Itulah potret diri Hj. Turmiyatun, 65 tahun, ibunda Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si, Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya. Ia melahirkan Nur Syam, putra semata wayangnya di desa Sembungrejo, Merakurak, Tuban, Jawa Timur, saat berumur 15 tahun. Turmiyatun menikah di usia yang sangat muda dan ia pun tidak sempat menikmati bangku pendidikan formal. Tak heran jika Turmiyatun tidak bisa membaca aksara selain Arab dan tidak mampu berbahasa Indonesia.
Prof. Dr. H. Nur Syam
Al Madinah menemui Turmiyatun di kediaman Nur Syam, di komplek perumahan dosen IAIN Sunan Ampel pada 19/02/2009. Sehari-hari Turmiyatun tinggal di Tuban bersama keponakannya, namun kebetulan saat itu ia sedang di Surabaya setelah beberapa hari sebelumnya mengikuti prosesi pelantikan putranya sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel periode 2009-2014.
Kendati berpendidikan seadanya, Turmiyatun bertekad besar untuk menyekolahkan putra semata wayangnya, Nur Syam, ke jenjang perguruan tinggi. Berkat kerja keras, dukungan, dan kebebasan yang diberikannya, Nur Syam ia antarkan menjadi Guru Besar Sosiologi Agama IAIN Sunan Ampel dan kini menduduki pucuk pimpinan birokrasi di kampus tersebut.
Turmiyatun menyekolahkan Nur Syam dalam posisi sebagai single parent lantaran suaminya, Sabar, meninggal dunia ketika Nur Syam berusia 13 tahun saat menginjak kelas dua SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama). Sejak itu, ibu dan kedua kakek Nur Syam dari pihak ayah dan ibu, bahu-membahu menopang biaya pendidikan peraih gelar Doktor Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, hingga kemudian Turmiyatun menikah lagi saat Nur Syam duduk di bangku kelas 5 Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN).
Nur Syam sendiri mengawali perjuangan pendidikan formalnya saat bersekolah di SMEP Tuban. Lantaran rumahnya yang jauh dari pusat kota, mengharuskan Nur Syam menempuh jarak pulang-pergi sekitar tiga puluh kilometer setiap harinya mengendarai sepeda ontel. Di saat itulah sebagian tetangga dan famili mencibir, “Sekolah tinggi-tinggi dan jauh- jauh buat apa?”
Komentar itu dimaklumi Nur Syam mengingat pada tahun 70-an, di kecamatan Meraurak, hanya dua puluh-an anak yang melanjutkan ke jenjang SLTP. Kendati demikian, Turmiyatun terus mendorong Nur Syam terus belajar. “Dalam situasi seperti itu, Emak, (demikian Nur Syam menyapa ibunya: red) memberi saya kebebasan untuk terus sekolah,” tutur Nur Syam yang mendampingi emak-nya ketika berbincang bersama Al Madinah.
Hal sama juga dilakukan Turmiyatun ketika Nur Syam lulus PGAN dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi, sementara sanak famili dan tetangganya berucap, “Anak satu-satunya kok sekolah jauh-jauh. Emang mau jadi apa?”. Menanggapi itu, jawaban Turmiyatun sederhana, “Wong arek pengin sekolah yo ben sekolah. Mbesuk nek duwe pinteran, duwe cita-cita opo biso kelakon (Anak ingin sekolah ya biar sekolah. Besok kalau pintar, cita-citanya kan bisa terwujud).”
Dorongan kedua orang tua, diakui Nur Syam, sangat mengilhaminya untuk terus sekolah. Ketika mendampingi ayahnya menjelang menghembuskan nafas terakhir, ada satu perkataan sang bapak yang masih terngiang di telinga Nur Syam hingga kini, “Aku pengin dadekno awakmu wong pinter, sekolah sing duwur, tapi aku wis ra kuat. Kepinginanku, awakmu iso sekolah ben dadi wong pinter. (Saya ingin menjadikanmu orang pintar, sekolah yang tinggi, tetapi saya sudah tidak kuat. Keinginanku, kamu bisa sekolah biar pintar),” kenang Majelis Pembina Daerah PMII Jatim ini. Dorongan yang luar biasa dari orang tua diakui Nur Syam terus menyemangatinya hingga kini.
Sebagai petani, motivasi Turmiyatun menyekolahkan Nur Syam amat simpel, “Inggih kengken sekolah, kersane saget sae, kersane saget terwujud cita-citane, ngoten mawon (Ya disuruh sekolah, biar bisa baik, biar cita-citanya terwujud, begitu saja,” cetus nenek tiga cucu yang mengaku saat menjelang hamil Nur Syam bermimpi diberi keris oleh seseorang. Maka pesan yang selalu disampaikan Turmiyatun kepada Nur Syam juga sangat normatif yaitu selalu hati-hati, tidak usah neko-neko dalam kehidupan dan melakukan hal-hal yang merugikan diri dan keluraga, serta menerima apa adanya.
Nur Syam remaja dalam pandangan Turmiyatun adalah anak yang hemat. “Ketika dikasih uang saku 25 rupiah, maka yang dipakai hanya 15 rupiah, dan 10 rupiah sisanya dikembalikan ke saya,” tutur perempuan yang rajin membacakan shalawat untuk putranya itu. Sehingga setiap hari sang ibu tinggal menambahi bekal 15 r u p i a h . Bagi Nur S y a m, sikap hemat itu ditumbuhkan oleh ibu, mengingat petani berpenghasilan pas-pasan. Namun berbekal sepetak lahan persawahan yang digarapnya itu, Turmiyatun mampu membiayai Nur Syam menempuh kuliah di Fakultas Dakwah IAIN SunanAmpel Surabaya.
Selain Emak yang mengantarkan dirinya meraih pencapaian akademis tertinggi, Nur Syam menyebutkan salah satu sosok yang berjasa mengarahkan pendidikannya hingga menjadi dosen dan guru besar, yaitu kakeknya. Penulis buku Islam Pesisir itu bercerita, “Ketika lulus SMEP, saya sempat masuk SMEA (sekarang SMK jurusan ekonomi: red). Namun belum genap sebulan di SMEA, saya bertemu kakek dan ditegur, ‘Kowe ki piye to, ora sekolah agama blas (kamu ini bagimana, kok nggak sekolah agama sama sekali).’ Dari perbincangan dengan kakek, kemudian saya masuk PGAN 6 tahun dan langsung masuk kelas 4. Seandainya saat itu tidak ada perbincangan, mungkin saya tetap akan di SMEA dan setelah itu saya tidak tahu mau apa. Tetapi karena dorongan belajar agama, kemudian saya masuk IAIN.”
Meski terpisah jarak Surabaya-Tuban, hingga kini komunikasi ibu dan anak ini tetap lancar. Nur Syam selalu berusaha minimal dua minggu sekali ia pulang ke Tuban. Salah satu sikap ibunya yang paling diapresiasi Nur Syam ialah “emak tidak pernah memarahi saya”.
Tidak mudah memarahi anak, memberikan kebebasan untuk memilih, dan mendorong pilihannya, adalah sikap yang harus diteladani.
(Syafiq & Suud))
Al Madinah menemui Turmiyatun di kediaman Nur Syam, di komplek perumahan dosen IAIN Sunan Ampel pada 19/02/2009. Sehari-hari Turmiyatun tinggal di Tuban bersama keponakannya, namun kebetulan saat itu ia sedang di Surabaya setelah beberapa hari sebelumnya mengikuti prosesi pelantikan putranya sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel periode 2009-2014.
Kendati berpendidikan seadanya, Turmiyatun bertekad besar untuk menyekolahkan putra semata wayangnya, Nur Syam, ke jenjang perguruan tinggi. Berkat kerja keras, dukungan, dan kebebasan yang diberikannya, Nur Syam ia antarkan menjadi Guru Besar Sosiologi Agama IAIN Sunan Ampel dan kini menduduki pucuk pimpinan birokrasi di kampus tersebut.
Turmiyatun menyekolahkan Nur Syam dalam posisi sebagai single parent lantaran suaminya, Sabar, meninggal dunia ketika Nur Syam berusia 13 tahun saat menginjak kelas dua SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama). Sejak itu, ibu dan kedua kakek Nur Syam dari pihak ayah dan ibu, bahu-membahu menopang biaya pendidikan peraih gelar Doktor Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, hingga kemudian Turmiyatun menikah lagi saat Nur Syam duduk di bangku kelas 5 Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN).
Nur Syam sendiri mengawali perjuangan pendidikan formalnya saat bersekolah di SMEP Tuban. Lantaran rumahnya yang jauh dari pusat kota, mengharuskan Nur Syam menempuh jarak pulang-pergi sekitar tiga puluh kilometer setiap harinya mengendarai sepeda ontel. Di saat itulah sebagian tetangga dan famili mencibir, “Sekolah tinggi-tinggi dan jauh- jauh buat apa?”
Komentar itu dimaklumi Nur Syam mengingat pada tahun 70-an, di kecamatan Meraurak, hanya dua puluh-an anak yang melanjutkan ke jenjang SLTP. Kendati demikian, Turmiyatun terus mendorong Nur Syam terus belajar. “Dalam situasi seperti itu, Emak, (demikian Nur Syam menyapa ibunya: red) memberi saya kebebasan untuk terus sekolah,” tutur Nur Syam yang mendampingi emak-nya ketika berbincang bersama Al Madinah.
Hal sama juga dilakukan Turmiyatun ketika Nur Syam lulus PGAN dan hendak melanjutkan ke perguruan tinggi, sementara sanak famili dan tetangganya berucap, “Anak satu-satunya kok sekolah jauh-jauh. Emang mau jadi apa?”. Menanggapi itu, jawaban Turmiyatun sederhana, “Wong arek pengin sekolah yo ben sekolah. Mbesuk nek duwe pinteran, duwe cita-cita opo biso kelakon (Anak ingin sekolah ya biar sekolah. Besok kalau pintar, cita-citanya kan bisa terwujud).”
Dorongan kedua orang tua, diakui Nur Syam, sangat mengilhaminya untuk terus sekolah. Ketika mendampingi ayahnya menjelang menghembuskan nafas terakhir, ada satu perkataan sang bapak yang masih terngiang di telinga Nur Syam hingga kini, “Aku pengin dadekno awakmu wong pinter, sekolah sing duwur, tapi aku wis ra kuat. Kepinginanku, awakmu iso sekolah ben dadi wong pinter. (Saya ingin menjadikanmu orang pintar, sekolah yang tinggi, tetapi saya sudah tidak kuat. Keinginanku, kamu bisa sekolah biar pintar),” kenang Majelis Pembina Daerah PMII Jatim ini. Dorongan yang luar biasa dari orang tua diakui Nur Syam terus menyemangatinya hingga kini.
Sebagai petani, motivasi Turmiyatun menyekolahkan Nur Syam amat simpel, “Inggih kengken sekolah, kersane saget sae, kersane saget terwujud cita-citane, ngoten mawon (Ya disuruh sekolah, biar bisa baik, biar cita-citanya terwujud, begitu saja,” cetus nenek tiga cucu yang mengaku saat menjelang hamil Nur Syam bermimpi diberi keris oleh seseorang. Maka pesan yang selalu disampaikan Turmiyatun kepada Nur Syam juga sangat normatif yaitu selalu hati-hati, tidak usah neko-neko dalam kehidupan dan melakukan hal-hal yang merugikan diri dan keluraga, serta menerima apa adanya.
Nur Syam remaja dalam pandangan Turmiyatun adalah anak yang hemat. “Ketika dikasih uang saku 25 rupiah, maka yang dipakai hanya 15 rupiah, dan 10 rupiah sisanya dikembalikan ke saya,” tutur perempuan yang rajin membacakan shalawat untuk putranya itu. Sehingga setiap hari sang ibu tinggal menambahi bekal 15 r u p i a h . Bagi Nur S y a m, sikap hemat itu ditumbuhkan oleh ibu, mengingat petani berpenghasilan pas-pasan. Namun berbekal sepetak lahan persawahan yang digarapnya itu, Turmiyatun mampu membiayai Nur Syam menempuh kuliah di Fakultas Dakwah IAIN SunanAmpel Surabaya.
Selain Emak yang mengantarkan dirinya meraih pencapaian akademis tertinggi, Nur Syam menyebutkan salah satu sosok yang berjasa mengarahkan pendidikannya hingga menjadi dosen dan guru besar, yaitu kakeknya. Penulis buku Islam Pesisir itu bercerita, “Ketika lulus SMEP, saya sempat masuk SMEA (sekarang SMK jurusan ekonomi: red). Namun belum genap sebulan di SMEA, saya bertemu kakek dan ditegur, ‘Kowe ki piye to, ora sekolah agama blas (kamu ini bagimana, kok nggak sekolah agama sama sekali).’ Dari perbincangan dengan kakek, kemudian saya masuk PGAN 6 tahun dan langsung masuk kelas 4. Seandainya saat itu tidak ada perbincangan, mungkin saya tetap akan di SMEA dan setelah itu saya tidak tahu mau apa. Tetapi karena dorongan belajar agama, kemudian saya masuk IAIN.”
Meski terpisah jarak Surabaya-Tuban, hingga kini komunikasi ibu dan anak ini tetap lancar. Nur Syam selalu berusaha minimal dua minggu sekali ia pulang ke Tuban. Salah satu sikap ibunya yang paling diapresiasi Nur Syam ialah “emak tidak pernah memarahi saya”.
Tidak mudah memarahi anak, memberikan kebebasan untuk memilih, dan mendorong pilihannya, adalah sikap yang harus diteladani.
(Syafiq & Suud))
Tentang Nur Syam
TTL : Tuban, 7 Agustus 1958
Riwayat Pendidikan:
Tahun 1971: Lulus SDN Sembungrejo, Merakurak, Tuban
Tahun 1974: Lulus SMEP Negeri Tuban
Tahun 1975: Lulus PGAN 4 Tahun Tuban
Tahun 1977: Lulus PGAN 6 Tahun Tuban
Tahun 1985: Lulus S-1 Ilmu Dakwah, IAIN Sunan Ampel
Tahun 1997: Lulus Magister Ilmu Sosial Unair
Tahun 2003: Lulus Doktor Ilmu Sosial Unair
Riwayat Jabatan Struktural
Tahun 1989: Plh Ketua Jurusan Penerangan dan Penyiaran Agama Islam Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Tahun 1991: Ketua Lab Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Tahun 1996: Ketua Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel
Tahun 2001: Sekretaris Kopertais Wilayah IV (Jawa Timur, Bali, NTB, NTT)
Tahun 2005: Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum IAIN Sunan Ampel
Tahun 2009: Rektor IAIN Sunan Ampel
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih