Belajar dari Kasus Ponari: Mendefinisikan Eksploitasi Ekonomi

Bisa jadi mencuat kekhawatiran di benak sebagian orang saat hendak mengajari anaknya untuk berwirausaha. Inti wirausaha adalah bisnis, dan bisnis ialah aktivitas perdagangan. Betul bahwa makna wirausaha lebih dari sekadar itu. Namun pola dasar melatih anak berwirusaha tentunya mengajak anak belajar dan berlatih jual beli, bukan hanya pada ranah teoretis namun praktis.

Owner dan Direktur Utama Pramita Utama Diagnostic Center dan pemilik Sekolah Alam Insan Mulia, Semampir Surabaya, Drs. Sulthon, M.M melihat pentingnya praktik bisnis (jual beli) sejak kecil, bukan sekadar demi menumbuhkan potensi kewirausahaan anak, lebih dari itu juga meneladani Nabi Muhammad Saw. “Rasul kan sejak kecil sudah diajari berdagang. Beliau sering diajak pamannya berkeliling menjajakan dagangan hingga ke negeri Syam,” kata pengusaha yang sedang merintis pondok pesantren mahasiswa di Surabaya itu.

Sependapat dengan Sulthon, bagi Daniel Rasyid, konsultan pendidikan Surabaya, dagang adalah permulaan yang baik untuk mengajari anak berwirausaha karena dengan itu anak menjadi pandai dan cermat memahami kebutuhan pasar. Anak juga tahu apa yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga mampu melihat peluang bisnis di situ.

Namun bisa jadi upaya di atas terkendala oleh Undang Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam UU ini, berulangkali ditegaskan agar siapa pun menghindarkan anak –mengadopsi konvensi hak anak (convention on the right of the child), UU ini menyebut anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun— dari beragam bentuk eksploitasi ekonomi. Upaya ini untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar bertumbuhkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam paragraf penjelasan, perlakuan eksploitasi ekonomi diterangkan sebagai tindakan memeralat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk menangguk keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan. Maka menyuruh dan mengajak anak untuk berjualan, baik dengan dalih mengajari bisnis, lebih-lebih membantu keuangan keluarga atau lembaga, sangat rentan dikenakan pasal pidana.

Anak kecil berjualan koran di perempatan Ngagel Jaya Selatan, Surabaya, pkl. 23.00 Wib

Contoh kongkrit dari eksploitasi ialah kasus Ponari, siswa kelas 3 SD Negeri Kedungsari, Desa Balongsari, Megaluh, Jombang. Anak berusia 10 tahun harusnya masih menikmati permainan petak umpet atau menonton film kartun. Namun ia harus mengobati sekian ratus pasien dalam sehari, dan ribuan lainnya masih mengantri di pelataran rumah. Konon, berkat praktik yang dilakukan Ponari, sanak familinya menangguk untung hingga ratusan juta rupiah. Itulah praktik eksploitasi ekonomi terhadap anak yang paling kasat mata.

Kembali pada soal larangan eksploitasi yang termaktub dalam UU No. 23 th. 2002, sebenarnya UU itu multitafsir. Apakah misalnya, pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) atau organisasi santri yang membuka usaha koperasi di lingkup sekolah atau pesantren, maka kepala sekolah, guru, ataupun pengasuhnya bisa dikenakan pelanggaran atas UU ini? Karena di situ sesungguhnya lebih besar motif belajarnya, selain secuil alasan menambah pundi-pundi kas organisasi di lembaga pendidikannya.

Lantas seperti apa tafsir atas ayat eksploitasi ekonomi dalam UU itu? Primatia Wulandari, psikolog anak Surabaya, berpandangan bahwa anak dieksploitasi ketika ia benar-benar bekerja untuk mencari sumber penghasilan dan hak-hak dasarnya dikebiri. Hak pendidikan, bermain atau bersosialisasi dengan rekannya, serta pelayanan kesehatan tidak terpenuhi. Maka dalam konteks seperti itu, “Anak menjadi obyek eksploitasi ekonomi lantaran dia dipekerjakan untuk mencari penghasilan. Sedangkan dalam entrepreneurship, anak menjadi subyek karena mereka mengelola, menentukan, memutuskan aktifitasnya, dan anak merasa senang juga.

Pendapat sama terlontar dari Prof. Anita Lie. Baginya, asal masih dalam ambang batas kewajaran dan hak dasar anak tetap terpenuhi, tidak dikategorikan eksploitasi. “Kalau anak diperlakukan seperti Ponari kan melebihi batas. Itu eksploitasi yang dilakukan keluarganya, dan media juga berperan,” tukas perempuan empat puluh empat tahun yang dikukuhkan guru besarnya pada 16/02/2008 itu. Statemen itu didukung Daniel Rasyid. Menurutnya, asal anak bekerja didampingi orang tua atau guru, diarahkan, dan dalam pengawasan, menurut saya bagus.
Suasana keriuhan aktivitas Business Day di SD Al hikmah pada 18/02/09

Sebagai konsultan pendidikan, Daniel, tidak setuju atas larangan anak-anak bekerja Syaratnya, pekerjaan yang proposional. Melibatkan anak dalam pekerjaan orang tuanya seperti berdagang, bermusik, melaut, berternak, berkebun, atau apa pun malah bisa menumbuhkan jiwa profesional anak. “Masalahnya, anak-anak kemudian tidak dibekali teori yang efektif atas pekerjaan yang digelutinya itu. Parahnya, guru kerap tidak menghargai pengalaman anak,” tutur mantan tenaga ahli pada Kementerian Riset dan Teknologi RI pada 2004-2006 itu.

Jika demikian tafsirnya, maka lembaga pendidikan, baik formal maupun informal, dan keluarga, bisa lebih enjoy untuk menjalankan program entrepreneurship for kids (kewirausahaan untuk anak) tanpa harus khawatir dijerat pasal pidana. Dalam hemat Primatia, semua jenis aktifitas itu tergantung tujuan dan niat penyelenggara. “Di situ kita tidak terfokus pada profit, tetapi bagaimana menciptakan ide-ide kreatif dan inovatif. Jika dikaitkan dengan konvensi hak anak, maka memberikan life skill pada anak, justru membuatnya menjadi sosok yang merdeka dan bisa diperhitungkan. Nah, untuk menjaga agar program tidak melenceng dari tujuan, manajemen keuangan juga harus diatur. Berapa persen yang untuk infaq, berapa yang untuk pribadi, dan berapa untuk lembaga. Maka perlu pula pembelajaran manajemen keuangan,” jelasnya.

Daniel memberikan semnagat kepada seluruh lembaga pendidikan agar menunjukkan bahwa aktifitas entrepreneurship for kids adalah bagian dari proses belajar anak. Karena itu harus diikuti kontrol mutu, instrumen-instrumen yang memadai, dan sistem yang komprehensif. “Jadi saya kira sekolah nggak perlu takut, you have nothing to worry about. Go ahead (teruskan:red),” pungkasnya.
(Syafiq)


Comments :

0 komentar to “Belajar dari Kasus Ponari: Mendefinisikan Eksploitasi Ekonomi”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com