelarangan berjualan bagi siswa di lingkup sekolah tetapi gurunya diperbolehkan. “Setiap hubungan transaksional harus ada aturan main dan etikanya,” ujar pakar pendidikan itu. Menurutnya, larangan murid tidak boleh berjualan ya dibatasi ketika jam pelajaran berlangsung. Dengan demikian potensi wirausaha peserta didik tetap terasah.
Selain sekolah, menurut Primatia dan Anita Lie, keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama harus melakukan pembiasaan-pembiasaan kreatif hingga menjadi sesuatu yang habit. Primatia mengajukan contoh simpel melalui pengelolaan uang jajan. Menurutnya semakin besar usia anak, pemberian uang jajan harus diberi ruang waktu. Jika saat TK setiap hari, maka menginjak SD setiap satu minggu, dan seterusnya. Dari situ orang tua harus memantau pengelolaan anak terhadap uang jajannya. Bagi Mima, kepercayaan seperti itu, akan menumbuhkan kepercayaan diri, kemandirian, skill pengelolaan, dan juga rasa tanggungjawab anak.. Selain itu anak juga bisa diajak ke lokasi kerja orang tuanya terutama jika orang tuanya pedagang atau pengusaha, untuk melihat proses kerja orang tuanya, sehingga membangkitkan sense kewirausahaannya.
Pendek kata, pendidikan kewirausahaan bagi anak usia dini adalah pendidikan yang mampu mendorong anak untuk menemukan potensinya, mengembangkannya, menciptakan atau memproduksi karya baru dalam bidang itu, dan lantas mampu menjualnya kepada khalayak luas. Untuk bisa menjalankan proses itu, tentu butuh ketelatenan dan kesabaran seluruh pendidik, baik guru maupun orang tua.
(Syafiq)
Demikian secuil kesimpulan yang diperoleh Al Madinah dari perbincangan dengan beberapa pakar, baik pendidikan maupun psikologi, dan pengusaha. Primatia Wulandari misalnya, pengajar psikologi perkembangan Unair Surabaya ini memaknai konsep entrepreneurship lebih dalam. Ia memandang, dalam kata itu terkandung arti kerja keras, pengambilan resiko, penciptaan kesempatan, pengelolaan diri dan sosial. Baginya unsur itu jauh lebih penting dari sekadar makna berdagang.
Daniel M. Rasyid, P.h.D
Kreatifitas. Itulah kata kunci yang ditekankan Daniel Rasyid, P.h.D, mantan pengurus Kadin (Kamar Dagang dan Industri) Jawa Timur. Karenanya Daniel lebih suka menyebut pendidikan kemandirian sebab lebih mendasar. Untuk memenuhi target itu, dalam hemat Daniel, sekolah harus menjadi ruang ekspresi anak. Pasalnya, melalui itu kemampuan kreasi, komunikasi, keberanian, dan tentunya kemandirian peserta didik akan teroptimalkan.
Daniel berujar, “Ekspresi tidak harus bisnis. Bisa ekspresi seni, olahraga, dan sebagainya. Anak-anak sejak dini harus ditemukan dan dikembangkan potensinya di bidang yang ia gemari asalkan setiap potensi anak bisa dieksplorasi secara maksimal. Hasilnya, anak jadi percaya diri, mandiri, dan tidak menyusahkan orang lain. Orang tua dan guru tidak perlu terobsesi dengan IPA dan Sains. Kalau orang tua dan sekolah memiliki persepektif seperti itu, masa depan anak Indonesia akan lebih lapang.”
Nyaris senada dengan Daniel, Primatia yang ditemui Al Madinah pada Kamis, 19/02/2009 di Fakultas Psikologi Unair, tidak setuju jika anak tiba-tiba dihadapkan, “ini produk, dijual”, tanpa melibatkan pemikiran dan keputusan anak sejak awal. Perempuan tiga puluh satu tahun yang ikut membantu di PAUD Unair ini menyarankan agar guru mengajak anak didiknya berdiskusi tentang bagaimana menciptakan produk.
“Bagaimana produk itu bisa dihasilkan. Tema tentang ayam misalnya. Anak diajak bereksplorasi apa yang berguna dari ayam. Bulunya dibuat apa? Telornya apa? Anak diajak bereksplorasi dan membayangkan apa yang bisa dibuat dari seekor hewan ayam. Perbincangan tentang itu memicu kreatifitas dan ide-ide inovatif berkaitan dengan ayam. Setelah itu, dipraktikkan ke dalam event tertentu, seperti bussines day atau pameran. Juga melalui kunjungan ke individu atau perusahaan sukses untuk berwawancara. Nah proses itu harus berjalan kontinyu,” terang perempuan kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur ini panjang lebar.
Ketika ditanyai apakah pelajaran “kreatifitas” seperti itu tidak akan membebani secara psikis pada anak didik, khususnya SD dan SMP? Psikolog yang menempuh pendidikan profesinya di UGM Yogyakarta ini menjawab, “justru anak malah suka”. Dengan metode diskusi kelompok misalnya, anak akan lebih berani bertanya dan mengungkapkan pendapat. “Jadi yang terpenting menurut saya ialah life skill untuk menjadi seorang entrepreneur,” tukas Mima lugas. Sambil berjalan anak juga bisa diajari teori dan praktik ringan tentang perencanaan bisnis dan investasi, seperti diusulkan Anita Lie.
Mas’ud Chasan, sebagai pengusaha yang memulai bisnisnya dari titik nol tampak setuju dengan pandangan itu. Menurutnya dalam pengajaran kewirausahaan terhadap anak, yang terpenting bukan menyuruh untuk bekerja secara penuh, tapi melatihnya untuk terus berkreasi dan kerja keras. Pria kelahiran 21 April 1957 itu menyontohkan, “Di sekolah anak disuruh bikin prakarya. Nah prakarya itu jangan lantas hanya disimpan almari guru. Tetapi guru harus mencari cara agar prakarya itu bisa dijual. Kalau seperti ini anak yang berbakat di bidang itu tertantang untuk membuat karyanya sebagus mungkin.”
Menyambung ide Mas’ud, Daniel Rasyid menyontohkan salah satu SMP swasta di Gresik yang sudah bisa menjual lukisan karya muridnya. Nah dengan demikian anak yang bakatnya berdagang juga bisa terwadahi potensinya di pameran itu sebagai marketing ataupun penjaga stand tanpa mesti melanggar aturan sekolah. Sebab seperti dipaparkan Anita Lie, ada sekolah yang tegas melarang siswanya berjualan karena dianggap mengganggu proses belajar mengajar.
Padahal dalam pengamatan Al Madinah, ada beberapa sekolah yang melarang anak didiknya berjualan tetapi lembaga formal itu justru “berjualan” kepada muridnya dengan mewajibkan wali siswa membeli seragam setiap tahun di sekolah, juga sepatu, buku lembar kerja siswa setiap semester, dan sebagainya, dengan harga yang lebih tinggi dari pasaran.
Anita Lie sendiri tidak setuju dengan aturan pelarangan berjualan bagi siswa di lingkup sekolah tetapi gurunya diperbolehkan. “Setiap hubungan transaksional harus ada aturan main dan etikanya,” ujar pakar pendidikan itu. Menurutnya, larangan murid tidak boleh berjualan ya dibatasi ketika jam pelajaran berlangsung. Dengan demikian potensi wirausaha peserta didik tetap terasah.
Selain sekolah, menurut Primatia dan Anita Lie, keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama harus melakukan pembiasaan-pembiasaan kreatif hingga menjadi sesuatu yang habit. Primatia mengajukan contoh simpel melalui pengelolaan uang jajan. Menurutnya semakin besar usia anak, pemberian uang jajan harus diberi ruang waktu. Jika saat TK setiap hari, maka menginjak SD setiap satu minggu, dan seterusnya. Dari situ orang tua harus memantau pengelolaan anak terhadap uang jajannya. Bagi Mima, kepercayaan seperti itu, akan menumbuhkan kepercayaan diri, kemandirian, skill pengelolaan, dan juga rasa tanggungjawab anak.. Selain itu anak juga bisa diajak ke lokasi kerja orang tuanya terutama jika orang tuanya pedagang atau pengusaha, untuk melihat proses kerja orang tuanya, sehingga membangkitkan sense kewirausahaannya.
Pendek kata, pendidikan kewirausahaan bagi anak usia dini adalah pendidikan yang mampu mendorong anak untuk menemukan potensinya, mengembangkannya, menciptakan atau memproduksi karya baru dalam bidang itu, dan lantas mampu menjualnya kepada khalayak luas. Untuk bisa menjalankan proses itu, tentu butuh ketelatenan dan kesabaran seluruh pendidik, baik guru maupun orang tua.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih