Mas’ud Chasan
Ia bukan sarjana karena tidak sempat menamatkan kuliahnya di IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta [UNY]). Cak Ud, demikian sapa sebagian kawannya, memilih untuk fokus berdagang buku di kawasan Shopping Center (sekarang Taman Pintar) Yogyakarta –sebuah pusat pertokoan buku yang dijejali kios-kios kecil di mana pembeli bisa memeroleh buku dengan harga rendah bila telaten menawarnya— setelah menempuh program kuliah kerja nyata (KKN). “Bukan saya bodoh mas, tapi itu pilihan hidup, karena sejak lulus SMA saya sudah menikah, jadi harus mandiri” tandas Mas’ud dalam perbincangan via telepon pada Minggu, 15/02/2009.
Ia bukan sarjana karena tidak sempat menamatkan kuliahnya di IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta [UNY]). Cak Ud, demikian sapa sebagian kawannya, memilih untuk fokus berdagang buku di kawasan Shopping Center (sekarang Taman Pintar) Yogyakarta –sebuah pusat pertokoan buku yang dijejali kios-kios kecil di mana pembeli bisa memeroleh buku dengan harga rendah bila telaten menawarnya— setelah menempuh program kuliah kerja nyata (KKN). “Bukan saya bodoh mas, tapi itu pilihan hidup, karena sejak lulus SMA saya sudah menikah, jadi harus mandiri” tandas Mas’ud dalam perbincangan via telepon pada Minggu, 15/02/2009.
Sejak kecil Mas’ud Chasan memang tipe pekerja keras. Umur 12 tahun ia sudah membantu kakaknya berjualan buku di pinggir jalanan kota Yogyakarta. Ketika sudah berkeluarga, Mas’ud selain kuliah juga nyambi jualan buku-buku bekas sendiri. Saking semangatnya, ia dan istrinya kerap berangkat ke pasar pada pukul 05.00 pagi mengendarai sepeda ontel. “Padahal saat itu teman-teman saya yang paling rajin sekalipun baru membuka kiosnya jam 08.00,” cetus pria low profile kelahiran Jatisari, Glagah, Lamongan, Jawa Timur ini.
Kendati sibuk berjualan Mas’ud selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, terutama yang berkaitan dengan kewirausahaan, ekonomi informal, teori-teori pembangunan, dan fakta kemiskinan. Bagi pria lima puluh dua tahun ini, buku dan karya tulis adalah sahabat terbaik dan paling setia karena selalu mendorongnya untuk terus maju.
Ia ingat betul, ketika pada tahun 80-an ia sedang diterpa kegelisahan karena merasa usahanya stagnan alias berjalan di tempat, ia membaca artikel karya Prof. Dr. Mubyarto (Alm.), pakar ekonomi kerakyatan UGM, perihal revolusi buku di Indonesia. Mubyarto menunjukkan adanya perubahan radikal dalam industri perbukuan akibat mesin cetak yang harganya murah, sehingga banyak penerbit bermunculan.
Artikel tersebut ia diskusikan dengan para pelanggan bukunya. Oleh seorang mahasiswa pelanggan, Cak Ud didorong untuk memanfaatkan peluang itu dengan memasarkan buku-buku penerbit baru. “Ini manfaatnya bergaul dengan orang-orang pintar,” selorohnya. Sejak saat itu ia mulai berkenalan dengan penerbit-penerbit di Jakarta dan memasarkan bukunya. Berapa pun keuntungan yang diperoleh, ia pertaruhkan sebagai modal pengembangan usahanya.
Hasil ketelatenan dan jerih payah Cak Ud selama lebih dari 35 tahun kini sudah bisa dinikmati buahnya. Penerbit Pustaka Pelajar dan Jaringan toko buku Sosial Agency Baru adalah miliknya. Mobil Audi A4 yang dulu hanya bisa ia pasang posternya di dinding gedek rumah kontrakannya, kini betul-betul ia tongkrongi.
Penulis buku Sukses Bisnis Modal Dengkul ini membagikan resep suksesnya yaitu; “pertama, integritas tinggi karena ini adalah watak diri yang membuat siapa pun bisa memercayai kita”; kedua, berpikir positif karena pikiran adalah kekuatan yang bila dibarengi tujuan dan kemauan tinggi dapat mewujudkan impian menjadi kenyataan; ketiga, Perencanaan dan strategi bisnis yang baik yang mengharuskan kita untuk terus belajar; keempat, bekerja keras dan antipatah arang.”
Satu lagi, ia menyarankan agar siapa pun berani bermodal dengkul untuk mulai usaha, kendati kata itu berkonotasi negatif dan menjadi bahan olok-olok di masyarakat. Padahal, demikian Cak Ud, “bila modal dengkul dianggap sebagai modal keringat atau seadanya, maka itu merupakan sumber daya yang luar biasa.”
Ya, seorang drop out sekolah sekali pun bisa kaya dan sukses jika punya tekad kuat, strategi tepat, dan mau banting tulang. “Hikmahnya, karena tidak punya ijazah saya bekerja keras menjadi pedagang kaki lima. Sekarang Dari 30 teman saya, paling kaya ya Pak Mas’ud ini Mas, yang lain kan guru-guru biasa,” kelakar Mas’ud Chasan sedikit berpongah ketika mengakhiri perbincangan.
Drs. Sulthon, M.M
Dilahirkan sebagai anak seorang petani di Tulangan, Sidoarjo dengan garapan sepetak sawah yang hanya cukup untuk makan sekeluarga. Drs. Sulthon, M.M masih bisa menyelesaikan kuliahnya di IKIP Negeri Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya [Unesa]) sembari aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan.Lulus kuliah ia mengabdikan diri sebagai pengajar di beberapa sekolah dan perguruan tinggi swasta. Dengan pendapatan bulanan yang lumayan, sebenarnya Sulthon sudah merasa enjoy dan happy atas profesi yang ditekuninya. Namun atas dorongan istrinya, Enny Sutji Indriastuti, seorang analis medis, Sulthon memberanikan diri untuk keluar dari comfort zone (zona nyaman)-nya sebagai guru atau dosen menuju petualangan baru sebagai pengusaha.
Ia mengakui, istrinya merupakan sosok yang berjasa besar dalam karir bisnisnya. “Peran nyonya (demikian Sulthon menyebut istrinya; red) sangat besar. Ia menginspirasi, mendorong, memotivasi terus menerus, dan mendampingi saya dalam kondisi apa pun termasuk saat berbagai problem menimpa bisnis saya,” tukas alumnus Program Magister Manajemen Unair Surabaya ini berkisah.
Jiwa bisnis Enny Indriastuti sendiri, menurut penuturan Sulthon, diwariskan dari orang tuanya yang penjual toko kelontong. Karenanya, dengan dorongan besar sang istri, Sulthon nekad menjual sepetak sawah warisan dari orang tuanya sebagai modal usaha barunya di bidang laboratorium medis dengan pola kemitraan bersama rekannya.
Modal sawah ternyata belum cukup. “Untuk menutupinya saya menghutang mertua dan kolega-kolega nyonya,” cetus Sulthon. Kala itu Sulthon masih buta dan asing dengan dunia kewirausahaan. Ia sama sekali tidak berpengalaman menjadi entrepreneur. Namun keterbatasan pengetahuan bisnis dan bisnis dapat tertutupi oleh dorongan besar istri tercinta yang kini telah memberinya 5 orang anak. Kini, usahanya yang mulai dirintis pada tahun 1987 sudah berkembang menjadi sebelas cabang dengan nama Pramita Utama Diagnostic Center.
Sulthon menekankan pentingnya keberanian untuk memulai bisnis. Karena tanpa keberanian segala cita-cita dan keinginan akan sangat sulit terwujud, termasuk menjadi pengusaha sukses. Ketika usaha sudah berjalan, ia menganjurkan siapa pun agar selalu istiqamah dan fokus pada impian meski kesulitan tak henti menghadang.
Hal lain yang menjadi kunci dalam meniti bisnis, menurut Sulthon, ialah progresifitas pemikiran untuk memunculkan keunikan atau ciri khas yang ditawarkan dari produk usahanya kepada konsumen. Sulthon menyontohkan, “Kalau yang lain jam 07.00 WIB baru buka, maka kita jam 06.00 WIB sudah buka. Jika periksa di laboratorium medis kebanyakan hasilnya baru dapat dilihat 1 minggu berikutnya, tetapi coba kalau kita bisa memercepatnya dalam waktu 3 hari.” Bagi Sulthon, memberikan keunikan, ciri khas, dan kualitas baik baik dari sekadar memberikan harga murah atas produk.
“Tentunya masih banyak yang harus kita kembangkan dalam setiap usaha kita. Dunia ini berkembang terus mas, jadi kita harus terus berinovasi dan mengembangkan bisnis sesuai dengan kebutuhan pasar. Maka kita dituntut untuk terus belajar agar berpikiran maju dan progresif. Dengan progresifitas, banyak hal baru dapat kita terapkan, karena tidak mungkin mengharapkan hasil berbeda dan lebih kalau yang kita lakukan sama saja,” cetus Sulthon bernasihat.
(Syafiq)
Comments :
Posting Komentar
Saran, kritik dan komentar anda akan sangat membantu kami dalam mengembangkan web blog ini. Terimakasih