Menjadi Orang Tua Pendidik


Oleh: Muslihati Ibu dua putera,
Pengajar FIP Univ. Negeri Malang

dan STAI Zaha Probolinggo
.


Menjadi orang tua adalah anugerah, dan setiap jiwa anak adalah amanat Allah Swt. Pola pikir demikian akan membuat orang tua bersikap bijak pada diri sendiri dan anak. Sebuah anggapan keliru manakala orang tua menganggap anak adalah jiwa yang dimilikinya sehingga orang tua merasa paling berhak mengatur anak hingga menghilangkan haknya sebagai manusia yang merdeka dan berkembang secara natural. Dengan dalih kasih sayang, seringkali anak harus mengikuti kehendak orang tua walaupun tidak selamanya baik bagi anak. Contoh nyata ialah begitu besarnya campur tangan orang tua dalam perencanaan, pilihan studi lanjut, serta karier anak. Tak jarang anak terpaksa memilih bidang studi yang tidak diminati apalagi dikuasainya.

Sedini mungkin mengasah hati, menumbuhkan keimanan, dan cinta Allah adalah tugas utama orang tua. Membelajarkan anak untuk mengenal Allah dapat dilakukan dalam setiap kegiatan, mulai dari bangun tidur hingga kembali peraduan. Membacakan doa disertai arti, mengulas penciptaan makanan hingga terhidang, mengamati anggota tubuh yang tercipta sempurna, memaknai shalat sebagai wahana komunikasi dengan Sang Pencipta alam, hingga mengenalkan kata takdir sebagai penafsiran bahwa setiap kejadian adalah kehendak terbaik Allah lewat kemampuan manusia merancang dan melaksanakannya. Anak perlu dibiasakan mengenal sang Khalik lewat ucapan syukur yang bermakna dan ibadah, dan dikenalkan pula pada hukum sebab akibat.

Tak jarang orang tua harus telaten dan tangkas menjawab pertanyaan kritis seputar Tauhid, seperti apa bentuk Allah? di mana? hingga bagaimana Allah mengatur alam? Menjawab pertanyaan dengan baik dan logis memang sangat perlu, namun yang paling penting adalah membentuk kebiasaan beribadah dan menata niat tulus. Kohlberg menyebutkan bahwa tahapan perkembangan moral dan keagamaan individu melalui tiga tingkatan yaitu, level prakonvensional yaitu anak menyambut nilai baik buruk hanya karena hal tersebut menyenangkan atau menyakitkan baginya. Kepatuhan akan aturan bergantung pada hadiah dan hukuman. Selanjutnya level konvensional yaitu individu memandang apa yang diharapkan keluarga, kelompok, atau bangsa. Kesetiaan dan dukungan terhadap aturan sosial lebih dari sekadar konformitas, melainkan keputusan berharga agar dapat diterima secara baik oleh kelompok. Pada level tertinggi ialah otonomi atau level prinsip. Dalam tahap ini seseorang mampu menemukan prinsip-prinsip moralitas tanpa tergantung pada kelompok atau orang lain. Prinsip-prinsip ini dapat dijadikan peta orang tua dalam menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual pada anak.

Belajar mendisiplinkan dengan aturan dan konsekuensi merupakan strategi memandirikan anak. Pola asuh saat anak masih balita akan berbuah karakter dan perilaku si anak ketika beranjak dewasa. Menuruti segala keinginan anak tanpa syarat dengan alasan kasih sayang justru akan membuat anak terpuruk dalam kemanjaan. Hal ini berimplikasi pada pentingnya mengedepankan kearifan orang tua memadukan rasa dan rasio dalam berkomunikasi dengan anak. Jangan pernah meremehkan kemampuan belajar anak. Seorang bayi akan mampu mengelola orang tuanya melalui tangisan, begitu seterusnya, mulai dari meminta susu, makanan, hingga ketika balita seolah mempermalukan si ibu dengan menangis histeris di keramaian pasar untuk sekadar memaksa meminta mainan, hingga ibu seolah kehilangan akal. Untuk kasus sedemikian, orang tua perlu bertransaksi dengan anak sebelum berangkat ke tempat tujuan dengan memberi kepercayaan pada sang anak bahwa dia akan konsisten dengan janjinya. Misalnya, “Jatah adik hari ini 20 ribu, adik boleh pilih benda yang kau suka seharga 20 ribu atau kurang. Bila sanggup, adik boleh ikut.” Selanjutnya, sang ibu harus konsekuen dengan aturannya.

Bayi kecil akan berkembang menjadi anak-anak yang mulai memiliki kemampuan merasionalisasikan segala sesuatu, menambah relasi baru lewat interaksi sosialnya, demikian pula ketika anak beranjak remaja dan menjadi dewasa. Dalam proses tersebut, orang tua perlu mengenali tindakan dan perlakuan apa yang akan menghambat dan mendukung perkembangan anak.

Eric Berne (1910-1970) seorang pencetus aliran psikologi analisis transaksional mengingatkan kita akan 10 kata jangan yang bisa menimbulkan kesalahan fatal dalam pengasuhan anak. Kata-kata tersebut mungkin pernah diucapkan orang tua, guru, atau orang dewasa lainnya di hadapan anak –baik sadar maupun tanpa sadar. 10 kata itu adalah “Jangan ada (menolak kehadiran anak)”, “Jangan dekat-dekat”, “Jangan jadi orang penting”, “Jangan seperti anak kecil”, “Jangan tumbuh dewasa”, “Jangan sukses”, “Jangan jadi dirimu”, “Jangan jadi anak baik”, “Jangan masuk dalam satu kelompok”.

Setiap kata jangan mendatangkan respon keputusan pada diri anak, keputusan yang terus menerus diperkuat akan membentuk konsep diri anak tersebut. (Corey, 1991). Berkata jangan bukannya tidak boleh. Kata jangan yang dimaksud Berne adalah kata larangan tanpa adanya pemberian alternatif kegiatan bagi anak. Ketika anak bermain pisau yang dianggap membahayakan pasti akan membuat orang tua ketar-ketir. Meminta anak untuk meletakkan pisau harus disertai upaya mengalihkan perhatian anak pada objek lain yang lebih menarik, misalnya memberi anak mainan bongkar pasang disertai cerita mengenai sebuah kejadian unik.

Kehadiran anak tidak selamanya disambut kegembiraan dan sikap positif orang tuanya. Terkadang muncul sikap negatif karena hadirnya setumpuk ketakutan yang membayangi. Pada diri perempuan muncul ketakutan kehilangan karier, melahirkan dan punya anak cacat, berubah bentuk tubuh, terikat ketika merawat bayi. Sementara pada laki-laki mungkin takut menerima kenyataan yang bertolak belakang dengan keinginan dan citra dirinya. Mengharapkan bayi pertama laki-laki karena mencitrakan kejantanan ternyata bayinya perempuan, dan takut terbebani keuangan untuk anak. Kepicikan orang tua ini menimbulkan sikap menolak kehadiran anak. Mereka lupa bahwa jenis kelamin anak dan bentuk fisiknya tidak selamanya dapat direncanakan, ada campur tangan Allah dalam proses penciptaannya. Setiap anak juga tidak dapat memilih orang tua yang melahirkannya. Adalah sebuah kebijaksanaan ketika orang tua belajar menerima anak dengan segala kekurangan dan kelebihannya, untuk kemudian mengasuhnya dengan kasih sayang. Seorang anak yang ditolak akan berjiwa pemberontak sementara anak yang diasuh dengan sikap positif akan memiliki emosi dan pribadi yang stabil, mantap dan terkendali.

Erikson memandang bahwa perkembangan emosi manusia melalui beberapa tahap mengikuti prinsip kausalitas. Seorang bayi akan mampu mengembangkan rasa percaya bila diasuh dengan ketulusan, sebaliknya rasa tidak percaya akan tumbuh karena keterpaksaan dan sikap penolakan. Selanjutnya, emosi yang berkembang pada masa awal kanak-kanak ialah otonomi dan kontrol diri karena pendidikan, pembiasaan, dan disiplin yang didasari kasih sayang. Pada masa itu anak-anak belajar membangun kepercayaan diri dan inisiatif untuk berkreasi bila diberi ruang kebebasan disertai latihan tanggungjawab.

Pembiasaan positif merupakan salah satu strategi penting yang perlu diterapkan. Mengajak anak untuk mengkritisi segala sesuatu secara santun dan mengarahkan sumber belajar secara tepat dapat dilakukan setiap kesempatan, termasuk mendampingi anak ketika menonton televisi. Menjadi orang tua pendidik memang meniscayakan selalu belajar dalam setiap kesempatan. Perkembangan anak dan bertambahnya kecakapan anak perlu dijadikan inspirasi atau tantangan untuk belajar.

Akhirnya tidak ada satu urusan pun yang lepas dari peran Sang Esa. Kekuatan doa dan ketulusan orang tua akan mengoptimalkan pertumbuhkembangan anak. Kehidupan islami dan rizki yang halal merupakan penopang keberhasilan dalam mengasuh generasi penerus.

Comments :

0 komentar to “Menjadi Orang Tua Pendidik”

Posting Komentar

Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih

 

koleksi

koleksi

Redaksi

Ketua Pengarah: M. Arif Junaidi. Penanggungjawab: Syarif Thayib (Ketua Yayasan Al Madinah).
­Redaktur Ahli: dr. Muhammad Thohir, Sp.Kj., Ahmad Faiz Zainuddin, S.Psi, Masuki M. Astro, Siti Raudlatul Jannah, S.Ag . Pemimpin Umum: Izzuddin Al Anshary. Pemimpin Redaksi: M. Syafiq Syeirozi. Redaktur Pelaksana: A. Suud Fuadi. Dewan Redaksi: Helmi Jauhari, A. Fathul Hudi. Distributor: Syafi’uddin. Kontributor Edisi ini: Aura Azzahra. Desain/Layout: Abd. Rokhman
Alamat Redaksi: Grha Aitam, Jl. Bratang Binangun IX/25-27 Surabaya. Telepon/Faksimile: (031) 5019424 / 5022212. ­E-Mail: redaksimadinah@yahoo.com. Web Blog: majalah-madinah.blogspot.com