Yatim, Ilmuwan,
Politisi, dan Zahid
Menjelang fajar menyingsing di kala panggilan sembahyang subuh menggema bersahutan di rumah-rumah Allah, Ny. Siti Salehah melahirkan bayi mungil berkelamin laki-laki di Aur Tajungkang, Bukittinggi (populer sebagai kota jam gadang), Sumatera Barat, pada Selasa, 12 Agustus 1902. Jerih payah Salehah mengandung buah cintanya dengan H.M. Djamil, usai sudah. Bayi lelaki mungil itu diberi nama Aththar (harum). Nama yang dinisbatkan kepada penyair sufi kondang dari Iran yakni Fariduddin al Aththar. Tetapi pola pengucapan Minangkabau mengubah suara penyebutan menjadi Atta, hingga akhirnya nama Hatta lebih dikenal. Sayang, sebelum Djamil berlama-lama menikmati masa bahagia menimang anak kedua dari istri keempatnya itu, ia harus menghadap Ilahi, tatkala usia Aththar menginjak delapan bulan.
Sangat besar kemungkinan, seluruh kerabat tidak menyangka bahwa bayi mungil yatim itu kelak menjadi figur intelektual pengembara yang haus pengetahuan, ilmuwan pejuang yang memerjuangkan kemerdekaan negerinya, memproklamasikan kemerdekaan dan memimpin negeri ini dengan cita dan prinsip luhur, hingga tanpa desakan siapa pun mengundurkan diri dari gelanggang politik Republik demi memertahankan prinsip-prinsip itu. Kecintaan Hatta terhadap politik bukan untuk apa-apa, melainkan karena kecintaannya pada bangsa dan meneguhkan kemerdekaan hamba demi menuhankan Allah semata. Tak heran, sepanjang hayat ia enggan ditulis biografinya sebab berasumsi bahwa petualangan belum purna hingga ajal menjemput. Jauh berbeda dengan politisi mutakhir yang berebut mencari penulis biografi untuk kampanye politiknya.
Silsilah genealogis Hatta adalah kombinasi dari keluarga pengusaha dari pihak Ibu dan ulama pesantren ditilik dari pihak ayah. Ilyas Bagindo Marah, Kakek Hatta dari pihak Ibu, adalah pengusaha jasa pengiriman dan beberapa unit usaha lain. Dari pihak ayah, Hatta adalah titisan salah seorang Ulama agung di Sumbar. Ayah Hatta adalah putra Datuk Syeikh Abdurrahman, ulama mumpuni yang diakui kealimannya oleh rakyat Sumatera. Sayang, Hatta tidak sempat menjumpainya karena Abdurrahman meninggal tiga tahun sebelum Hatta lahir. Datuk Abdurrahman pun seorang pengembara intelektual.
Sejak usia 11 tahun Hatta telah hijrah dari rumah demi menuntut ilmu. Petualangan pendidikan formalnya bermula di Padang dan memuncak di Belanda. Kebebasan dan kenikmatan yang ia dapatkan di Belanda tidak lantas membuai Hatta untuk meninggalkan “kampung halaman” Indonesia. Ia memang tidak berkarir di kampung kelahirannya, Sumatera, sebab ia berprinsip “Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku”. Hatta bukan sosok pragmatis, berbekal ijazah sarjana ekonomi ia bisa memilih bekerja di Departemen Ekonomi Pemerintah Kolonial dengan gaji besar. Tapi tuntutan idealisme menuntunnya berkarir menyambung pergerakan kemerdekaaan.
Hatta adalah pejuang sejati. Sejak mahasiswa ia sudah menikmati suasana jeruji penjara. Di Indonesia, penjara Glodok Jakarta, serta tanah Digul dan Banda Neira, dua tempat pengasingan terpencil di bumi Papua dan Maluku, pernah ia huni. Tetapi ia intelektual sejati. Buku “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme” digarap Hatta saat singgah di penjara Glodok. Buku “Alam pikiran Yunani” ia tulis di tanah Digul. Ia memerikan perasaannya saat singgah di hotel prodeo dalam suratnya kepada seorang sahabat: “Perasaan saya biasa, tidak berubah. Di mana saja saya bisa hidup, asalkan ada buku-buku. Penjara adalah satu barang yang tidak disukai. Bagaimana buruknya, ada juga manfaat. Ia memperkuat iman, meneguhkan watak. Di sini ada cahaya dalam kegelapan. Sebab itu tidak ada salahnya penjara bagi orang politik sering disebut “pertapaan”. Dalam keterkucilan, Hatta memperoleh momentum peneguhan transendensi untuk melepaskan diri dari suasana yang mengungkunginya, untuk kembali ke dalam alam pikiran dan hati nurani. Bukan bermaksud eskapis namun “untuk penerang pikiran dan penetapan hati”, dalam istilah Hatta.
Hatta adalah tipologi intelektual-politisi (atau politisi intelektual? Entahlah). Karenanya ketika tiba di Indonesia, bukan gerakan politik praktis yang pertama ia jalani melainkan penerbitan majalah Daulat Ra’jat. Media ini merupakan cikal bakal Pendidikan Nasional Indonesia (PNI), organisasi politik yang tidak menggunakan kata “Partai” untuk mengelabui pemerintah Hindia Belanda. Hatta tidak suka mobilisasi massa dan lebih menekankan pendidikan dan pelatihan kader serta penerbitan majalah “Kedaulatan Rakjat”. Salah satu dorongan Hatta kepada anggota adalah pembiasaan menulis, supaya cita pendidikan politik rakyat melalui media massa terjaga kesinambungannya.
Selain inteletualitas dan perjuangannya, satu hal yang sulit dipungkiri adalah kesalihan (juga ke-zuhud-an) personal Hatta. Salah satu pengorbanan Hatta yang menunjukkan keseriusan dan ketulusan perjuangannya adalah nadzar-nya untuk menunda pernikahan hingga Indonesia merdeka. Sebagai anak muda, Hatta boleh jadi tidak pernah mengalami sebagian gaya hidup mahasiswa: seputar buku, organisasi, cinta, dan pesta. Ketika mengikuti kuliah non formal di salah satu universitas di Perancis, mahasiswi Polandia berparas cantik terkesima oleh kecerdasan Hatta hingga ingin mengenalnya lebih dekat. Usaha ini didukung teman-teman Hatta. Mereka berdua diluangkan kesempatan bercengkerama intensif. Namun setelah berlalu beberapa hari, sang gadis menggerutu kepada kawan-kawan Hatta, “tidak berhasil, gagal total!”
Wakil Presiden pertama itu baru menikahi Rahmi Rahim, mojang Bandung berusia 19 tahun, tepat setahun setelah Indonesia merdeka, saat usianya menginjak 43 tahun. Sebagai Wapres, ia menghelat pernikahannya secara sederhana dengan mas kawin buku Alam Pikiran Yunani, hasil olah penanya yang tidak cukup bernilai ekonomis, namun berbobot kasih sayang tulus karena buku adalah salah satu karya kebanggaan Hatta dan benda yang ia cintai. Ikatan cinta itu bertahan hingga akhir hayat Hatta-Rahmi yang kian mengukuhkan sifat setia Hatta. Kendati Hatta adalah pria yang sukar memverbalkan rasa cinta terhadap istri dan anaknya, yang enggan memamerkan rasa sayangnya (memeluk, mencium, dan menyanjung berlebihan) di muka umum, namun Hatta ialah suami/bapak yang selalu siap berkorban untuk mereka hingga mengizinkan benda-benda kesayangannya (buku) dijual untuk menutupi kekurangan ekonomi keluarganya bila ia meninggal.
Kegembiraan dan keterharuan tak terhingga dirasakan Hatta pada 27 Desember 1949 kala Ratu Juliana menyerahkan penuh kedaulatan Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat. Impian kanak-kanak Hatta tentang Indonesia yang bebas dari cengkeraman kolonialisme telah tergapai, minimal secara politik. Dan ia memimpin perundingan terakhir meraih kemerdekaaan itu. Bagi Hatta inilah puncak karir politiknya sekaligus klimaks sumbangan terhadap revolusi nasional. Ia menunjukkan kepada dunia sebagai negarawan besar yang mampu menyelesaikan problematika politik eksternal akut dengan kesabaran dan niat baik.
Hatta memungkasi Memoir (buku otobiografi yang terbit setelah ia wafat) tepat pascamomentum ini. Seolah tahun-tahun berikutnya mengabur, tak cukup berarti, atau mungkin menjengahkan dan getir bila dikisahkan. Konfliknya dengan Soekarno, kekurangan ekonomi yang menerpa keluarga di usia senjanya, kritik petuah kepada pemerintahan rezim demokrasi terpimpin maupun orde baru, tidak cukup layak masuk dalam “otobiografi” seorang berhati baja yang pantang menyerah. “kami terlalu jantan untuk lari,” ucap Hatta saat berpongah di depan pengadilan Belanda
Kebajaan hati Hatta akhirnya luluh dalam logika moralitasnya yang sangat kokoh bercokol dalam diri. Pendidikan moral yang bersemayam di lubuk kalbu dan pikirannya sejak masih bocah terlampau kuat untuk dilawan. Arus darah ulama tasawuf yang mengalir dalam tubuh Hatta kian menaklukkannya dalam eskatisme (kezuhudan). Pola hidup liberal ala Belanda barangkali tidak mengindahkan persoalan moralitas pribadi, tetapi tidak dengan Minangkabau yang sangat syar’i. Pusaran politik yang kian kacau tak mampu terdamaikan justru ketika Hatta berada di pucuk karir birokrasi. Akankah bertahan di pinggir jurang amoralitas kekuasaan atau menjauh menyelamatkan diri dengan asa selamatnya negara? Ia memilih yang kedua dengan mengundurkan diri dari jabatan Wapres pada 1 Desember 1956.
Terlalu cepat Hatta meninggalkan gelanggang politik. Tapi ia menikmati pilihan itu hingga akhirnya Indonesia menangis pada 18.56 WIB, 14 Maret 1980, saat Tuhan menentukan waktu bagi Hatta mengakhiri hidup di alam fana dan menuju alam baka untuk memertanggungjawabkan amal tindakannya kepada Zat yang tak pernah lupa ia agungkan dalam sembahyang dan ritus peribadatanlain. Ketertiban seolah sebagai sesuatu yang senantiasa bertengger pada diri Hatta. Ia mengawali tiupan nafasnya menjelang fajar menyingsing dan memungkasinya tepat pascafajar tenggelam.
Sosok anak yatim yang rasional dan kalkulatif dalam langkah-lagkah politik; anak yatim yang memelajari disiplin waktu dari bisnis pos kakeknya dan mempraktikannya di sepanjang aktifitas hidupnya hingga saat pesawat yang membawanya terlalu cepat tiba di Semarang ia meminta kepada pilot untuk berputar-putar dulu di udara; anak yatim tempaan Belanda yang selalu bersikap formal hingga saat di pengasingan Bangka selalu mengingatkan rekannya untuk berbaju rapi di luar kamar karena mereka adalah pejabat pemerintah RI; telah meninggalkan bangsa.
Sejarah telah berlalu. Mungkinkah lahir pemimpin-pemimpin negara yang menjunjung tinggi moralitas dan berbekal intelektualitas mumpuni seperti cita-cita Hatta? Target Hatta memberi pelajaran etika politik terhadap penguasa pemerintahan orde lama memang tak terwujud. Sebagai politisi dan Wapres, ia juga tidak sepenuhnya berhasil. Tapi pelajaran bahwa tak ada yang perlu dipertahankan mati-matian dari sekadar kekuasaan politik, dan anak yatim pun bisa memimpin negeri, itu yang wajib diteladani.
Referensi:
Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1982
______________, Kumpulan Karangan, Vol 1 dan 2, Jakarta: Tintamas, 1981
Mavis Rose, Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta, Hermawan Sulistyo (Terj.), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991
Deliar Noer, Mohammad Hatta, Biografi Politik, Jakarta: LP3ES,1990
Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perdjoangan Bangsa, Jakarta: Panitia Peringatan Ulang Tahun Bung Hatta ke 70, Cet. 1, 1972
Kompas, Jumat, 9 Agustus 2002, Suplemen Edisi Khusus 100 Tahun Bung Hatta,
I. Wangsawidjaja dan Meutia F. Swasono (Ed.), Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato, Jakarta: Idayu, 1981
Semoga lahir Hatta-Hatta baru di negeri ini....